Jumat, 27 Desember 2024

42. Allah sebagai Penyelamat

 Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju Ghatafan, 

Rasulullah Saw. dan pasukan Muslim menghentikan 

perjalanan karena hujan turun dengan sangat lebat. 

Beliau berlindung di bawah sebatang pohon, sementara 

anggota pasukan lain berpencar, masing-masing mencari 

tempat bernaung dan beristirahat.

Namun, rupanya musuh yang bersembunyi di 

ketinggian bukit melihat Rasulullah dan pasukannya yang 

tengah berlindung dari hujan deras. Mereka juga melihat 

saat itu Rasulullah bernaung hanya seorang diri tanpa 

seorang sahabat pun melindunginya. Mereka melihat 

kesempatan emas untuk membunuh Muhammad. 

Maka, mereka mengutus seorang lelaki yang paling 

berani dalam peperangan, yaitu Du’tsur ibn Al-Harits. 

Ia menyelinap, berjalan mengendap-endap mendekati

tempat Rasulullah Saw. beristirahat. Setelah dekat, ia 

mengawasi sekelilingnya, memastikan bahwa tak ada 

seorang sahabat pun yang mengawal Muhammad. 

Dengan sikap yang waspada, ia berjalan perlahan dan 
saat jaraknya sangat dekat, ia cabut pedangnya dan 
mengacungkannya kepada Muhammad.
Tentu saja Rasulullah Saw. terkejut, tetapi tetap 
bersikap tenang. Sambil menghunus pedang yang 
mengilap, Du’tsur membentak, “Siapakah yang dapat 
menyelamatkanmu sekarang?!”
Rasulullah Saw. menjawab dengan tenang, 
“Allah!” Anehnya, mendengar jawaban beliau, tubuh 
Du’tsur bergetar hingga pedang di tangannya terjatuh. 
Dengan sigap, Rasulullah Saw. mengambil pedangnya 
lalu balik bertanya, “Sekarang, siapakah yang dapat 
menyelamatkanmu?”
Ia menjawab, “Tak ada seorang pun.”
“Mengapa kau tidak katakan saja Allah?!” ujar 
Rasulullah Saw.
Kegaduhan itu didengar para sahabat sehingga 
mereka langsung mengepung Du’tsur. Mereka meminta 
kepada Rasulullah Saw. agar diperbolehkan membunuh 
orang itu. Du’tsur merengek dan mengiba meminta 
ampunan kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau 
mengampuni dan membebaskannya.
Lalu, ia berlari ke markas pasukannya sendiri 
dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Ia 
mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang 
sangat pemurah dan baik hati. Ia ceritakan berbagai
keutamaan Rasulullah sehingga mereka semua tertarik 
dan menyatakan masuk Islam.
Allah Swt. senantiasa menjaga dan memelihara RasulNya dari makar dan reka-perdaya musuh-musuhnya, 
termasuk dari kejahatan kaum Yahudi. Ada banyak kisah 
tentang upaya Yahudi untuk menyakiti dan membunuh 
Rasulullah.
Usai Perang Uhud yang menorehkan duka 
mendalam di hati Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin, 
Yahudi Bani Nadir berkonspirasi untuk membunuh 
Rasulullah Saw. Kesempatan itu mereka dapatkan ketika 
beliau mendatangi perkampungan Yahudi itu untuk 
merundingkan sesuatu. Saat itu, beliau duduk di rumah 
salah seorang pemuka Yahudi Bani Nadhir ditemani 
beberapa orang sahabat. 
Mereka melihatnya sebagai peluang emas untuk 
membunuh Muhammad. Maka, mereka memerintahkan 
salah seorang Yahudi untuk naik ke dinding rumah 
sambil membawa sebongkah batu besar untuk kemudian 
ditimpakan ke atas kepala Muhammad. 
Namun, sesaat sebelum niat jahat orang Yahudi 
itu terlaksana, Rasulullah Saw. bangun dari tempat 
duduknya, kemudian langsung pergi meninggalkan 
perkampungan itu. Tentu saja mereka tidak tahu
bahwa Jibril telah mengabarkan niat jahat mereka dan 
menyelamatkan Rasulullah Saw. 
Setelah peristiwa itu, Rasulullah Saw. mengumpulkan 
para sahabat dan bersepakat untuk mengusir orang 
Yahudi Bani Nadhir dari Madinah. Rasulullah Saw. 
mengirim utusan yang membawa surat ultimatum: 
“Keluarlah kalian dari Madinah, karena kalian telah 
berkhianat. Aku memberi kalian tempo sepuluh hari. 
Siapa pun yang masih tinggal di kampung itu setelah 
waktu yang ditentukan, ia akan dibunuh.”
Namun, setelah waktu yang ditetapkan berakhir, 
mereka mengabaikan peringatan itu dan tetap 
bertahan di perkampungan itu. Maka, Rasulullah segera 
menghimpun pasukan Muslim untuk mengepung dan 
mengusir mereka dari Madinah. Mereka bersikukuh 
bertahan di balik benteng Bani Nadhir. Namun, setelah 
dua puluh hari pengepungan, mereka menyerah dan 
memohon ampunan kepada Rasulullah. Mereka meminta 
dibolehkan pergi meninggalkan perkampungan itu 
dengan membawa harta dan keluarga mereka.
Rasulullah Saw. mengizinkan mereka pergi dari 
Madinah. Akhirnya, Yahudi Bani Nadhir pergi dari 
Madinah meninggalkan bahan makanan, tanah pertanian, 
50 baju besi, dan 340 bilah pedang.

