Beberapa waktu setelah Futuh Makkah, Rasulullah
Saw. berangkat menuju Thaif ditemani Abu Bakar
beserta putra-putri Said ibn Al-‘Ash. Ketika mereka
melewati kuburan Said ibn Al-‘Ash, Abu Bakar bertanya,
“Kuburan siapakah ini?”
“Kuburan Said ibn Al-‘Ash,” jawab yang lain.
“Semoga Allah melaknat penghuni kubur ini,”
hardiknya, “sungguh ia telah memerangi Allah dan
utusan-Nya.”
Mendengar ucapannya, Amr ibn Said naik pitam
dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ini
adalah kuburan orang yang lebih banyak bersedekah
dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
Abu Quhafah.”
Abu Bakar menukas, “Apakah kau rela ia berkata
seperti itu kepadaku, wahai Rasulullah?”
“Bertuturlah yang sopan kepada Abu Bakar, hai
Amr.
Karena merasa jengkel, Amr ibn Said memisahkan
diri dari rombongan Rasulullah Saw. sehingga beliau
memperingatkan Abu Bakar dengan berkata, “Wahai Abu
Bakar, jika kau hendak menyebut orang kafir, sebutlah
secara umum. Karena jika kau menyebut orang tertentu,
itu akan menyakiti perasaan keturunannya.”
Sejak peristiwa itu, kaum Muslim tidak pernah
menyebut lagi kejelekan orang kafir yang telah mati
secara perorangan.
Rasulullah Saw. juga melarang kaum Muslim mencaci
orang musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar. Beliau
berkata, “Jangan menghina mereka, karena mereka tidak
akan pernah menyukai apa yang kalian katakan. Kalian
pun hanya akan menyakiti keluarganya yang masih hidup.
Sesungguhnya hinaan adalah perkataan yang keji.”
Sejak kembali dari Perang Uhud, para sahabat terus
mendesak Rasulullah Saw. agar mengutuk kaum kafir
Quraisy. Namun, dengan bijak beliau mengatakan,
“Sesungguhnya aku diutus dengan penuh rahmat, bukan
untuk melaknat.”
Padahal, jika mau, beliau bisa saja memohon kepada
Allah untuk membinasakan kafir Quraisy yang sangat
memusuhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar