Sabtu, 25 Januari 2025

68. Jangan Sakiti yang Mati!

 Beberapa waktu setelah Futuh Makkah, Rasulullah 

Saw. berangkat menuju Thaif ditemani Abu Bakar 

beserta putra-putri Said ibn Al-‘Ash. Ketika mereka 

melewati kuburan Said ibn Al-‘Ash, Abu Bakar bertanya, 

“Kuburan siapakah ini?”

“Kuburan Said ibn Al-‘Ash,” jawab yang lain.

“Semoga Allah melaknat penghuni kubur ini,” 

hardiknya, “sungguh ia telah memerangi Allah dan 

utusan-Nya.”

Mendengar ucapannya, Amr ibn Said naik pitam 

dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ini 

adalah kuburan orang yang lebih banyak bersedekah 

dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan 

Abu Quhafah.”

Abu Bakar menukas, “Apakah kau rela ia berkata 

seperti itu kepadaku, wahai Rasulullah?”

“Bertuturlah yang sopan kepada Abu Bakar, hai 

Amr.

Karena merasa jengkel, Amr ibn Said memisahkan 
diri dari rombongan Rasulullah Saw. sehingga beliau 
memperingatkan Abu Bakar dengan berkata, “Wahai Abu 
Bakar, jika kau hendak menyebut orang kafir, sebutlah 
secara umum. Karena jika kau menyebut orang tertentu, 
itu akan menyakiti perasaan keturunannya.”
Sejak peristiwa itu, kaum Muslim tidak pernah 
menyebut lagi kejelekan orang kafir yang telah mati
secara perorangan.
Rasulullah Saw. juga melarang kaum Muslim mencaci 
orang musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar. Beliau 
berkata, “Jangan menghina mereka, karena mereka tidak 
akan pernah menyukai apa yang kalian katakan. Kalian 
pun hanya akan menyakiti keluarganya yang masih hidup. 
Sesungguhnya hinaan adalah perkataan yang keji.”
Sejak kembali dari Perang Uhud, para sahabat terus 
mendesak Rasulullah Saw. agar mengutuk kaum kafir 
Quraisy. Namun, dengan bijak beliau mengatakan, 
“Sesungguhnya aku diutus dengan penuh rahmat, bukan 
untuk melaknat.”
Padahal, jika mau, beliau bisa saja memohon kepada 
Allah untuk membinasakan kafir Quraisy yang sangat 
memusuhinya.

67. Tentang Barang Temuan

 Suatu hari seorang sahabat bernama Ayyub ibn 

Ka‘b menemukan sebuah bungkusan di jalan, yang 

setelah dibuka ternyata berisi uang sebanyak 100 dinar. 

Maka, Ayyub bergegas menghadap Rasulullah Saw. dan 

menceritakan pengalamannya.

Setelah mendengar penuturannya, beliau bersabda, 

“Umumkan kepada orang-orang!”

Ayyub segera menjalankan perintah Rasulullah Saw. 

Ia berkeliling Madinah sambil berteriak, “Siapa yang 

merasa kehilangan kantong berisi uang 100 dinar ini, 

ambillah sekarang juga!” teriaknya sambil mengacungacungkan kantong tersebut. Namun, tak seorang pun 

yang datang dan mengakui benda itu.

Maka, Ayyub kembali menghadap Rasulullah Saw. 

dan beliau sekali lagi menyuruhnya untuk mengumumkan 

kepada orang-orang.

Untuk kali keduanya Ayyub berkeliling Kota Madinah 
dan mengumumkan temuannya. Tetap saja tidak ada 
seorang pun yang datang dan mengklaim kantong itu.
Sekali lagi Ayyub melapor kepada Rasulullah Saw. dan 
beliau bersabda, “Jagalah keutuhan dan jumlah barang 
itu. Apabila pemiliknya datang, berikan kepadanya. Tetapi 
jika tidak, kau boleh memanfaatkannya untukmu.”
Zaid ibn Khalid Al-Juhani r.a. menuturkan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang luqathah (barang 
temuan) berupa emas atau perak. Beliau menjawab, 
“Kenalilah ikatan dan kantongnya (ciri-cirinya), lalu 
umumkan selama setahun. Jika tidak ada pemilik yang 
datang mengambilnya, pergunakanlah, tetapi statusnya 
sebagai barang titipan. Jika sewaktu-waktu pemiliknya 
datang mencarinya, berikanlah kepadanya.”
Lalu seseorang bertanya tentang penemuan unta. 
Beliau berkata, “Mengapa kau peduli dengan unta itu? 
Biarkan saja, karena unta itu punya kaki dan kantong air. 
Ia bisa mendatangi air dan makan pepohonan hingga si 
pemilik menemukannya.”
Lalu, seorang bertanya kepada Rasulullah Saw. 
tentang penemuan kambing. Beliau menjawab, “Kambing 
itu untukmu (jika tidak diketahui siapa pemiliknya 
setelah diumumkan setahun) atau untuk saudaramu yang 
kekurangan, atau untuk serigala (jika tidak kauambil).

Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa 
saja yang menyembunyikan barang temuan milik orang 
lain maka ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.”

66. Janganlah Menipu!

 Suatu hari Rasulullah Saw. melewati sebuah pasar 

bersama beberapa sahabat. Beliau ingin memastikan, 

tidak ada kecurangan dalam transaksi di pasar. Tibatiba, pandangan beliau tertuju pada tumpukan gandum 

milik salah seorang pedagang. Beliau mendekatinya dan 

memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum itu. 

Ternyata, jari-jari beliau menyentuh bagian gandum yang 

basah dan hampir busuk di bagian bawah. Si penjual 

meletakkan gandum yang bagus di atas gandum yang 

sudah jelek sehingga tak seorang pun yang melihatnya. 

Dengan begitu, ia telah menipu manusia.

“Apa ini, hai Pemilik Gandum?” tanya Rasulullah 

Saw.

“Ini bagian yang terkena hujan, wahai Rasulullah,” 

jawab si pemilik gandum.

“Mengapa tidak kausimpan di bagian atas agar bisa 

dilihat para pembeli. Apakah kau sengaja menempatkan

gandum yang basah ini di bawah gandum yang bagus 
agar tidak ada orang yang melihatnya?”
Pedagang itu diam saja. Rasulullah kembali berujar, 
“Barangsiapa menipu kami maka ia tidak termasuk 
golongan kami.” 
Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa membunuh saudaranya sesama Muslim maka ia bukan 
termasuk golongan kami. Dan barangsiapa menipu kami, 
ia bukan golongan kami.”
Suatu hari seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw. dan 
menuturkan bahwa ia tertipu dalam sebuah transaksi. 
Setelah mendengar pengaduannya, beliau bersabda, 
“Saat bertransaksi dengan siapa pun, katakan: ‘Jangan 
menipu!’”
Sejak saat itu, ia selalu mengatakan “jangan 
menipu!” setiap kali hendak bertransaksi.

65. Keutamaan Sedekah

 Suatu hari kabilah Mudhar datang menemui Rasulullah 

Saw. Mereka datang membawa pedang, tetapi 

berpakaian compang-camping terbuat dari kain kasar. 

Tubuh mereka nyaris tidak tertutup kecuali bagian aurat.

Rasulullah Saw. sedih melihat keadaan mereka. 

Wajah beliau berubah dan marah karena masyarakat 

melupakan mereka yang fakir. Namun, akhirnya beliau 

tahu bahwa mereka fakir bukan karena tidak punya 

apa-apa, melainkan karena mereka tidak mau memberi 

dan tidak mau meminta-minta kepada manusia. Mereka 

merasa cukup dengan keadaan mereka. Kalaulah bukan 

karena kumal dan rasa lapar yang tergambar pada wajah 

mereka, tentu tidak ada seorang pun yang mengetahui 

keadaan mereka.

Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal untuk 
mengumandangkan azan zhuhur. Usai shalat, beliau 
berkhutbah membaca Surah Al-Nisâ’ ayat pertama dan 
Surah Al-Hasyr ayat 18. Kemudian beliau menyuruh para
sahabat untuk bersedekah dengan harta, baju, gandum, 
atau kurma. Beliau berkata, “Bersedekahlah, meskipun 
dengan sebiji kurma!”
Para sahabat menjawab seruan Rasulullah Saw. 
Mereka langsung pulang ke rumah dan kembali lagi 
membawa sedekah masing-masing. Ada yang membawa 
makanan, ada juga yang membawa pakaian. Wajah 
Rasulullah Saw. kembali bersinar karena senang lalu 
bersabda:
“Siapa yang menghidupkan suatu Sunnah yang baik 
dalam Islam, baginya pahala dan pahala orang yang 
mengerjakannya setelah ia, tanpa dikurangi sedikit pun. 
Dan barangsiapa menghidupkan Sunnah yang jelek, 
baginya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya 
setelah ia, tanpa dikurangi sedikit pun.”
Dalam riwayat Ahmad dan Thabrani diceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. kedatangan 400 orang yang meminta 
makanan, sedangkan para sahabat yang ada di sana 
saat itu hanya berjumlah 40 orang. Saat mereka datang, 
Rasulullah Saw. berkata kepada para sahabat, “Berdirilah 
dan berilah mereka makanan!”
Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami 
tidak punya makanan kecuali untuk bayi dan anak-anak.” 
Namun, beliau tetap berkata, “Berdirilah dan berilah 
mereka makanan!”

Umar ibn Khaththab, yang juga hadir saat itu 
berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar dan kami 
taat.”
Lalu, Umar dan para sahabat lainnya pergi ke 
tempat penyimpanan makanan. Umar mengambil 
kunci dan membuka pintunya. Ternyata, di dalamnya 
ada tumpukan kurma. Para sahabat berkata kepada 
para tamu, “Ambillah sesuka kalian!” Akhirnya, masingmasing lelaki mengambil sesuai dengan kebutuhannya. 
Ternyata, kurma itu tidak berkurang sedikit pun, meski 
telah diambil oleh 400 orang.

64. Adab Memelihara Masjid

 Para sahabat sangat memahami adab di masjid, 

selalu mempelajarinya, dan kukuh menjalankannya. 

Mereka sangat tekun dan berlomba-lomba memelihara 

kebersihan masjid. Itu mereka lakukan setelah suatu 

hari melihat Rasulullah Saw. membersihkan dahak 

di masjid dengan ujung ranting, lalu beliau meminta 

minyak wangi kepada yang hadir. Lalu seorang pemuda 

memberikan parfum jenis “khaluq”, dan beliau langsung 

memercikkannya ke bekas dahak tadi.

Setelah kejadian itu, beliau berbicara di depan 

hadirin mengajarkan bagaimana mengatasi masalah 

mulut.

“Siapa di antara kalian yang ingin dibelakangi Allah?” 

tanya Rasulullah Saw.

Para sahabat diam, terkejut mendengar pertanyaan 

beliau.

Namun, setelah beliau mengulangi pertanyaannya, 

mereka menjawab, “Tidak ada, wahai Rasulullah!

“Ingatlah,” lanjut beliau, “ketika kalian berdiri shalat, 
Allah Swt. ada di hadapan kalian. Maka, jangan meludah 
ke depan dan ke kanan. Jika mendesak ingin meludah, 
usaplah dengan pakaianmu, seperti ini ….” Rasulullah 
Saw. lalu melipat pakaian satu di atas yang lain.
Kemudian beliau juga memerintahkan agar masjid 
diberi harum-haruman dan dupa bakar, “Harumkanlah 
masjid kalian dengan asap dupa!” 
Kemudian beliau berpesan agar masjid dibersihkan 
dari kotoran seraya bersabda, “Dipampangkan kepadaku 
seluruh pahala umatku, sampai pahala orang yang 
membuang kotoran dari masjid.”
Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang wanita berkulit 
hitam tinggal di salah satu pojok masjid. Ia mendirikan 
sebuah kemah kecil di sana. Ia adalah seorang budak 
milik seorang penduduk Makkah. Suatu hari, sang 
majikan kehilangan barang, dan mereka menuduh budak 
itu sebagai pencurinya. Ia diperiksa dan ditelanjangi lalu 
dihina sejadi-jadinya. Setelah diketahui bahwa ia bukan 
pelakunya, budak wanita ini mereka tinggalkan sehingga 
akhirnya ia pergi ke Madinah.
Wanita ini sangat rajin menyapu dan membersihkan 
masjid. Rasulullah Saw. menyukai pekerjaan wanita itu 
hingga ketika suatu hari beliau tidak melihatnya, beliau
bertanya kepada para sahabat. “Ia sudah meninggal, 
wahai Rasulullah,” jawab para sahabat.
Rasulullah Saw. menegur keras mereka karena 
dianggap memandang remeh masalah ini. “Apakah 
(dengan tidak peduli terhadap wanita itu) kalian 
merasa tidak menyakitiku? Tunjukkan kepadaku, mana 
kuburannya?!” tanya beliau keras.
Para sahabat mengantarkan Rasulullah Saw. ke 
kuburan wanita itu, kemudian beliau mendirikan shalat 
di dekat kuburan wanita itu dan berdoa untuknya.

63. Berkah Uang Delapan Dirham

 Suatu hari Rasulullah Saw. hendak belanja. Dengan 

bekal uang delapan dirham, beliau ingin membeli 

pakaian dan peralatan rumah tangga. Belum juga sampai 

di pasar, beliau melihat seorang wanita sedang menangis. 

“Mengapa kau menangis? Apakah kau sedang 

ditimpa musibah?” tanya Rasulullah Saw.

Wanita itu mengatakan bahwa ia adalah seorang 

budak. Ia menangis karena kehilangan uang dua dirham 

dan takut akan dipukuli majikannya. Maka, Rasulullah 

Saw. mengeluarkan dua dirham dan diberikan kepada 

budak wanita itu. Kini, uang beliau tinggal enam dirham 

lagi.

Rasulullah Saw. bergegas membeli gamis, pakaian 

kesukaannya. Namun, saat mau beranjak pulang, seorang 

laki-laki tua berteriak, “Barangsiapa memberiku pakaian, 

Allah akan mendandaninya kelak.” Rasulullah Saw. 

memperhatikan orang itu. Ternyata benar, pakaiannya 

compang-camping, tak pantas lagi dipakai. Maka, beliau

memberikan gamis yang baru dibelinya itu dengan suka 
rela kepadanya. 
Rasulullah Saw. pun meneruskan langkahnya hendak 
pulang. Namun, lagi-lagi beliau harus bersabar. Kali ini, 
budak wanita tadi mendatanginya dan mengeluh bahwa 
ia takut pulang. Ia khawatir akan dihukum majikannya 
karena terlambat pulang. Memang, di masa itu, seorang 
budak, apalagi wanita, tak ubahnya binatang. Hukuman 
fisik sudah lazim diterima. Dan Rasulullah Saw. diutus 
salah satunya untuk membela kaum tertindas. Akhirnya, 
beliau dengan senang hati mengantarkan budak wanita 
itu ke rumah majikannya.
Sampai di rumah orang itu, Rasulullah Saw. 
mengucapkan salam, tetapi tidak ada yang menjawab. 
Beliau kembali mengucapkan salam. Baru pada kali 
ketiga, penghuni rumah menjawabnya. Tampaknya, 
semua penghuni rumah adalah perempuan. 
“Kenapa salam pertama dan keduaku tidak kalian 
jawab?” tanya Rasulullah.
“Kami sengaja diam karena ingin didoakan olehmu, 
wahai Rasulullah, dengan tiga kali salam.” 
Kemudian beliau menyerahkan budak wanita itu 
kepada pemiliknya dan menjelaskan persoalannya 
seraya berpesan, “Jika budak wanita ini salah dan perlu 
dihukum, biarlah aku yang menerima hukumannya.

Mendengar penuturan Rasulullah Saw. yang begitu 
tulus dan ikhlas, penghuni rumah terkesima dan terharu. 
Ia berkata, “Budak ini sekarang bebas karena Allah.” 
Tentu saja Rasulullah Saw. sangat senang 
mendengarnya. Beliau bersyukur sambil berkata, 
“Tidak ada delapan dirham yang begitu besar 
berkahnya daripada delapan dirham ini. Dengannya 
Allah telah memberi rasa aman kepada orang yang 
ketakutan, memberi pakaian orang yang telanjang, dan 
membebaskan seorang budak.”

62. Memberi Kelonggaran kepada Tawanan

 Rasulullah Saw. pernah mengirim pasukan berkuda 

ke wilayah Najd, lalu mereka menangkap seorang 

laki-laki Bani Hanifah yang bernama Tsumamah ibn 

Utsal, pemuka orang Yamamah. Mereka membawanya 

ke Madinah kemudian mengikatkannya pada salah satu 

tiang masjid. Beberapa saat kemudian Rasulullah Saw. 

menemuinya dan bertanya, “Apa yang kaumiliki, hai 

Tsumamah?” 

Ia menjawab, “Hai Muhammad, aku memiliki 

kebaikan. Jika kau membunuhku, berarti kau membunuh 

orang yang terhormat. Jika kau membebaskanku, berarti

kau membebaskan orang yang akan membalas budi. 

Jika kau menghendaki harta sebagai tebusan, mintalah 

sesukamu, pasti engkau akan diberi.”

Rasulullah Saw. tidak meresponsnya dan beranjak 

pergi meninggalkan Tsumamah. Keesokan harinya 

Rasulullah Saw. kembali menemuinya dan bertanya, “Apa 

yang kaumiliki, hai Tsumamah?”

“Aku memiliki apa yang telah kukatakan kepadamu. 
Jika kau membebaskanku, berarti kau membebaskan 
orang yang akan membalas budi. Jika kau membunuhku, 
berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika 
kau menginginkan harta sebagai tebusan, mintalah 
sekehendakmu, pasti engkau akan diberi.”
Seperti hari sebelumnya, Rasulullah Saw. tidak 
menjawab dan beranjak pergi meninggalkan Tsumamah. 
Esoknya, Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Apa yang 
kaumiliki, hai Tsumamah?” 
“Aku memiliki apa yang telah kukatakan kepadamu. 
Jika kau membebaskanku, berarti kau membebaskan 
orang yang akan membalas budi. Jika kau membunuhku, 
berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika 
kau menginginkan harta sebagai tebusan, mintalah 
sekehendakmu, pasti engkau akan diberi.”
Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Bebaskanlah 
Tsumamah!” 
Setelah dibebaskan, Tsumamah pergi ke pohon 
kurma dekat masjid, lalu mandi, kemudian memasuki 
masjid, menghadap Rasulullah, dan berkata, “Aku bersaksi 
bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa 
Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Hai 
Muhammad, demi Allah, semula di atas bumi ini tidak 
ada wajah yang lebih kubenci daripada wajahmu, tetapi 
sekarang wajahmulah yang paling aku cintai. Demi Allah, 
di atas bumi ini tadinya tidak ada agama yang paling

kubenci daripada agamamu, tetapi sekarang agamamulah 
yang paling kusukai. Demi Allah, semula tidak ada 
negeri yang lebih kubenci daripada negerimu, tetapi 
sekarang negerimulah yang paling kucintai. Ketahuilah, 
wahai Muhammad, pasukan berkudamu menangkapku 
ketika aku hendak menunaikan umrah. Bagaimanakah 
pendapatmu?” Maka, Rasulullah Saw. menghiburnya dan 
menyuruhnya kembali menunaikan umrah.
Setelah tiba di Makkah, seseorang bertanya, “Apakah 
kau pindah agama?” 
Tsumamah menjawab, “Tidak, tetapi aku masuk 
Islam menyertai Rasulullah. Demi Allah, Yamamah tidak 
akan mengirim sebutir gandum pun kepada kalian kecuali 
setelah diizinkan Rasulullah.”

61. Keutamaan Bagian Kanan

 Ummu Sulaim adalah perempuan Anshar dari Bani 

Najjar yang menikah dengan Malik ibn Nadhr. Dari 

pernikahannya itu ia dikaruniai seorang putra bernama 

Anas ibn Malik, yang kemudian menjadi pelayan 

Rasulullah Saw. dan kelak menjadi salah seorang sahabat 

yang banyak meriwayatkan hadis beliau. Namun, suatu 

hari, karena bertengkar dengan istrinya, Malik pergi 

merantau ke Syiria dan akhirnya meninggal dunia di 

sana. Setelah itu, perempuan yang terkenal cerdas dan 

memiliki dua bola mata yang sangat indah itu menikah 

dengan Abu Thalhah, seorang Anshar yang terkenal 

dermawan.

Hari ini, perempuan yang terkenal tabah dan berhati

mulia itu merasa sangat senang karena kedatangan tamutamu istimewa tanpa diduga. Mereka adalah Rasulullah 

Saw. disertai beberapa sahabat, termasuk Abu Bakar, 

Umar, dan seorang Arab Badui. Tentu saja, Ummu Sulaim 

dan keluarga senang bukan kepalang. Ia menyilakan


tamu-tamu istimewa itu masuk ke dalam rumah. Ketika 

Rasulullah Saw. duduk, orang Arab Badui itu duduk di 

sebelah kanan beliau, sedangkan Abu Bakar dan Umar 

duduk di sebelah kiri beliau.

Kemudian, Ummu Sulaim segera menghidangkan 
kepada Rasulullah Saw. dan para sahabat susu 
kambing yang diperah oleh Anas ibn Malik. Beliau 
pun dengan suka cita menerima hidangan itu dan 
meminumnya. Setelah menikmati hidangan, Rasulullah 
Saw. menyerahkan wadah berisi susu itu kepada orang 
Arab Badui yang berada di sisi kanan beliau. Rupanya 
Umar ibn Khaththab kurang suka dan berujar, “Wahai 
Rasulullah, serahkanlah wadah itu kepada Abu Bakar 
lebih dulu ....”
Namun, Rasulullah Saw. tetap menyerahkan wadah 
susu itu kepada orang Arab Badui, bukan kepada Abu 
Bakar. Sesudah orang Arab Badui itu menerima wadah 
itu, beliau berkata kepada semua, “Dahulukanlah orang 
yang di sebelah kanan! Dahulukanlah orang yang di 
sebelah kanan! Dahulukanlah orang yang di sebelah 
kanan!”
Tidak hanya itu, dalam berbagai aktivitas sehari-hari 
Rasulullah Saw. menyuruh kita untuk mendahulukan 
yang kanan atau memulai sesuatu dengan tangan kanan, 
termasuk makan, minum dan sebagainya, kecuali ketika

memasuki kamar mandi atau WC. Maksudnya, agar 
kita tidak meniru setan yang selalu melakukan sesuatu 
dengan tangan kirinya. 
Suatu ketika Rasulullah Saw. siap menyantap 
hidangan bersama anak tirinya, Umar ibn Abi Salamah. 
Anak itu kelihatan tak sabar untuk segera menikmati
hidangan itu. Rasulullah berkata kepadanya, “Duduklah, 
wahai Anakku. Sebutlah nama Allah, makanlah dengan 
tangan kananmu, dan makanlah yang dekat denganmu.”
Setelah dewasa, Umar ibn Salamah berkata, “Demi 
Allah, sejak saat itu, aku senantiasa makan dengan cara 
seperti itu.”

60. Kebaikan untuk Orangtua

 Suatu hari Rasulullah Saw. berkumpul bersama para 

sahabat, termasuk di dalamnya ada Buraidah ibn 

Al-Hushaib Al-Aslami. Saat beliau asyik menyampaikan 

tuntunan, tiba-tiba muncul seorang perempuan.

Setelah mengucapkan salam dan saling menyapa 

sejenak dengan Rasulullah Saw., ia bertutur dengan 

suara lirih, “Wahai Rasulullah, beberapa waktu lalu aku 

memberikan seorang budak perempuan kepada ibuku, 

tetapi sekarang ibuku telah meninggal.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Kau pasti mendapatkan 

pahala dan budak itu kini menjadi milikmu kembali 

sebagai warisan.”

“Wahai Rasulullah,” ucap perempuan itu melanjutkan, “Ibuku punya utang puasa sebulan, bolehkah aku 

berpuasa atas nama ibuku?”

“Berpuasalah atas namanya.”

“Wahai Rasulullah, ibuku juga belum pernah menunaikan 

ibadah haji. Bolehkah aku berhaji atas nama ibuku?”

“Berhajilah atas namanya.” 
Pada kesempatan yang lain seorang laki-laki datang dan 
bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, ibuku 
mendadak meninggal dunia. Aku menduga seandainya 
ia sempat bicara sebelum meninggal, tentu ia akan 
bersedekah. Jadi, apakah ia dapatkan pahala sedekah 
apabila aku bersedekah atas namanya?”
Rasulullah Saw. menjawab singkat, “Ya, dapat.”
Hampir senada dengan kisah di atas, seorang laki-laki 
bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, bapakku 
sudah meninggal. Ia meninggalkan harta tetapi tidak 
memberi wasiat berkaitan dengan harta peninggalannya. 
Dapatkah harta-harta itu menghapus dosa-dosanya jika 
kusedekahkan atas namanya?”
“Ya, dapat,” jawab Rasulullah Saw. singkat.
Sementara, berkaitan dengan nazar seseorang yang 
telah meninggal, diriwayatkan bahwa Sa‘d ibn Ubadah 
pernah meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. tentang 
nazar ibunya yang telah meninggal, tetapi belum sempat 
ditunaikan.
Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Tunaikan olehmu 
atas namanya!”

59. Rasulullah dan Ahlu Shuffa

 Suatu saat ketika sedang berjalan-jalan, Rasulullah 

Saw. melihat Abu Hurairah r.a. duduk di pinggir 

jalan dengan tubuh yang tampak lunglai. Beliau tahu, 

sahabatnya itu sedang kelaparan. Beliau tersenyum 

seraya memanggil, “Hai Aba Hirr (panggilan Abu Hurairah 

r.a.)!”

“Labbaika, yâ Rasûlullah.”

“Ikutilah aku,” titahnya.

Maka, Abu Hurairah mengikuti Rasulullah Saw. 

yang berjalan ke rumahnya. Setelah diberi izin, Abu 

Hurairah masuk di belakang Rasulullah. Di dalam rumah, 

Rasulullah Saw. melihat satu wadah dipenuhi susu dan 

beliau bertanya kepada istrinya, “Dari mana susu ini?” 

“Seseorang mengirimkannya untukmu sebagai 

hadiah,” jawab istrinya. 

Rasulullah Saw. memanggil Abu Hurairah, “Hai, Aba 

Hirr!”

“Labbaika, yâ Rasûlullah.”

“Panggillah ahlu shuffah (kaum fakir yang menetap 
di serambi masjid Nabi)!” 
Seperti itulah kebiasaan Rasulullah Saw. Setiap kali 
mendapatkan sedekah, beliau langsung mengirimkannya 
kepada ahlu shuffah. Beliau tidak mengambil sedikit 
pun. Sementara jika mendapatkan hadiah, beliau akan 
memakan sebagian dan memberikan sebagian lainnya 
kepada para sahabat, terutama ahlu shuffah.
Ketika diperintahkan untuk memanggil ahlu shuffah,
Abu Hurairah r.a. berkata dalam hati, “Aku berhak 
mendapat seteguk lebih dulu untuk mengembalikan 
tenagaku. Toh nanti, kalau ahlu shuffah datang, tentu 
aku yang akan disuruh melayani mereka. Pasti nanti
aku akan mendapatkan sisanya.” Tetapi, ia tidak berani 
memintanya kepada Rasulullah Saw.
Abu Hurairah r.a. bergegas pergi memanggil ahlu 
shuffah. Saat tiba di rumah Rasulullah Saw., mereka 
langsung menempati tempat duduk masing-masing.
“Hai, Aba Hirr!”
“Labbaika, yâ Rasûlullah.”
“Terima ini dan bagikan kepada mereka!” perintah 
Rasulullah Saw.
Abu Hurairah pun menerima wadah susu itu. Lalu, 
ia memberikan kepada orang pertama untuk diminum 
sampai puas. Lalu, orang kedua, ketiga, keempat, sampai 
semuanya kebagian. Setelah itu, wadah dikembalikan

kepadanya, dan ia langsung memberikannya kepada 
Rasulullah Saw. Beliau menerimanya sambil tersenyum.
“Hai, Aba Hirr!”
“Labbaika, yâ Rasûlullah.”
“Kini, tinggal aku dan engkau.” 
“Benar, ya Rasulullah.”
“Duduklah dan minumlah,” pinta beliau. Ia pun 
duduk dan minum susu itu. Rasulullah Saw. beberapa 
kali menyuruhnya: “Minumlah!” sehingga Abu Hurairah 
terus-terusan minum sampai kekenyangan.
“Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, 
aku sudah kenyang,” ujar Abu Hurairah.
“Kalau begitu, berikan kepadaku!”
Abu Hurairah pun memberikan wadah itu. Rasulullah 
Saw. memuji Allah, membaca basmallah, lalu meminum 
susu itu.

58. Rasulullah Tak Pernah Menolak Permintaan

 Rasulullah Saw. adalah sosok yang paling dermawan. 

Tak ada sedikit pun rasa takut menjadi fakir 

sehingga beliau sangat suka bersedekah. Kebahagiaannya 

ketika memberi jauh lebih besar daripada rasa 

senangnya ketika menerima pemberian dari orang lain. 

Tidak ada seorang pun sahabat yang dapat menandingi 

kedermawanannya. Rasulullah Saw. adalah orang yang 

paling pemurah, paling pengasih, dan paling dermawan.

Sahabat Anas r.a. menuturkan, “Setiap kali Rasulullah 

diminta sesuatu, beliau pasti memberikannya. Suatu 

ketika, datang seorang peminta-minta dan beliau 

memberinya kambing yang berada di antara dua bukit. 

Kemudian, orang itu kembali kepada kaumnya .…”

Dalam kesempatan lain, seorang perempuan menemui 

Rasulullah Saw. sambil membawa kain tenun

“Wahai Rasulullah, kain ini kutenun sendiri. Aku 
ingin memberikannya kepadamu,” ujar perempuan itu.
Rasulullah Saw. pun menerimanya, karena beliau 
memang membutuhkannya. Tidak lama setelah 
kedatangan perempuan itu, Rasulullah Saw. keluar rumah 
mengenakan sarung tenun itu. Namun, saat beliau 
berjalan, seseorang menyapanya dan berkata, “Alangkah 
bagusnya kain itu, wahai Rasulullah, seandainya saja aku 
bisa memilikinya.”
“Baiklah,” jawab Rasulullah Saw., sambil berbalik 
pulang, melipat kain itu, lalu mengirimkannya kepada 
orang itu.
Para sahabat yang mendengar kejadian itu menegur 
orang itu, “Jangan bertingkah seperti itu. Kain itu sedang 
dikenakan Rasulullah. Beliau membutuhkannya. Kau 
malah memintanya. Kau sendiri ‘kan tahu, Rasulullah 
tidak pernah menolak permintaan siapa pun.”
“Demi Allah, aku meminta kain ini bukan untuk 
kupakai, melainkan untuk kain kafanku kelak,” jawab 
lelaki itu.
Sahal yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Ternyata 
benar. Kain itu, dipakai sebagai kafannya ketika ia 
meninggal dunia.”

57. Mengambil Pelajaran dari Orang Lain

 Suatu hari seorang laki-laki tua menemui Rasulullah 

Saw. dan mengadukan perilaku anaknya yang kaya 

raya tetapi kerap mengabaikannya. Ia menuturkan, 

“Wahai Rasulullah, anakku berbuat baik kepada semua 

orang dan mau membantu mereka, tetapi ia tidak 

mau membantuku sebagai orangtuanya. Bahkan, ia 

mengusirku dari rumahnya.”

Mendengar laporan orangtua itu, Rasulullah Saw. 

segera mengutus seorang sahabat untuk menemui 

anak itu dan menasihatinya agar mau menerima dan 

mengurus ayahnya. Namun, pemuda itu berbohong 

kepada Rasulullah Saw. dengan mengatakan, “Aku tidak 

punya cukup harta untuk mengurusi ayahku.”

Rasulullah Saw. berkata, “Aku tahu, kau punya 

gudang gandum dan kurma. Kau juga memiliki simpanan 

uang yang sangat banyak.”

Pemuda itu tetap mengelak, “Wahai Rasulullah, 
siapa pun yang mengatakan hal itu kepadamu pasti
telah berdusta!”
Rasulullah Saw. melihat bahwa semua nasihatnya 
tak dapat memengaruhi hati pemuda yang lebih keras 
dari batu itu. Maka, beliau bersabda, “Berdiri dan 
pergilah dari hadapanku. Ingatlah! Tak lama lagi kau 
akan menyesal dan di saat itu datang, penyesalanmu itu 
tak lagi berguna.”
Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan para 
sahabat untuk menyediakan tempat tinggal dan 
kebutuhan hidup orangtua itu dari baitulmal agar ia tak 
lagi merasa kesusahan.
Sementara, si pemuda itu merasa senang setelah 
pergi dari hadapan Rasulullah Saw. karena sekarang ia 
telah lepas dari keharusan mengurusi ayahnya. 
Beberapa waktu kemudian, ketika datang saat yang 
tepat untuk menjual kurma, pemuda itu membuka 
gudang tempat penyimpanan kurmanya. Namun, 
ia terkesiap saat mendapati semua kurma di dalam 
gudangnya telah habis dimakan ulat. Tak ada yang tersisa 
sedikit pun kecuali biji-biji kurma yang tidak akan laku 
dijual. 
Kemudian, ia bergegas pergi menuju gudang tempat 
penyimpanan gandumnya. Lagi-lagi ia tersentak, kaget, 
dan marah saat melihat gandum di dalam gudangnya 
diserang serangga. Hewan kecil itu memakan gandum
di gudang itu hingga yang tersisa hanya batangnya. Ia 
melihat ada sebagian gandum yang belum diserang 
serangga. Namun, ternyata gandum-gandum itu pun 
telah rusak dan bau karena ditempeli banyak ulat. Tentu 
saja ia mengalami kerugian yang besar. 
Ia telah mengeluarkan modal yang sangat besar 
untuk mengolah kurma dan gandum itu kemudian 
menyimpannya di gudang. Tak ada yang bisa ia lakukan 
kecuali membuang biji-biji kurma dan batang gandum 
yang tersisa. 
Sayang, semua musibah itu tidak membuatnya 
sadar dan jera untuk kemudian meminta maaf kepada 
ayahnya. Sedikit pun ia tidak menyadari bahwa semua 
itu merupakan peringatan baginya. Ia pun tak ingat 
peringatan Rasulullah yang begitu keras. Ia tetap tidak 
mau menemui ayahnya dan meminta maaf. Akhirnya, 
beberapa hari setelah musibah itu, ia jatuh sakit. Dan 
ketika ia hendak mengambil uang yang selama ini 
disimpannya untuk berobat, lagi-lagi ia terkesiap karena 
semua uangnya telah berubah menjadi lempengan 
tembikar tak berharga. 
Hari demi hari penyakitnya kian parah. Semua 
kawannya menjauhinya karena tahu bahwa kemiskinan 
dan penyakitnya itu akibat ia durhaka kepada ayahnya.
Dua tahun kemudian, tinggal kulit dan tulang yang 
tersisa pada tubuhnya. Ia berjalan sambil bertumpu pada 
tongkat dan meminta pertolongan kepada semua orang.
Suatu hari Rasulullah Saw. berjalan bersama 
beberapa sahabat. Beliau melihat pemuda itu duduk di 
pinggir gang dengan kondisi yang sangat mengenaskan. 
Beliau menoleh kepada sahabatnya dan berkata, “Hai 
orang-orang yang durhaka kepada ayah dan ibunya, 
ambillah pelajaran dari orang ini. Alih-alih mendapatkan 
kedudukan mulia di surga, itulah yang ia dapatkan. 
Ia merasa mampu membeli surga dengan harta dan 
kedudukannya. Ketahuilah! Sebentar lagi pemuda ini 
akan meninggal dunia dan masuk Neraka Jahanam.”

56. Berbuat Baik pada Hewan

 Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. dan para 

sahabat menempuh suatu perjalanan. Di tengah 

perjalanan, Rasulullah memisahkan diri sebentar dari 

rombongan untuk suatu keperluan. Para sahabat melihat 

dua ekor anak burung hammarah (burung merah), lalu 

mengambilnya. Tidak lama kemudian, induknya datang dan 

tampak gelisah karena tidak menemukan kedua anaknya. 

Ketika Rasulullah Saw. datang dan melihat induk burung 

itu, beliau bertanya, “Siapakah yang telah menyusahkan 

burung ini? Segera kembalikan anak-anaknya!”

Di lain kesempatan, ketika melihat sarang burung 

yang dibakar, beliau bertanya, “Siapakah yang telah 

membakar sarang ini?”

Para sahabat menjawab, “Kami.”

“Hanya Rabb Al-Nâr (Sang Pemilik Api, yakni Allah) 

yang pantas mengazab dengan api.”

Suatu saat Rasulullah Saw. melihat seseorang menginjak 
perut seekor kambing, menajamkan pisaunya, dan 
memperlihatkan pisau itu di depan mata si kambing. 
Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kau ingin 
membunuhnya dengan dua kematian? Asahlah pisaumu 
itu sebelum kau merebahkannya!”
Di lain kesempatan, beliau berpesan kepada para 
sahabat, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan 
kebaikan atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, 
perbaguslah caranya. Dan jika menyembelih, perbaguslah 
caranya. Tajamkanlah pisau kalian dan senangkanlah 
sembelihan kalian!” (HR Muslim).
Imam Al-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. 
pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing agar 
ia bisa minum air darinya, kemudian beliau berwudhu 
dengan sisa air dari bejana itu.
Suatu saat Rasulullah Saw. bercerita kepada para 
sahabat bahwa dulu ada seorang pelacur yang merasa 
sangat kehausan sehingga ia bergegas mendekati sumur 
untuk mendapatkan air. Namun, di dekat sumur, pelacur 
itu melihat seekor anjing berjalan lemah mengitari sumur. 
Sepertinya, anjing itu pun kehausan. Ia ingin minum air 
dari sumur itu tetapi tidak bisa mengambilnya. Akhirnya, 
ia hanya bisa menjulur-julurkan lidahnya.
Pelacur itu merasa iba sehingga ia segera membuka 
sepatunya, mengikat sepatu itu dengan selendangnya, lalu
menurunkannya ke dalam sumur. Ujung lain selendang itu 
ia ikatkan pada tubuhnya. Setelah sepatunya terisi air, ia 
menariknya, lalu minum air dari sepatu itu dan kemudian 
memberi minum anjing itu hingga kenyang.
Karena kebaikannya itulah Allah mengampuni dosadosanya sebagai pelacur. Amal salehnya (bersedekah 
pada anjing) telah menghapus dosa-dosa yang ia lakukan 
di masa silam (HR Muslim).
Kisah serupa juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, tetapi 
yang melakukannya adalah seorang laki-laki. Rasulullah 
Saw. bercerita bahwa ada seorang laki-laki yang berjalan 
di bawah terik matahari. Setelah lama berjalan, ia merasa 
sangat kehausan. Namun, bekal airnya telah habis dan 
sepanjang perjalanan ia tak menemukan sumber air. 
Maka, ia terus melanjutkan perjalanan dengan pikiran 
dipenuhi keinginan agar segera menemukan sumur untuk 
memuaskan dahaganya.
Ia sangat senang ketika dari kejauhan melihat sebuah 
oase di tengah gurun pasir yang terbentang luas. Tetapi, 
alangkah kecewanya saat menemukan ternyata oase itu 
hanya fatamorgana.
Ia kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya 
ia menemukan sebuah perigi atau sumur. Para kafilah 
biasa berhenti dan beristirahat, lalu mengambil air 
untuk bekal perjalanan mereka di sekitar sumur ini.

Betapa senangnya sang musafir ketika melihat ke dalam 
sumur dan masih banyak air di sana. Namun, ia bingung, 
bagaimana cara mengambil air itu? Tidak ada ember dan 
tali timba di sana! Pinjam? Ia tak melihat seorang pun 
melintas di tempat itu. Hanya ia seorang di sana. 
Akhirnya, ia putuskan untuk merangkak turun ke 
dasar sumur itu. Dengan susah payah ia jejakkan kedua 
kakinya ke dinding sumur hingga akhirnya ia tiba di dasar 
sumur dan minum hingga puas. Setelah merasa cukup, 
ia pun merangkak naik. Namun, ia terkejut ketika keluar 
dari sumur dan melihat seekor anjing di bibir sumur 
menjulur-julurkan lidahnya saking kehausan.
“Anjing ini benar-benar kehausan seperti aku tadi. 
Jika tidak segera minum, ia pasti mati, sepertiku,” 
pikirnya dalam hati.
Tanpa pikir panjang, ia kembali menuruni sumur 
itu, membuka sepatunya dan mengisinya dengan air 
hingga penuh. Lalu, ia gigit kuat-kuat sepatunya itu dan 
perlahan merangkak naik. Akhirnya, ia sampai di luar 
sumur dan cepat-cepat meminumkan air itu pada anjing 
yang langsung mereguknya dengan rakus. 
“Maka,” kata Rasulullah Saw. di ujung ceritanya, 
“Allah berterima kasih kepadanya, karena ia telah menolong salah satu makhluk-Nya. Allah juga mengampuni 
dosa-dosanya sebagai balasan atas kebaikannya itu.”

55. Tahanlah Amarah!

 Suatu ketika Rasulullah Saw. sedang duduk bersama 

Abu Bakar r.a. Tiba-tiba, muncul seseorang yang 

mencela Abu Bakar. Menyaksikan tingkah orang itu, 

Rasulullah Saw. hanya diam dan tersenyum. Namun, Abu 

Bakar merasa jengkel dan kesal mendengar celaan orang 

itu sehingga ia pun balas mencelanya. Namun, Rasulullah 

tidak menyukai kelakuan Abu Bakar. Beliau bangkit 

berdiri dan merengkuh pundak Abu Bakar dengan raut 

muka yang menampakkan kemarahan. 

Tentu saja Abu Bakar merasa heran dan bertanya, 

“Ya Rasul, ketika orang itu mencelaku kau tetap duduk 

dan diam. Namun, ketika aku membantah celaannya, 

engkau tampak marah dan berdiri?!”

Rasulullah Saw. menjelaskan, “Ketika kau diam 

tidak membalas, ada malaikat yang menyertaimu dan 

ialah yang membantah celaan orang itu. Namun ketika 

kau mulai membantahnya, malaikat itu pergi dan yang 

datang adalah setan.”

Abu Bakar terdiam mendengar penjelasan Rasulullah 
Saw. kemudian beliau melanjutkan, “Hai Abu Bakar, ada 
tiga hal yang semuanya benar. Pertama, ketika seorang 
hamba dizalimi, kemudian ia memaafkannya karena Allah, 
niscaya Allah akan memuliakannya dengan pertolonganNya. Kedua, ketika seorang hamba memberi sedekah dan 
menginginkan kebaikan, Allah akan menambah banyak 
hartanya. Ketiga, ketika seorang hamba meminta harta 
kepada manusia untuk memperbanyak hartanya, niscaya 
Allah tambahkan kepadanya kekurangan.”
Dalam kesempatan lain, beliau bersabda, “Jika 
engkau marah, diamlah. Jika engkau marah, diamlah. 
Jika engkau marah, diamlah.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Amr ibn Abi Qurrah bahwa 
ketika tinggal di Madain, Hudzaifah menceritakan berbagai 
hal yang disampaikan Rasulullah Saw. ketika beliau 
dalam keadaan marah. Tentu saja orang-orang merasa 
gentar, takut, dan kemudian mereka meninggalkannya 
seorang diri. Lalu, mereka datang menemui Salman AlFarisi menceritakan segala yang dikatakan Hudzaifah dan 
bagaimana sikapnya ketika bercerita. Mereka menanyakan 
pendapat Salman tentang hal itu, dan ia menjawab, 
“Hudzaifah lebih tahu apa yang ia katakan.”
Salman tidak membenarkan dan tidak pula 
menyalahkan segala yang dikatakan Hudzaifah. Maka,
orang-orang itu kembali menemui Hudzaifah dan berkata, 
“Kami telah menemui Salman dan menceritakan apa 
yang engkau katakan. Namun, ia tidak membenarkan 
dan tidak pula menyalahkan.” 
Maka, Hudzaifah bergegas menemui Salman yang 
sedang berada di kebunnya dan berkata, “Hai Salman, 
mengapa kau tidak membenarkan apa yang aku dengar 
dari Rasulullah?”
Salman menjawab, “Jika Rasulullah marah, beliau 
akan berkata kepada kaumnya dengan marah. Di saat 
senang, beliau akan berkata kepada kaumnya dengan 
hati yang senang. Jangan lagi berkata seperti itu hingga 
kau bisa menyampaikan kepada orang lain apa yang 
membuat mereka senang, dan tidak membuat mereka 
marah atau ketakutan. Atau memang kau menghendaki 
perbedaan dan perpecahan?”
Hudzaifah terdiam, dan Salman melanjutkan, “Aku 
pernah mendengar Rasulullah berkhutbah, ‘Siapa pun 
dari umatku yang pernah aku maki atau atau kukecam 
ketika aku marah, maka (maklumilah karena) aku 
adalah anak Adam yang bisa marah seperti mereka. 
Pada hakikatnya, aku diutus sebagai rahmat bagi 
alam semesta. Semoga Allah menjadikan (makian dan 
kecamanku) sebagai rahmat bagi mereka di Hari Kiamat.’ 
Hai Hudzaifah, berhentilah melakukan tindakan seperti
itu. Jika tidak, aku akan melaporkanmu kepada Umar!”

54. Janganlah Berbuat Kasar

 Rasulullah Saw. benar-benar merupakan pemimpin 

ideal yang dikenal dengan kejujuran dan 

keadilannya. Beliau juga tidak pernah mempersulit suatu 

persoalan. Bagi Rasulullah, apa yang bisa dipermudah, 

jangan dipersulit. Dalam segala urusan beliau juga 

menyukai yang pertengahan, atau yang sedang-sedang. 

Setiap kali mengutus sahabat ke suatu daerah, beliau 

berpesan, “Mudahkanlah dan jangan mempersulit. 

Sampaikan kabar gembira dan jangan memicu kebencian. 

Ambillah jalan pertengahan, dan lakukanlah apa pun 

sesempurna mungkin sesuai dengan kemampuanmu!”

Rasulullah Saw. tidak pernah menyerang atau 

menyakiti orang lain untuk membela dirinya. Setiap kali 

diminta untuk memilih antara dua pilihan, beliau selalu 

memilih yang paling ringan, aman, dan bebas dari dosa.

Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. 

hendak mendirikan shalat bersama para sahabat. Tibatiba seorang Arab Badui kebelet kencing, lalu begitu saja.

ia kencing di sudut masjid bagian belakang. Tentu saja 

para sahabat jengkel melihatnya dan hendak memukul 

orang itu. Namun, Rasulullah Saw. menahan mereka, 

“Biarkan ia tuntaskan hajatnya dulu!” Setelah orang 

Arab Badui itu menyelesaikan hajatnya, Rasulullah Saw. 

memanggilnya, “Agar kau tahu, tak sepantasnya kencing 

atau buang kotoran di masjid. Sebab, masjid itu tempat 

untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca AlQuran.”

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para 

sahabat, “Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit. Guyurlah air kencingnya dengan 

satu ember air!”

Mendengar ujaran Rasulullah, orang Arab Badui itu 

berdoa, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan 

jangan Engkau rahmati selain kami seorang pun!”

Mendengar doa yang diucapkan orang itu, Rasulullah 

berpaling kepadanya dan berkata, “Sungguh kau telah 

mempersempit perkara yang luas (rahmat Allah).”

Dikisahkan pula bahwa suatu hari ketika Rasulullah Saw. 

berkumpul dengan para sahabat, seorang Arab Badui 

datang menghampiri beliau meminta sesuatu, dan beliau 

pun memberinya. Ketika si Badui ditanya, “Apakah kau 

puas dan merasa diberi anugerah?

Ia menjawab, “Aku belum merasa bahwa Tuan sudah 
berbuat baik.”
Tentu saja para sahabat yang mendengar ucapannya 
merasa jengkel dan seseorang hendak memukulnya. 
Namun, Rasulullah Saw. menahan mereka. Lalu, beliau 
membawa orang itu ke rumahnya, dan di sana beliau 
menambah lagi pemberiannya. Barulah setelah itu ia 
berkata, “Semoga Allah membalas Tuan dengan sebaikbaik pemberian.”
Rasulullah Saw. berujar, “Lain kali, bila kau ada 
bersama sahabat-sahabatku, katakanlah seperti itu di 
hadapan mereka. Sebab, mereka agak tersinggung oleh 
ucapanmu tadi.”
Keesokan harinya, orang Badui itu berbuat seperti
yang dianjurkan Rasulullah Saw. sehingga para sahabat 
merasa senang. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, 
“Perumpamaanku dan orang Badui ini adalah seperti
seseorang dan untanya yang mengamuk. Ketika beberapa 
orang berusaha menjinakkannya, ia makin beringas. 
Maka, pemiliknya berkata, ‘Biarkan aku sendiri yang 
menjinakkannya!’ Dan dengan cara-cara seperti yang 
biasa ia lakukan, amukan unta itu mereda, lalu diam 
sehingga bisa dimuati barang-barang untuk diangkut.”

53. Berbaktilah kepada Kedua Orangtuamu

 Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada 

Rasulullah Saw., “Ya Rasul, kepada siapakah aku 

harus berbakti?”

“Ibumu,” jawab Rasulullah.

“Setelah itu, kepada siapa lagi?”

“Ibumu.”

“Lalu, siapa lagi?”

“Ibumu.”

Sahabat ini masih penasaran dan bertanya lagi, 

“Lalu, setelah itu?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Lalu, kepada ayahmu.”

Dalam kesempatan yang lain seorang sahabat datang 

menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai 

Rasulullah, aku akan berbaiat kepadamu untuk hijrah. 

Aku tinggalkan kedua orangtuaku disertai tangisan duka.”

Namun, bagaimanakah jawaban Rasulullah Saw.? 

Beliau berujar, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu. 

Buatlah mereka tertawa sebagaimana kau telah membuat 
keduanya menangis.”
Selaras dengan kedua kisah di atas, Rasulullah menghimpun 
barisan kaum Muslim untuk berperang, seorang sahabat 
menghadap beliau meminta izin untuk ikut berjihad.
“Apakah kau masih punya ibu-bapak?” tanya 
Rasulullah Saw.
“Ya, masih ada,” jawab sahabat itu.
“Berjihadlah untuk mereka,” titah Rasulullah Saw.
Peristiwa serupa dialami Muawiyah ibn Jahimah AlSulami. Ia menuturkan bahwa ia menghadap Rasulullah 
Saw. dan berkata, “Aku telah berniat untuk ikut berjihad 
bersamamu, wahai Rasulullah. Aku hanya mengharapkan 
ridha Allah dan pahala akhirat.”
Namun, Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah ibumu 
masih hidup?”
“Ya, ia masih hidup.”
“Pulanglah, dan berbaktilah kepadanya!”
Muawiyah beberapa kali datang memohon 
agar diizinkan ikut berjihad, tetapi Rasulullah selalu 
menyuruhnya berbakti kepada ibunya seraya berkata, 
“Hai Muawiyah, jagalah ibumu. Sebab, surga berada di 
bawah telapak kakinya.”

Senin, 13 Januari 2025

52. Muliakanlah Orang Lain

 Suatu hari seseorang menemui Rasulullah Saw. dan 

wajahnya menampakkan bekas-bekas perjalanan 

jauh. Setelah beristirahat sejenak, ia mengutarakan 

keinginannya, “Wahai Rasulullah, saat ini aku ditimpa 

kesusahan. Aku sungguh merasa lapar!”

Tanpa bertanya lagi, Rasulullah Saw. langsung 

menemui istri-istrinya dan bertanya, “Adakah makanan 

untuk orang ini?” Sayang, semua istri beliau saat itu tidak 

memiliki apa-apa untuk dimakan. Mereka menjawab, 

“Kami tidak punya makanan. Demi Dia yang mengutusmu 

dengan kebenaran, kami tidak punya apa-apa selain air 

(minum).” Kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepada para 

sahabat, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang 

mau menjamu orang ini sebagai tamu? Jika ada, semoga 

Allah merahmatinya.” Abu Thalhah Al-Anshari bangkit dan berkata, “Aku, wahai Rasulullah.”

Kemudian, ia bergegas membawa tamunya ke 
rumah. Ia temui istrinya dan menanyakan makanan untuk 
disuguhkan kepada tamu Rasulullah itu. Namun, istrinya 
menjawab bahwa mereka tidak memiliki persediaan 
makanan sedikit pun kecuali cadangan makan malam 
untuk anak-anaknya.
Abu Thalhah berpikir keras, lalu berkata kepada 
istrinya, “Wahai Istriku, bila makan malam tiba, tidurkanlah anak-anak, sediakan makanan untuk tamu kita, 
dan jangan lupa matikan lenteranya, agar ia mengira kita 
(juga ikut) makan.”
Istri Abu Thalhah mengerjakan pesan suaminya. Ia menidur kan anak-anaknya lebih dini, kemudian mereka duduk 
bersama tamunya, berpura-pura ikut makan. Mereka hanya 
membuat bunyi-bunyi seperti orang yang sedang makan. 
Jika tamu mereka makan hingga kenyang, Abu Thalhah dan 
keluarganya melewati malam dalam keadaan lapar.
Allah Swt. memberitahukan apa yang terjadi kepada 
Rasulullah Saw., dan beliau merasa sangat bahagia, lalu 
memberitahukan kepada Abu Thalhah bahwa Allah 
meridhainya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa keesokan 
harinya Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Thalhah, 
“Hai Abu Thalhah, Allah amat takjub atas apa yang kalian 
berdua lakukan terhadap tamu kalian.