41. Rezeki dari Allah

 Rombongan kabilah Asyari yang terdiri atas Abu 

Musa, Abu Malik, dan Abu Amir menempuh 

perjalanan untuk menemui Rasulullah Saw. Namun di 

tengah perjalanan, mereka kehabisan bekal sehingga 

mengutus salah seorang di antara mereka pergi lebih 

dulu untuk meminta bekal kepada Rasulullah Saw. 

Ketika tiba di tempat Rasulullah Saw., orang itu 

mendengar beliau membacakan firman Allah: Dan tidak 

ada suatu binatang melata pun di bumi yang tidak diberi 

rezeki oleh Allah … (QS Hûd [11]: 6).

Mendengar ayat Al-Quran itu dibacakan, orang itu 

berkata dalam hati, “Kaum Asyari telah durhaka kepada 

Allah.” 

Ia bergegas kembali menemui kaumnya, tidak 
melanjutkan tugasnya untuk meminta bantuan 
bekal kepada Rasulullah Saw. Saat bertemu dengan 
rombongannya, ia berkata, “Bergembiralah, pertolongan 
Allah telah tiba.” Orang itu sengaja tidak menceritakan 
kejadian sebenarnya yang ia alami di tempat Rasulullah.
Teman-temannya menyangka, ia benar-benar telah 
memberitahukan keadaan mereka dan meminta bekal 
kepada Rasulullah Saw. Lalu, beberapa saat kemudian, 
datang dua orang membawa kantong besar berisi roti
dan daging sehingga mereka bisa makan sampai kenyang.
Salah seorang dari mereka berkata, “Masih tersisa 
banyak makanan sehingga kita harus mengembalikannya 
kepada Rasulullah!”
Lalu rombongan Asyari ini menemui Rasulullah Saw. 
dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah 
merasakan makanan yang lebih baik dan lebih lezat 
daripada makanan yang engkau berikan kepada kami.”
Tentu saja Rasulullah Saw. kaget dan berkata, “Aku 
tidak pernah mengirimkan makanan kepada kalian.” 
Mereka pun kaget mendengar tuturan Rasulullah, lalu 
menceritakan apa yang telah mereka alami.
Maka, Rasulullah Saw. menanyai si utusan itu, “Apa 
yang telah kaulakukan?”
Ia menjawab, “Itu adalah rezeki yang telah dikirimkan 
Allah kepada kami sehingga kami dapat makan dan 
minum sampai puas.”
Pada tahun delapan Hijriah, Rasulullah Saw. memberangkatkan ekspedisi yang dipimpin Abu Ubaidah ibn
Al-Jarah membawa pasukan berjumlah 300 orang. Beliau 
membekali mereka dengan sekarung kurma. Ekspedisi ini 
berangkat menuju ke sebuah pantai.
Di tengah perjalanan, Abu Ubaidah membagi 
pasukannya masing-masing satu buah kurma. Banyak di 
antara anggota pasukan itu yang mengeluh karena hanya 
diberi sebutir kurma. Namun, mereka baru akhirnya 
sadar bahwa bekal yang mereka bawa sangat sedikit 
sehingga setiap butir kurma sangatlah berharga. 
Setelah bekal kurma itu habis tak tersisa, mereka 
makin ketat menahan lapar. Untuk mengganjal perut 
sepanjang perjalanan mereka kumpulkan dedaunan, 
lalu dibasahi, dan dijadikan makanan. Mereka bertahan 
seperti itu selama beberapa hari. Saat tiba di pantai, 
mereka menemukan seekor ikan paus yang terdampar. 
Mereka pun makan dagingnya yang mencukupi mereka 
selama setengah bulan. Bahkan, daging paus itu masih 
tersisa saat ekspedisi mereka di tempat itu berakhir. 
Maka, mereka membawa sisa daging itu sebagai bekal 
perjalanan pulang ke Madinah.
Saat Abu Ubaidah dan pasukannya tiba ke Madinah, 
mereka segera menghadap Rasulullah dan melaporkan 
ekspedisi serta pengalaman mereka. Beliau manggutmanggut lalu berkata, “Itu adalah rezeki dari Allah untuk 
kalian. Masih adakah sisa daging paus itu untuk kami 
makan?” Maka, mereka mengirim sisa daging paus itu 
kepada Rasulullah Saw., dan beliau pun memakannya.

40. Membeli Unta dengan Harga Lebih

 Jabir ibn Abdullah pernah bersama Rasulullah Saw. 

dalam suatu perjalanan. Unta yang ditunggangi 

Jabir tampak keletihan. Maka, ia membawa untanya 

menghadap Rasulullah Saw. dan beliau mendoakannya, 

kemudian berkata, “Tunggangilah kembali untamu!”

Jabir kembali menunggangi untanya, yang ternyata 

telah kembali bugar sehingga bisa mendahului 

rombongan yang lain. Saat beristirahat, Rasulullah Saw. 

bertanya kepada Jabir, “Bagaimana untamu sekarang?”

“Berkat Tuan, wahai Rasulullah, sekarang untaku 

kembali bugar.”

“Apakah kau akan menjual untamu?” tanya 

Rasulullah Saw. 

Tentu saja Jabir merasa malu menolaknya sehingga 

ia menjawab, “Ya.”

Akhirnya, disepakati harganya sebesar satu kati

emas. Setelah itu, Rasulullah Saw. berkata, “Kau boleh 

menungganginya sampai tiba di Madinah.

Sesampainya di Madinah, Rasulullah Saw. berkata 
kepada Bilal, “Berikan harga untanya, dan lebihi dari 
harganya, lalu kembalikan unta itu kepadanya!”
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika Rasulullah 
Saw. berkumpul dengan para sahabat di Masjid Nabawi, 
tiba-tiba muncul seorang pria yang langsung menemui 
beliau. Saat berada di dekat Nabi Saw., dengan kata-kata yang kasar ia langsung meminta beliau melunasi 
utangnya berupa seekor unta.
Tentu saja para sahabat jengkel melihat tingkah 
laki-laki yang tak tahu adat itu. Mereka hampir saja 
melabraknya jika tidak dicegah Rasulullah Saw. Kemudian 
beliau berkata kepada mereka, “Tentu saja pemberi 
utang berhak menagih utangnya!”Rasulullah Saw. diam 
sejenak, lalu me lanjutkan, “Beli lah seekor unta 
untuk orang ini, lalu serahkan kepadanya!”
Para sahabat segera meninggalkan masjid untuk membeli 
unta seharga unta milik orang itu, tetapi 

mereka tidak mendapatkan unta yang cocok. Mereka 
mendapatkan unta yang lebih bagus dan lebih tinggi 
harganya. Maka, mereka menemui Rasulullah Saw. dan 
melapor, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkan 
unta seperti yang engkau inginkan. Kami mendapatkan 
unta yang lebih bagus dan lebih mahal harganya.”
“Belilah unta itu, lalu serahkan kepada orang ini. 
Perlu kalian ketahui, yang terbaik di antara kalian adalah 
orang yang paling baik dalam melunasi utangnya,” jawab 
Rasulullah Saw.

Jumat, 20 Desember 2024

39. Meminta Doa kepada Rasulullah

 Rasulullah Saw. tak pernah malu dan bosan 

mendoakan para sahabat. Beliau juga tidak sungkan ketika diminta mendoakan mereka. Berikut ini beberapa kisah seputar doa beliau untuk para sahabat. 


Dikisahkan bahwa seorang laki-laki buta menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” 

Rasulullah Saw. bersabda, “Jika engkau mau, aku akan mendoakanmu, dan jika engkau mau juga, engkau 

bisa bersabar.” 

Lelaki itu bersikukuh, “Doakanlah aku, wahai 

Rasulullah.” 