Lain lagi dengan Abdullah Al-Bajali. Suatu ketika ia 
mendatangi majelis Rasulullah Saw., tetapi karena datang 
terlambat, ia tak kebagian tempat. Ia mondar-mandir 
mencari tempat duduk. Lalu, para sahabat terkejut 
ketika Rasulullah Saw. yang mulia bangkit dan membuka 
gamisnya. Dengan tangannya sendiri beliau melipat 
gamisnya lalu mengantarkannya kepada Abdullah dan 
berkata, “Jadikanlah ini untuk tempat dudukmu.”
Namun, Abdullah enggan mendudukinya. Alihalih, ia ciumi gamis Rasulullah Saw. dengan air mata 
berlinang, “Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu 
sebagaimana Tuan memuliakanku.”
Dengan tersenyum beliau berujar, “Bila datang 
kepada kalian orang mulia dari suatu kaum, muliakanlah 
ia.”

51. Rasulullah Seorang Pekerja Keras

 Sejak kecil hingga beranjak dewasa Rasulullah Saw. 

bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan 

kambing milik orang Makkah. Beliau pergi menggembala 

bersama saudara sesusuannya. Beliau juga pernah 

menggembalakan domba milik Bani Asad. Selanjutnya, 

beliau bekerja kepada penduduk Makkah dengan gaji 

tetap. Rasulullah Saw. kerap menggembalakan kambing-kambing itu hingga jauh di luar Kota Makkah.

Tentang pekerjaannya ini Rasulullah pernah berujar, 

“Tak seorang pun di antara para nabi yang tidak 

menggembalakan domba.” 

Seorang sahabat bertanya, “Dan engkau juga, wahai 

Rasulullah?” 

“Ya, aku juga.”

Ketika usia Rasulullah Saw. beranjak dewasa, beliau 
mencari nafkah dengan berdagang, atau mengelola 
barang dagangan orang lain. Karena keahliannya itulah 
beliau dipercaya oleh salah satu saudagar Makkah, 

Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, untuk mengelola 
perdagangannya. Khadijah adalah saudagar kaya yang 
disegani, yang sering mempekerjakan para pemuda 
Makkah untuk mengelola usahanya. Saat mendengar 
keuletan, kejujuran, dan keluhuran akhlak Rasulullah, 
Khadijah memanggilnya, dan menyuruhnya untuk 
membawa barang dagangannya ke Negeri Syam (Suriah).
Khadijah memercayakan barang dagangan dalam 
jumlah yang banyak kepada pemuda Muhammad. 
Untuk menemani Muhammad dalam perjalanan niaga 
itu Khadijah memerintahkan salah seorang budaknya 
yang bernama Maisarah. Keduanya berangkat menuju 
Syam untuk berdagang. Muhammad menjalankan 
kepercayaan itu dengan sungguh-sungguh. Ia kerahkan 
segala kecakapannya berdagang disertai perilakunya yang 
jujur dan ramah. Maka, tidak mengherankan jika dalam 
perjalanan dagangnya itu Muhammad dan Maisarah 
mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat lebih besar 
dibanding modal yang dipercayakan Khadijah.
Dikisahkan bahwa ketika kaum Quraisy, yang bersekutu 
dengan kaum Yahudi, dan beberapa kabilah Arab lain 
berangkat untuk menyerang Madinah, Rasulullah Saw. 
menyuruh para sahabat untuk menggali parit, atas usul 
Salman Al-Farisi. Semua kaum Muslim bekerja keras 
menggali parit sebagai strategi pertahanan menghadapi

serangan kaum Quraisy dan sekutunya. Tidak ada seorang 
pun yang santai dan berleha-leha. Semua orang turun 
tangan menggali, termasuk Rasulullah sendiri. Beliau 
tidak hanya memerintah dan mengawasi. Beliau juga 
turun langsung ikut menggali bersama kaum Muslim. 
Beliau mengangkut tanah juga bebatuan sambil 
menyembunyikan rasa laparnya. Beliau menyenandungkan syair berikut ini:
Tiada daya jika bukan karena-Mu
Kami takkan mendapatkan petunjuk
Takkan bersedekah dan takkan shalat
Berikan ketenangan dalam hati kami
Kukuhkan kaki kami saat hadapi mereka
Kaum musyrik telah berbuat melampaui batas 
Jika mereka meniupkan fitnah, kami menepisnya.

Rasulullah Saw. sejak kecil dikenal sebagai pekerja yang 
tekun dan jujur, sehingga orang-orang Makkah menyukai 
dan memercayainya. Beliau juga tidak segan membantu 
dan berkorban demi orang lain. Bahkan, setelah diangkat 
sebagai Rasulullah dan menjadi pemimpin Madinah, 
beliau tidak segan atau malu bekerja keras dengan 
tangannya sendiri untuk membantu orang lain. Misalnya, 
beliau pernah bekerja mengumpulkan harta untuk 
membantu penebusan seorang budak dari majikannya.
Budak itu adalah Salman Al-Farisi, salah seorang 
sahabat besar yang dikenal dengan kecerdikan dan 
kegigihannya berjuang menegakkan kebenaran. Ia berasal 
dari tanah Persia. Didorong keinginan untuk mencari 
jalan yang benar dan lurus, ia tinggalkan tanah kelahiran 
hingga tiba di tanah Arab sebagai budak. 
Salman menceritakan perjumpaannya dengan 
Rasulullah yang kemudian menyuruhnya untuk berusaha 
membebaskan diri dari majikannya yang beragama 
Yahudi. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Tebuslah 
dirimu, hai Salman!”
Salman berusaha menebus kemerdekaannya dengan 
mengumpulkan upahnya dari mengurus kebun kurma. 
Ia bisa mengumpulkan 300 butir kurma yang disimpan 
dalam beberapa wadah berukiran indah, ditambah uang 
sebanyak 40 uqiyah. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, 
“Pergilah, dan tebuslah kebebasanmu!”
Maka, Salman menemui majikannya dan 
menyampaikan maksudnya. Ia memberikan semua 
wadah berisi kurma itu kepadanya, dan majikannya 
menyimpan wadah itu. Dari urusan makanan pokok, 
utang Salman sudah lunas. Namun, uang sejumlah 40 
uqiyah itu belum bisa menebus kemerdekaannya. Salman 
menemui Rasulullah dan mengadukan masalahnya. 
Kemudian Rasulullah Saw. memberikan emas berbentuk 
telur dan menyerahkannya kepada Salman, “Ambil ini, 
dan lunasi tebusanmu!” perintah Rasulullah. Salman
menerima benda itu dan menimbangnya kepada 
seorang tukang emas yang mengatakan bahwa emas itu 
berharga 40 uqiyah. Jumlah itu cukup untuk menebus 
kemerdekaannya. Maka, Salman bergegas menemui 
majikannya dan menyerahkan semua uang itu sebagai 
harga penebusan dirinya. Akhirnya, Salman, seorang 
Muslim asal Persia, keluar dari rumah orang Yahudi 
itu sebagai manusia yang merdeka. Ia sangat senang 
bisa mendampingi Rasulullah setiap saat. Ia bahagia 
bisa berperang di sisi Rasulullah dan kaum Muslim. Ia 
senang ketika usulannya untuk menggali parit di sekitar 
Madinah sebagai bentuk pertahanan dari serangan 
musuh diterima oleh Rasulullah dan kaum Muslim. Ia 
bahagia karena menjadi Muslim yang merdeka.

50. Kezuhudan Rasulullah Saw.

 Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw. 

sedang bersama Jibril di atas Bukit Shafa. Rasulullah 

Saw. berkata, “Hai Jibril, demi Dia yang mengutusmu 

dengan benar, keluarga Muhammad belum pernah 

makan berkecukupan, baik dengan tepung (yang buruk) 

maupun tepung (yang bagus).”

Segera setelah Rasulullah Saw. berkata begitu, 

terdengar suara gemuruh dari langit. Beliau bertanya 

kepada Jibril, “Apakah Allah telah memerintahkan tibanya 

Hari Kiamat?”

“Tidak,” jawab Jibril, “Allah memerintahkan Israfil a.s. 

untuk turun kepadamu ketika mendengar ucapanmu.”

Israfil pun datang dan berkata, “Allah mendengar 

apa yang engkau katakan. Aku diutus untuk membukakan 

pintu-pintu (kekayaan) bumi, dan memerintahkan 

kepadaku untuk memberimu pilihan, apakah Gunung 

Tihamah yang penuh dengan permata, berlian, emas, 

dan perak; ataukah kau menjadi seorang raja dan nabi; 

ataukah kau menjadi seorang hamba biasa dan nabi?” 
Jibril memberikan isyarat kepada Rasulullah Saw. agar 
bersikap tawadhu.
Rasulullah Saw. menjawab, “Aku ingin menjadi 
seorang hamba biasa dan nabi.” Beliau mengucapkannya 
tiga kali.
Suatu hari Ukaidir ibn Abdul Malik, seorang pemuda 
dari Dumatul Jandal, menghadiahkan pakaian sutra 
kepada Rasulullah Saw. Beliau memakainya—sebelum 
pakaian sutra diharamkan—lalu mendirikan shalat. 
Selang beberapa waktu, beliau tanggalkan baju sutra 
itu dengan kasar, seolah-olah membencinya. Beliau 
kemudian berkata, “Baju ini tidak pantas untuk orangorang bertakwa.”
Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa setelah menempuh 
suatu perjalanan Rasulullah Saw. hendak singgah di 
rumah putrinya, Fatimah. Namun, beliau mengurungkan 
niatnya saat melihat tirai yang menghiasi pintu rumah 
dan juga dua gelang perak yang melingkar di lengan 
putrinya. Tentu saja Fatimah berduka saat mengetahui 
bahwa Rasulullah enggan singgah di rumahnya. 
Abu Rafi yang melihat kejadian itu merasa iba lalu 
menghampiri Fatimah dan menanyakan yang terjadi.
Sambil tetap menangis, Fatimah menceritakan peristiwa 
yang baru saja dialaminya. Ia masih belum mengerti, 
mengapa Rasulullah Saw. enggan singgah ke rumahnya?
Abu Rafi mengetahui penyebabnya dan berkata, 
“Itu karena tirai dan dua gelang yang melingkar di 
lenganmu!”
Fatimah pun sadar dan memahami mengapa 
ayahandanya urung singgah di rumahnya. Maka, 
ia langsung menanggalkan tirai dan juga gelang di 
tangannya. Kemudian ia memerintahkan Bilal untuk 
menyerahkan barang-barang itu kepada Rasulullah sambil 
berpesan, “Sampaikan kepada Rasulullah bahwa aku 
sudah bersedekah, dan ini hanya sisanya.”
Saat Bilal menghadap Rasulullah, beliau berkata, 
“Pergi dan juallah barang itu, sedekahkan hasilnya 
kepada ahlu shuffah (kaum fakir yang tinggal di serambi 
Masjid Madinah).”
Lalu, Bilal menjual dua gelang perak milik Fatimah 
tersebut seharga dua setengah dirham. Setelah itu, 
ia menyedekahkannya kepada ahli shuffah. Tak lama 
kemudian, Rasulullah Saw. masuk ke rumah Fatimah dan 
berkata, “Demi ayahku, engkau telah berbuat baik.”