Maka, Rasulullah Saw. menyuruhnya berwudhu 

dengan baik dan kemudian berdoa dengan kalimat: 


Allâhumma innî as’aluka wa atawajjahu ilayka 

binabiyyika, Muhammadin Nabiy al-rahmah. Ya Muhammadu, innî atawajjahu bika fî hâjjati hâdzihî, fataqdhi wa tasyfa‘ani fîhî wa tasyaffi’hu fîyya (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu 

dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang pengasih. Wahai Muhammad, aku menghadap denganmu dalam kebutuhanku ini. Ya Allah, berikan izin kepadanya untuk 

memberikan syafaat kepadaku). 

Ia membacakan doa itu berulang-ulang. Di saat 
pulang ke rumahnya, matanya sudah bisa melihat lagi.

Suatu hari Rasulullah Saw. melihat Abu Umamah dengan 
raut muka yang menampakkan kesusahan. Beliau 
bertanya, “Apa yang terjadi kepadamu?” 
Abu Umamah menjawab, “Aku sedangmenghadapi 
kesulitan dan utang yang harus kubayar.” 

“Maukah kuajarkan kepadamu kata-kata yang bila kauucapkan, niscaya Allah akan menghilangkan 
kesusahan darimu dan melunasi utangmu?” 
“Tentu saja, wahai Rasulullah.”
“Ucapkanlah doa ini di pagi dan sore hari: 
‘Allâhumma innî a‘ûdzu bika min al-hammi wa alhazan, wa a‘ûdzu bika min al-‘ajzi wa al-kasal, wa a‘ûdzu bika min al-jubni wa al-bukhl, wa a‘ûdzu bika min ghalabah al-dayn wa qahr al-rijâl (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kedukaan, aku berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari takut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari kuasa utang dan paksaan 
orang-orang)’”.

Abu Umamah menuturkan, “Maka, aku mengamalkan doa itu setiap pagi dan sore. Terbukti, Allah menghilangkan kesusahanku dan melunasi utangku.”

Lain lagi dengan Qubaishah ibn Al-Makhariq. Ia datang 
menemui Rasulullah Saw. dan memberi salam. Beliau membalas salamnya dan menyambutnya. 
“Apa yang membuatmu datang menemuiku, hai 
Qubaishah?” tanya Rasulullah Saw.
“Wahai Rasulullah, aku makin tua, kulitku telah 
menipis, tubuhku melemah, dan aku menjadi lunak di 
hadapan istriku, serta tidak sanggup lagi mengerjakan sesuatu yang dulu bisa kukerjakan. Maka, ajarkanlah kepadaku beberapa kata yang mudah-mudahan dijadikan Allah berguna bagiku, dan ringkaskanlah.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Qubaishah, ucapkan 
sebanyak tiga kali tiap usai mendirikan shalat shubuh: 
‘Subhânallâh wa bihamdih, subhânallâh al-‘azhîm wa bihamdih, wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh al-‘aliyy al-‘adzhîm (Mahasuci Allah dengan puji-Nya, Mahasuci 
Allah Yang Maha Agung dengan puji-Nya, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kehendak Allah Yang Mahatinggi 
lagi Maha Agung).’

“Jika kau mendawamkan doa ini,” kata Rasulullah 
Saw., “atas izin Allah kau akan aman dari kebutaan, penyakit kusta, dan lepra. Selain itu, ucapkan juga: 

‘Allâhumma ihdinî min ‘indik, wa afidh ‘alayya min fadhlik, wansyur ‘alayya min rahmatik, wa anzil ‘alayya 
min barakatik (Ya Allah, tunjukilah aku dengan petunjukMu, curahkanlah karunia-Mu kepadaku, sebarkanlah Rahmat-Mu kepadaku, dan turunkan berkah-Mu kepadaku.’”)

Kamis, 19 Desember 2024

38. Kata-kata yang Diperebutkan Malaikat

 Ketika Rasulullah Saw. beserta para sahabat 

menunaikan shalat berjamaah, tiba-tiba seorang 

pria berjalan cepat memasuki masjid. Ia bergabung dalam 

barisan shalat dengan napas masih tersengal-sengal, 

karena ia hampir berlari agar bisa shalat berjamaah. 

Lalu ia mengucapkan, “Al-hamdu lillâhi hamdan katsîran 

thayyiban mubârakan fîh (Segala puji bagi Allah dengan 

puji tak terhingga, yang baik, dan penuh berkah).”

Selepas shalat, Rasulullah Saw. menghadap ke 

arah jamaah dan bertanya, “Manakah orang yang tadi 

mengucapkan sesuatu saat aku shalat?”

Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan 

Rasulullah Saw. karena mereka tidak memahami 

maksudnya. Karena tak seorang pun menjawab, beliau 

bertanya lagi, “Manakah orang yang mengucapkan 

sesuatu ketika aku shalat tadi? Sesungguhnya ia tidak 

mengucapkan kata-kata yang buruk.”

Laki-laki yang memasuki shalat dengan napas 
tersengal-sengal itu sadar, ialah yang beliau maksudkan. 
“Aku, wahai Rasulullah,” jawabnya dengan suara lirih 
sambil menundukkan kepala karena malu. Ia melanjutkan, 
“Aku datang ke masjid nyaris berlari. Akibatnya, napasku 
tersengal-sengal dan kemudian kuucapkan kata-kata tadi.”
“Sungguh, aku melihat dua belas malaikat berebut 
untuk menyampaikan kata-kata itu kepada Allah Swt.,” 
ujar Rasulullah Saw. dengan wajah berbinar-binar.
Dalam riwayat Bukhari dari Rifa‘ah diceritakan bahwa 
suatu hari para sahabat mendirikan shalat berjamaah 
bersama Rasulullah Saw. Ketika bangun dari rukuk, 
beliau mengucapkan, “Sami‘allâhu liman hamidahu (Allah 
mendengar orang yang memuji-Nya).” Tiba-tiba, seorang 
sahabat berucap, “Rabbanâ laka al-hamd hamdan 
katsîran thayyiban mubârakan fîh (Wahai Tuhan kami, 
segala puji bagi-Mu dengan puji tak terhingga, yang baik, 
dan penuh berkah).”
Usai shalat, Rasulullah Saw. menghadap kepada 
jamaah dan bertanya, “Siapakah orang yang tadi 
mengucapkan sesuatu ketika aku bangun dari rukuk?”
“Aku, wahai Rasulullah,” jawab sahabat itu.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, aku melihat 
lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba untuk 
menjadi yang pertama menuliskan kata-kata itu.”

37. Seorang Budak yang Mulia

 Dikisahkan bahwa ada seorang budak yang 

hendak dijual di pasar. Para pembeli berdatangan 

menawarnya. Ketika para pembeli mengerumuninya, 

tiba-tiba budak itu berteriak lantang, “Barangsiapa ingin 

membeliku, aku mengajukan syarat, yaitu jika waktu 

shalat tiba, aku minta dibebaskan mengerjakan shalat 

berjamaah di belakang Rasulullah Saw. Siapa pun yang 

bersedia menerima syaratku ini, ia berhak membeliku.”

Akhirnya, seseorang bersedia memenuhi syaratnya 

dan membeli budak itu. Sejak saat itu, ia dibebaskan 

mengerjakan shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. 

Ia selalu mendirikan shalat secara berjamaah dan tidak 

pernah ketinggalan.

Suatu hari, Rasulullah Saw. tidak melihatnya di 

barisan jamaah kaum Muslim. Beliau menanyakan 

keberadaannya dan para sahabat menjawab, “Wahai 

Rasulullah, budak itu sedang sakit.”

“Aku ingin menjenguknya,” ujar Rasulullah Saw.

Meskipun ia seorang budak, Rasulullah melihat 
bahwa ia adalah kekasih Allah. Beliau bergegas pergi 
ke rumah majikan budak itu, menjenguknya, dan 
duduk di sampingnya. Setelah itu, beliau beranjak pergi 
meninggalkannya. Kemudian Rasulullah berpesan kepada 
para sahabat, “Kabarkan kepadaku keadaannya tiga hari 
ke depan.”
Tiga hari kemudian, para sahabat menyampaikan kabar, 
“Wahai Rasulullah, budak itu dalam keadaan sekarat!”
“Mari kita pergi menjenguknya,” ajak Rasulullah 
kepada para sahabat.
Rasulullah Saw. bergegas pergi menjenguknya. 
Namun, tidak lama budak itu bersua dengan Rasulullah, 
karena Allah telah memanggilnya. Rasulullah sendiri 
yang memandikan, mengafani, menshalati, dan 
menguburkannya.
Banyak sahabat yang merasa iri melihat perlakuan 
istimewa Rasulullah Saw. kepada budak berkulit hitam itu.
Menanggapi hal itu, Rasulullah Saw. membacakan 
ayat 13 Surah Al-Hujurât [49]: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan 
seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. 
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara 
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. 
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha 
Mengenal.

Rabu, 18 Desember 2024

31. Pemberian Nama yang Indah

 Betapa senang Abu Usaid di hari itu, karena ia baru 

saja dikaruniai oleh Allah Swt. seorang putra. Saat 

bayinya lahir dengan selamat, Abu Usaid langsung ingat 

apa yang dilakukan Al-Zubair ibn Al-Awwam dan istrinya, 

Asma binti Abu Bakar. Suami-istri ini dikaruniai seorang 

putra bernama Abdullah, yang kelahirannya disambut 

penuh suka cita oleh kaum Muslim. Mereka bergembira 

karena kelahiran Abdullah mematahkan ramalan yang 

disebarluaskan kaum Yahudi bahwa kaum Muslim tidak 

akan pernah memiliki keturunan selama menetap di 

Madinah.

Abu Usaid pun ingat bagaimana pasangan itu 

membawa bayi mereka kepada Rasulullah Saw. agar 

beliau menyuapkan makanan awal dari kunyahan beliau 

kepada bayi mereka, kemudian memberinya nama yang 

indah.

Maka, Abu Usaid bergegas membawa bayinya 

kepada Rasulullah Saw. Kebetulan saat itu beliau sedang

ada di masjid bersama para sahabat. Betapa gembira 

beliau melihat Abu Usaid yang datang membawa 

bayinya. Rasulullah Saw. langsung mengambil bayi itu 

dan meletakkan di pangkuannya, sedangkan Abu Usaid 

duduk di samping beliau.

Namun, tidak lama kemudian tiba-tiba Rasulullah 

Saw. menyerahkan kembali sang bayi kepada Abu Usaid. 

Beliau berdiri dan meninggalkan masjid menuju rumah 

salah seorang istrinya. Tentu saja, Abu Usaid bingung 

melihat tindakan beliau. Ia tidak tahu apa yang terjadi 

dan apa yang beliau kehendaki. Ia terpaku diam ketika 

salah seorang sahabat menggendong bayinya.

Belum lenyap kebingungannya, tiba-tiba Rasulullah 

Saw. datang lagi ke masjid, mendekatinya, dan berkata, 

“Wahai Abu Usaid, di mana bayi tadi?”

“Itu, wahai Rasulullah,” ujar Abu Usaid.

Setelah menerima kembali bayi itu, Rasulullah Saw. 

menyuapinya dengan kunyahan kurma yang beliau 

ambil dari rumah salah seorang istri beliau, kemudian 

mengusap bayi itu dan mendoakannya.

“Siapa nama bayi ini?” tanya Rasulullah Saw.

“Fulan, wahai Rasulullah,” jawab Abu Usaid.

“Jangan! Berilah ia nama ‘Al-Mundzir’,” saran 

Rasulullah Saw.

Maka, Abu Usaid pun memberi nama putranya itu 
dengan nama indah yang diberikan Rasulullah Saw.: “Al Mundzir”.

32. Cinta Rasulullah kepada Keluarganya

 Ummul Mukminin, Aisyah r.a. menuturkan, “Tidak 

pernah aku melihat seorang pun yang paling mirip 

keadaannya dengan Rasulullah Saw. dalam cara berdiri 

dan cara duduknya seperti Fatimah, putri beliau. Bila 

ia datang, Rasulullah segera berdiri menyambutnya, 

menciumnya, dan mendudukkannya di tempat 

duduknya.”

Begitu sering Rasulullah Saw. mencium Fatimah 

sehingga Aisyah r.a. pernah menegurnya. Namun, 

Rasulullah yang mulia menjawab, “Wahai Aisyah, kalau 

aku merindukan surga, aku akan mencium Fatimah.” 

Bahkan, Rasulullah Saw. mengungkapkan kecintaannya 

kepada putrinya di hadapan para sahabatnya. Beliau 

sering berujar, “Sesungguhnya Fatimah adalah belahan 

jiwaku. Siapa pun menyakitinya, berarti ia menyakitiku. 

Siapa pun membuatnya marah, berarti ia membuatku 

marah.