49. Cinta Rasulullah kepada Umatnya

 Setelah pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah 

meninggal dunia, dan setelah boikot kaum Quraisy 

terhadap Bani Hasyim yang berlangsung selama tiga 

tahun berakhir, tidak ada orang yang bisa dijadikan 

pelindung oleh Rasulullah Saw. Setelah kematian dua 

orang pelindungnya itu, kaum kafir Quraisy makin leluasa 

berbuat jahat dan menyakiti beliau. Mereka melakukan 

berbagai hal untuk mengusik dan menyakiti Muhammad. 

Misalnya, berkali-kali mereka menimpakan kotoran atau 

tanah ke atas kepala Rasulullah yang mulia ketika beliau 

shalat di dekat Ka‘bah. Setiap kali Rasulullah mendapat 

perlakuan buruk seperti itu, Fatimah datang kemudian 

membersihkan kotoran itu sambil menangis. 

Hari demi hari perlakuan buruk kaum kafir Quraisy 
kepada Rasulullah Saw. makin menjadi-jadi. Nyaris 
setiap hari mereka menyakiti beliau. Para sahabat 
juga mendapat perlakuan serupa. Kaum Quraisy makin 
leluasa menekan dan menindas kaum Muslim. Maka,
suatu hari, Rasulullah memutuskan untuk pergi ke Thaif 
berharap para pemuka Bani Tsaqif mau menolongnya 
dan memberinya perlindungan. Namun, tiba di kota 
itu, mereka justru memperlakukan Rasulullah dengan 
sangat buruk. Mereka mengolok-olok, mengejar, bahkan 
melempari beliau dengan batu hingga kaki beliau terluka 
dan berdarah. Kemudian Rasulullah Saw. berlindung di 
kebun milik Utbah ibn Rabiah, seorang tokoh Quraisy. 
Menurut tradisi Arab, orang yang masuk pekarangan 
orang lain dianggap telah memperoleh perlindungan dari 
si pemilik rumah.
Sambil mengusap keringat dan menyeka darahnya, 
Rasulullah Saw. berdoa kepada Allah, “Ya Allah, hanya 
kepada-Mu kuadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya 
upayaku, dan hinanya pandangan orang kepadaku. 
Wahai Yang Maha Penyantun, Engkaulah Tuhanku 
dan Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada siapa 
Engkau akan serahkan aku? Kepada orang asing yang 
memperlakukanku dengan jahat, ataukah kepada saudara 
jauh yang mengusirku?”
Tak lama, Malaikat Jibril turun dan berkata, “Hai 
Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. 
Dan malaikat yang mengurus gunung-gunung telah 
diperintahkan oleh Allah untuk mematuhi semua 
perintahmu. Ia tidak akan melakukan apa pun, kecuali 
atas perintahmu.
Malaikat yang menjaga gunung berkata, 
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk 
berkhidmat kepadamu. Jika kau mau, biar kujatuhkan 
gunung itu kepada mereka. Jika engkau mau, akan 
kulempari mereka dengan bebatuan. Dan jika engkau 
mau, akan kuguncangkan bumi di bawah kaki mereka.”
Namun, apa jawaban Rasulullah Saw.? Beliau 
berkata, “Hai Malaikat Gunung, aku datang kepada 
mereka karena berharap mudah-mudahan akan keluar 
dari keturunan mereka orang yang mengucapkan ‘lâ 
ilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah).” 
Kemudian Malaikat Gunung berkata, “Engkau 
seperti disebutkan oleh Tuhanmu: sangat penyantun 
dan penyayang.”
Subhânallâh, lihatlah Rasulullah Saw.! Beliau tidak 
mengizinkan malaikat penjaga gunung untuk menyiksa 
Bani Tsaqif yang telah mengusir dan menyakitinya. 
Beliau berharap, meskipun mereka tidak mau beriman, 
keturunan mereka nanti akan beriman. Semua itu 
menunjukkan betapa Rasulullah Saw. sangat mencintai 
umatnya.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw. pernah 
selama tiga hari berturut-turut hanya makan sedikit. 
Ketika istrinya, Aisyah, menanyakan sebabnya, beliau 
menjawab, “Selama masih ada ahli shuffah (orang miskin
yang tinggal di serambi masjid), aku tidak akan makan 
hingga kenyang.” Ini menunjukkan betapa besar kasih 
sayang Rasulullah Saw. kepada kaum fakir.
Tidak hanya itu, Rasulullah Saw. juga memikirkan 
umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir sebagian 
umatnya makan kekenyangan, sedangkan sebagian 
lainnya kelaparan karena tidak mendapatkan makanan. 
Karena itulah Rasulullah Saw. berpesan, “Tidaklah 
beriman salah seorang dari kalian jika ia tidur dalam 
keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan.”

48. Dipelihara sejak Kanak-Kanak

 Kondisi masyarakat Makkah sebelum Muhammad 

mendapatkan risalah sangatlah kacau. Masyarakatnya gemar berperang, berzina, berjudi, mabukmabukan hingga mengubur anak perempuan hidup-hidup. 

Kendati demikian, Allah selalu memelihara Muhammad 

dari semua keburukan itu sejak kanak-kanak. Beliau 

tidak pernah melakukan perbuatan yang menyimpang. 

Tak pernah terbetik dalam hatinya keinginan melakukan 

sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan yang 

biasa dilakukan orang jahiliah, kecuali dalam dua 

kesempatan. Namun, kemudian Allah menurunkan sekat 

dan memalingkan beliau dari keinginan itu.

Kesempatan yang pertama adalah di malam ketika 

beliau beristirahat dari menggembala kambing. Saat itu 

beliau berkata kepada temannya sesama penggembala, 

“Tolong jaga kambing-kambing gembalaanku, karena aku 

ingin pergi ke kota dan bercengkerama di malam hari 

seperti yang dilakukan para pemuda lain.

“Baiklah, aku akan menjaganya.”
Kemudian Muhammad beranjak pergi. Saat tiba di pinggiran kota, di samping sebuah rumah 
yang pertama dijumpainya, beliau mendengar tetabuhan 
rebana dan seruling. Beliau bertanya kepada seseorang, 
“Keramaian apakah itu?”
“Pesta pernikahan Fulan 
dengan Fulanah,” ujar orang itu.
Kemudian beliau duduk mendengarkan 
alunan musik itu. Namun, Allah menutup telinga beliau 
dan membuatnya mengantuk, lalu terjatuh tidur hingga 
matahari terbit. Beliau terbangun dan bergegas kembali 
ke tempat penggembalaan. Tiba di sana, temannya 
bertanya, “Apa yang engkau lakukan semalam?”
“Aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Rasulullah, 
lalu menceritakan apa yang dialaminya tadi malam.
Pada kesempatan kedua, Rasulullah kembali meminta 
temannya untuk menjaga kambing gembalaannya, dan 
kawannya itu menjawab, “Baiklah, aku akan menjaganya.”
Kemudian beliau beranjak pergi menuju Kota 
Makkah dengan tujuan yang sama seperti beberapa 
waktu sebelumnya. Beliau kembali mendengar 
alunan musik seperti di malam itu. Lalu beliau duduk 
mendengarkannya dan kembali jatuh tertidur, sama 
seperti di malam itu. Beliau baru bangun ketika cahaya 
matahari menyengat. Lalu, beliau bergegas kembali 
kepada temannya dan menceritakan peristiwa yang 
dialaminya semalam.

Setelah dua kejadian itu, beliau tak pernah punya 
keinginan lagi untuk melakukan perbuatan buruk hingga 
Allah Swt. memuliakan beliau dengan risalah-Nya.

47. Berbagi Peran dengan Sahabat

 Suatu hari Rasulullah Saw. pergi bersama para 

sahabat. Ketika berhenti di suatu tempat, beliau 

memerintahkan untuk menyembelih seekor domba dan 

menghidangkannya untuk makan siang.

Seorang sahabat berkata, “Aku yang akan 

menyembelih domba itu.”

Sahabat lainnya berkata, “Aku yang akan menguliti

domba itu.”

Dan yang lainnya berkata, “Aku yang akan memasaknya.”

Melihat semangat mereka, Rasulullah menimpali, 

“Aku yang akan mengumpulkan kayu bakar dan 

menyalakan apinya.”

Sontak para sahabat berkata, “Biar kami saja 

yang melakukannya, wahai Rasulullah. Kami akan 

mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Kami 

tak mau menyusahkanmu.” Para sahabat tidak ingin 

melihat Rasulullah Saw. bersusah payah dan kelelahan.

Namun, dengan lembut beliau berujar, “Aku  tahu. Namun, aku tidak ingin melebihkan diriku atas kalian 
dan bergantung kepada orang lain. Sesungguhnya Allah tidak 
suka hamba-Nya bergantung kepada orang lain.”

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Rasulullah Saw. dan 
Hudzaifah Al-Yaman pergi ke luar Madinah. Di tengah perjalanan keduanya beristirahat. Ketika Rasulullah ingin mandi, Hudzaifah mengambil sepotong kain dan menjadikannya sebagai tabir. Usai mandi, beliau mengambil kain itu lalu berdiri menabiri Hudzaifah hingga ia selesai mandi.Setelah mandi, Hudzaifah berterima kasih kepada 
Rasulullah Saw. atas kebaikan dan kerendahan hati beliau. 
Kemudian ia meminta maaf dan berkata, “Ayah dan 
ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, janganlah 
engkau menyusahkan dirimu dengan melayaniku.”
Namun, Rasulullah Saw. bersikukuh memberikan 
pelayanan kepada Hudzaifah, teman seperjalanannya, 
dan berkata, “Jika kedua teman saling mencintai satu 
sama lain maka yang paling dicintai oleh Allah di antara 
keduanya adalah yang paling mencintai temannya.”

46. Setan Tak Pernah Jera

 Rasulullah Saw. menugaskan Abu Hurairah untuk 

menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Suatu hari seseorang datang dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan zakat. Abu Hurairah merebutnya 

kembali dan berkata, “Sungguh, aku akan melaporkanmu 

kepada Rasulullah!”

Orang itu menjawab, “Tapi, aku sangat membutuhkannya! Aku punya tanggungan keluarga.” Karena 

kasihan, Abu Hurairah membiarkan orang itu mengambil makanan tersebut. 

Keesokan harinya Rasulullah Saw. bertanya, “Hai Abu 

Hurairah, apa yang engkau lakukan kepada orang yang datang tadi malam?”

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, orang 

itu mengeluhkan kebutuhan dan tanggungan keluarganya. 

Aku merasa kasihan sehingga membiarkannya mengambil makanan dan pergi begitu saja.”

“Ketahuilah! Ia berdusta dan akan kembali lagi,” ujar Rasulullah Saw. 