Rasulullah Saw. juga sangat mencintai cucu 
kesayangannya, Al-Hasan dan Al-Husain. Ibn Abbas r.a. 
bercerita, “Suatu hari, ketika kami berkumpul bersama 
Rasulullah, Fatimah datang sambil menangis. Tentu 
saja, Rasulullah kaget dan bertanya, ‘Biarlah Ayahmu 
ini menjadi tebusanmu, mengapa engkau menangis 
Putriku?’ Fatimah menjawab, ‘Al-Hasan dan Al-Husain 
pergi keluar rumah dan aku tidak tahu di mana mereka 
saat ini.’
Rasulullah berkata, ‘Jangan menangis, karena 
pencipta mereka lebih menyayangi mereka daripada 
engkau dan aku.’ Jibril pun turun dan berkata, 
‘Wahai Muhammad, jangan berduka. Mereka ada di 
perkampungan Bani Najjar. Keduanya tertidur. Allah telah 
mengutus malaikat untuk menjaganya.’
Kemudian Rasulullah Saw. beserta beberapa sahabat 
berangkat menuju perkampungan Bani Najjar. Mereka 
mendapati keduanya tidur berpelukan dan malaikat 
menaungi mereka dengan kedua sayapnya. Rasulullah 
Saw. mengambil mereka dan memeluknya hingga 
mereka terbangun. Beliau meletakkan Al-Hasan di bahu 
kanannya dan Al-Husain di bahu kirinya. Abu Bakar yang 
melihatnya berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikan salah 
seorang anak itu untuk kugendong.’ Rasulullah Saw. 
menjawab, ‘Alangkah indahnya kendaraan mereka dan 
alangkah indahnya para penunggangnya.

Tiba di masjid, beliau berdiri dengan Al-Hasan dan 
Al-Husain masih berada di kedua bahunya. Kemudian 
beliau berkata, ‘Wahai Muslim, maukah kutunjukkan 
kepada kalian orang yang paling baik, kakek dan 
neneknya?’ Mereka menjawab, ‘Tentu saja, wahai 
Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Al-Hasan dan Al-Husain. 
Kakek mereka Rasulullah, penutup para rasul, dan nenek 
mereka Khadijah binti Khuwailid, penghulu wanita ahli 
surga.’”
Suatu hari, Al-Hasan dan Al-Husain melihat rombongan 
kafilah lewat dan mereka melihat seorang anak kecil 
di atas seekor unta. Mereka pun merengek kepada 
sang kakek, Rasulullah Saw., agar bisa naik unta. 
Maka, Rasulullah Saw. membungkuk menjadikan tubuh 
beliau bagaikan unta dan menyuruh keduanya naik ke 
punggung. Kemudian, beliau merangkak keliling ruangan 
sehingga mereka tertawa-tawa senang. Kelak, beliau 
mengatakan betapa bahagianya menjadi tunggangan 
anak-anak yang sangat dicintainya.
Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. pernah 
memanjangkan sujud ketika shalat isya sehingga jamaah 
menyangka beliau sedang menerima wahyu. Usai shalat, 
beliau menjelaskan, “Tidak, bukan karena itu. Anakku 
menunggangi punggungku. Aku tidak ingin menyegerakan 
sujudku sebelum ia memenuhi hajatnya.”

36. Burung yang Berzikir dan Unta yang Menangis

 Sahabat Anas ibn Malik r.a. menuturkan bahwa ia 

pergi ke gurun bersama Rasulullah Saw. Di sana, 

mereka menyaksikan seekor burung yang sedang 

berkicau. Beliau bertanya kepada Anas, “Apakah kau 

tahu, apa yang dikatakan burung ini?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

“Burung itu mengatakan, ‘Ya Allah, Engkau telah 

menghilangkan penglihatanku dan Engkau menciptakanku 

dalam keadaan buta. Maka, berilah rezeki kepadaku, 

karena aku lapar.”

Tiba-tiba, Rasulullah Saw. dan Anas r.a. melihat 

burung lain datang membawa belalang di mulutnya dan 

memasukkannya ke mulut burung yang buta itu. Setelah 

makan, burung itu kembali berkicau.

“Apakah kau tahu apa yang dikatakan burung ini 

barusan?” tanya Rasulullah Saw. lagi.

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.

“Burung ini mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang 
tidak melupakan siapa pun yang mengingat-Nya,’” jelas 
beliau.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa burung itu 
berkata, “Barangsiapa yang tawakal kepada Allah, Dia 
akan mencukupinya.”
Kisah yang nyaris serupa dialami sahabat Abdullah ibn 
Ja‘far. Ia menuturkan bahwa suatu hari ia menemani 
Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan. Di tengah 
perjalanan, Rasulullah Saw. ingin buang hajat. Biasanya, 
beliau suka dinding yang tinggi atau rerimbunan pohon 
kurma yang berdekatan sebagai tirainya. Maka, beliau 
pergi ke balik sebuah dinding (bangunan) milik orang 
Anshar. Ternyata, di dalamnya ada seekor unta jantan. 
Ketika Rasulullah Saw. melihatnya, unta itu merintih 
seraya meneteskan air mata.
Melihat keadaannya, Rasulullah Saw. mendekatinya 
dan menghapus air matanya. Unta itu pun diam, tak lagi 
merintih. 
Rasulullah Saw. bertanya, “Siapakah pemilik unta ini?”
Datang seorang pemuda Anshar dan berkata, “Ia 
milikku, wahai Rasulullah.”
“Apakah kamu tidak takut kepada Allah yang telah 
mengaruniakan unta ini kepadamu? Sungguh, unta ini 
mengadu kepadaku bahwa kau membuatnya lapar dan 
susah.”