Mendengar penuturan Rasulullah Saw., Abu Hurairah yakin bahwa orang itu akan kembali. Maka, ia pun siaga 

berjaga.Benar saja. Malam harinya orang itu datang lagi dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan 

zakat. Abu Hurairah langsung menegurnya dan berkata, 

“Sungguh, aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah!”

Orang itu menjawab, “Biarkan aku mengambil 

makanan ini. Sungguh, aku sangat membutuhkannya. 

Aku punya tanggungan keluarga. Setelah malam ini, aku tidak akan kembali lagi.”

Untuk kedua kalinya, Abu Hurairah membiarkan 

orang itu pergi karena merasa kasihan.

Esok harinya, Rasulullah Saw. bertanya kembali, “Hai Abu Hurairah, apa yang kaulakukan kepada orang yang datang tadi malam?”

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, orang 

itu datang lagi. Ia mengeluhkan kebutuhan dan tanggungan keluarganya. Aku merasa kasihan sehingga membiarkannya mengambil makanan dan pergi begitu saja.”

Rasulullah Saw. berkata mengingatkan Abu Hurairah, 

“Sesungguhnya, ia telah berdusta dan akan kembali lagi.”

Pada malam ketiga, Abu Hurairah berjaga lagi. 
Ternyata benar, orang itu datang kembali dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan zakat. Kali ini Abu Hurairah memperingatkannya dengan keras, “Sungguh, 
aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah! Ini 
peringatan terakhir! Kau bilang tidak akan kembali lagi, tetapi ternyata kau datang lagi!”
Ia menjawab, “Biarkan aku memberitahukan 
kepadamu beberapa kata yang dengannya Allah akan memberimu manfaat.

Jika kau akan tidur, bacalah ayat kursi. Maka, Allah akan memeliharamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”

Untuk ketiga kalinya, Abu Hurairah membiarkan 
orang itu pergi.
Ketika Abu Hurairah menyampaikan kejadian itu kepada Rasulullah Saw., beliau berkata, “Ketahuilah, 
ucapan orang itu benar, tetapi ia sendiri berdusta. 
Tahukah engkau siapa yang berbicara kepadamu sejak 
tiga malam yang lalu, hai Abu Hurairah?”
Abu Hurairah menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
“Ia adalah setan.”

45. Alangkah Jauh Jarak di Antara Mereka

 Al-Mubasysyirât adalah bagian yang tersisa dari 

kenabian hingga akhir zaman, biasanya berupa 

mimpi-mimpi baik yang dialami seseorang. Sahabat Anas r.a. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, 

“Sesungguhnya risalah (Tuhan) telah berakhir. Maka, tidak ada lagi seorang rasul atau nabi setelahku, kecuali 

Al-Mubasysyirât’. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah Al-Mubasysyirât itu?’ Beliau menjawab, ‘AlMubasysyirât adalah mimpi seorang Muslim yang saleh dan itu bagian Nubuwat (kenabian)’” (HR Ahmad 

dan Al-Turmudzi). Kisah berikut ini adalah contoh AlMubasysyirât.

Dikisahkan, ada dua orang dari Baliyyin menghadap Rasulullah Saw. Keduanya menyatakan masuk Islam dan salah seorangnya lebih rajin berjihad sehingga ia gugur sebagai syahid dalam sebuah pertempuran. Sementara, 

orang kedua meninggal setahun kemudian.

Thalhah ibn Ubaidillah r.a. menuturkan, “Aku mimpi berada di halaman salah satu surga dan aku melihat dengan kedua orang Baliyyin itu. Lalu, dari arah surga terlihat seseorang berjalan keluar lalu menjemput 

orang yang terakhir meninggal untuk masuk surga dan ia mengantarnya ke dalam. Lalu orang itu kembali 

lagi mendekati orang yang mati syahid dalam

pertempuran, dan berkata, ‘Kembalilah, karena kamu belum saatnya menjadi penghuni tempat ini!’”

Suatu hari Thalhah menceritakan mimpinya itu kepada para sahabat lain sehingga mereka keheranan mendengar mimpi Thalhah itu. Lalu, Thalhah dan beberapa kawannya menuturkan keheranan mereka kepada Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. bertanya, “Apa yang membuat kalian 

merasa heran?”

“Wahai Rasulullah, laki-laki yang disebutkan pertama itu lebih rajin berjihad hingga ia gugur sebagai syahid. 

Namun, mengapa orang kedua yang lebih dulu masuk surga?” 

“Bukankah ia masih hidup selama setahun setelah kawannya itu meninggal?”

“Benar, ya Rasulullah.”

“Dengan sisa umurnya itu ia masih berjumpa dengan bulan Ramadhan dan ia berpuasa. Ia juga mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya.”

“Benar, ya Rasulullah.”

Rasulullah Saw. berkata, “Alangkah jauh jarak di 

antara mereka berdua, seperti jarak antara langit dan bumi” (HR Ahmad).


44. Mencintai Surah Al-Ikhlâs

 Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk 

memimpin satu pasukan kecil. Ketika menjadi imam 

shalat, setelah membaca Surah Al-Fâtihah ia membaca 

Surah Al-Ikhlâsh. Tidak hanya sekali. Pada setiap shalat 

yang bacaannya dijaharkan, ia selalu membaca Surah AlIkhlâsh setelah surah Surah Al-Fâtihah, dan tidak hanya 

pada rakaat pertama, atau kedua, tetapi pada setiap 

rakaat. 

Kebiasaannya itu menimbulkan tanda tanya 

dalam benak sebagian pasukan, sehingga mereka 

menyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. saat mereka 

pulang ke Madinah. Mendengar laporan mereka, 

Rasulullah bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia 

berbuat seperti itu?”

Ketika ditanya, ia menjawab, “Karena surah ini 

mengandung sifat Allah Yang Maha Penyayang dan aku 

sangat suka membacanya.”

Ketika mengetahui alasan orang itu, Rasulullah Saw. 
berkomentar, “Sampaikan kepadanya bahwa Allah Swt. 
mencintainya.”
Dikisahkan bahwa seorang sahabat Anshar menjadi 
imam di Masjid Quba’. Setiap kali usai membaca 
Surah Al-Fâtihah, ia membaca Surah Al-Ikhlâsh, lalu 
dilanjutkan dengan surah yang lain. Itu ia lakukan 
pada setiap rakaat. Tentu saja sebagian sahabat heran 
dengan kebiasaannya ini. Sebagian mereka meminta 
sang imam agar ia membaca surah yang berbeda, 
bukan hanya Surah Al-Ikhlâsh. Namun, tetap saja ia 
bersikukuh dengan kebiasaannya itu. Maka, ketika suatu 
hari Rasulullah Saw. datang di daerah itu, para sahabat 
menceritakan kebiasaan imam masjid itu. Rasulullah Saw. 
pun memanggilnya dan bertanya, “Hai Fulan, mengapa 
kau tidak mengindahkan permintaan kawan-kawanmu. 
Apa yang membuatmu selalu ingin membaca Surah AlIkhlâsh?”
Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku 
sangat mencintai surah ini.”
“Sungguh, dengan mencintainya, pasti Allah 
memasukkanmu ke surga.”

43. Cinta kepada Rasulullah

 Suatu hari seorang Arab Badui datang menghadap 

Rasulullah Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, 

kapan Kiamat tiba?” Rasulullah Saw. tidak segera 

menjawabnya, karena waktu shalat telah tiba. Beliau 

segera mendirikan shalat bersama para sahabat. 

Usai shalat, beliau berpaling kepada para jamaah 

dan bertanya, “Mana tadi orang yang bertanya tentang 

Hari Kiamat?”

“Aku, wahai Rasulullah,” jawab Arab Badui itu.

“Apa yang telah kau persiapkan untuk menghadapinya?”

“Demi Allah, aku tidak mempersiapkan amal shalat 

atau puasa yang banyak. Aku hanya mencintai Allah dan 

Rasul-Nya.”

“Kau akan dikumpulkan dengan orang yang kaucintai.”
Anas ibn Malik yang meriwayatkan hadis ini 
berkomentar, “Aku belum pernah melihat orang Islam 
begitu bahagia setelah masuk Islam, seperti saat kami 
mendengar pernyataan Nabi bahwa siapa pun yang 
mencintai Nabi maka ia akan digabungkan bersama 
beliau pada Hari Kiamat.”
Diriwayatkan dari Abu Abdillah bahwa di Madinah 
ada seorang penjual minyak wangi. Ia dikenal sangat 
mencintai Rasulullah Saw. Setiap kali punya keperluan, 
ia tidak akan pergi sebelum memandang wajah beliau. 
Di kalangan sahabat, ia terkenal sebagai orang yang 
suka menatap Rasulullah Saw. Setiap kali bersua, ia akan 
memandang wajah Rasulullah dengan pandangan yang 
lama dan dalam. 
Suatu hari ia menemui Rasulullah Saw., berlama-lama duduk bersama beliau hingga ia merasa puas 
memandang wajah beliau. Setelah itu, ia beranjak pergi. 
Namun, tidak lama berselang, ia datang lagi menemui 
Rasulullah Saw., yang kemudian memberi isyarat dengan 
tangannya agar ia duduk. Maka, orang itu pun duduk di 
hadapan beliau.
Rasulullah bertanya, “Mengapa kau melakukan itu, 
padahal sebelumnya kau tidak bertingkah seperti itu?”
Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, demi yang 
mengutusmu dengan membawa kebenaran sebagai Nabi, 
ketika tadi aku meninggalkanmu, hatiku dipenuhi ingatan 
kepadamu. Karenanya, aku tidak bisa bekerja karena
selalu teringat kepadamu. Karena itulah, aku buru-buru 
kembali menemuimu.”
Kemudian, ia meminta izin Rasulullah Saw. untuk 
memandang wajahnya lagi. Beliau mendoakan kebaikan 
untuknya. Lama setelah kejadian itu Rasulullah Saw. tidak 
melihatnya.
Suatu hari, Rasulullah Saw. bertanya kepada para 
sahabat, “Ke mana orang itu?”
“Wahai Rasulullah, kami pun tidak melihatnya 
berhari-hari,” ujar para sahabat.
Rasulullah Saw. mengambil sandalnya dan beranjak 
pergi ke pasar diikuti para sahabat, karena ia berjualan 
minyak wangi di sana. Namun, tiba di tokonya, si penjual 
minyak wangi itu tidak ada sehingga Rasulullah Saw. 
bertanya kepada orang-orang di sekitarnya. 
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, pedagang 
minyak wangi itu telah meninggal dunia.” Orang-orang 
berkomentar tentang ia, “Wahai Rasulullah, kami 
mengenalnya sebagai pedagang yang jujur, tepercaya, 
dan amanah. Namun, ada satu kelemahannya.”
“Apa itu?” tanya Rasulullah Saw.
“Ia senang perempuan (bukan melakukan maksiat).”
Rasulullah Saw. berujar, “Sungguh, ia sangat 
mencintaiku. Jika ia sedikit tidak jujur dalam berdagang, 
Tuhan akan mengampuninya karena kecintaannya 
kepadaku.”

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...