35.Menyambung Tangan yang Terputus

 Suatu hari Rasulullah Saw. pergi keluar Madinah. Di 

tengah perjalanan, beliau melihat seorang laki-laki 

sedang menimba air untuk memberi minum untanya. 

Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah kau ingin mengupah 

seseorang untuk membantumu menimba air?”

“Ya benar, aku akan memberi tiga butir kurma untuk 

satu ember air.”

Rasulullah Saw. setuju dan mulai menimba air untuk 

mendapatkan beberapa butir kurma. Setelah menimba 

beberapa ember air, tali timba terputus dan jatuh 

ke sumur. Lelaki itu marah dan melontarkan sumpah 

serapah kepada beliau. Bahkan ia menampar wajah 

Baginda yang mulia, lalu memberikan 24 butir kurma 

sebagai upah. Laki-laki itu menampar wajah yang mulia, 

padahal beliau telah berusaha keras mengambil kembali 

ember dan tali timba itu dari dalam sumur. Beliau telah 

melakukan berbagai upaya untuk mengambilnya. 

Setelah Rasulullah Saw. pergi, laki-laki itu teringat pada 

keburukan yang telah dilakukannya. Ia telah menyakit

seseorang yang sama sekali tidak bersalah. Ia menampar 
wajah orang itu, padahal ia sendiri melihat kesungguhan 
dan kesabaran orang itu saat berusaha mengambil ember 
yang terjatuh ke dalam sumur. Ia sadar, ia telah melakukan 
kejahatan dengan menampar wajah yang mulia. Ia sadar, 
orang yang diupahnya itu sama sekali tidak bersalah. 
Dirinyalah yang bersalah karena telah berbuat aniaya 
kepadanya. Maka, ia menghunus pedangnya sendiri dan 
menebaskannya pada tangan yang telah menampar 
wajah yang mulia itu. Seketika tangannya terputus. Darah 
mengucur deras, dan ia pun jatuh pingsan. 
Tidak lama berselang datang melintas satu 
rombongan kafilah. Mereka melihat seorang laki-laki 
terkapar di tanah dengan tangan yang terputus. Mereka 
membalut dan berusaha menghentikan aliran darah 
laki-laki itu. Kemudian, mereka memercikkan air pada 
wajahnya sehingga ia siuman dari pingsannya.
Setelah laki-laki bangun, mereka bertanya, “Apa yang 
terjadi padamu?”
“Tadi aku menampar wajah seseorang yang ciricirinya anu dan anu. Namun, orang itu sama sekali tidak 
marah atau membalas perbuatanku. Sekarang aku takut 
akan mendapatkan siksa dan balasan sehingga kupotong 
sendiri tanganku.”
“Tahukah kau, siapa orang yang tadi kautampar itu?” 
tanya mereka.
“Tidak.

“Ialah Muhammad, Nabi dan Rasul terakhir yang 
diutus Allah.”
Mendengar keterangan kafilah itu, kontan saja ia 
terhenyak! Ia pun menanyakan keberadaan Rasulullah Saw.
Kemudian, ia mengambil potongan tangannya 
dan bergegas pergi menuju Madinah untuk menemui 
Rasulullah Saw. Tiba di Madinah, ia melihat para sahabat 
duduk bersama di suatu tempat.
Para sahabat bertanya, “Apa keperluanmu?”
“Aku ingin bertemu Muhammad. Aku ada suatu 
keperluan dengannya.”
Salman Al-Farisi mengantar lelaki itu kepada 
Rasulullah Saw. Saat duduk berhadapan, ia 
mengungkapkan penyesalannya yang besar karena telah 
menampar wajah beliau.
“Mengapa kaupotong tanganmu?” tanya Rasulullah.
“Aku tidak menginginkan tangan yang telah kupakai 
untuk menampar wajahmu yang mulia,” jelasnya.
“Masuklah agama Islam,” ajak Rasulullah Saw.
“Jika kau benar-benar dalam kebenaran, 
sambungkanlah tanganku yang terputus ini.”
Rasulullah Saw. mengucapkan “Bismillâhir-rahmânirrahîm” sambil menyambungkan potongan tangan 
lelaki itu. Dan, tangan yang terputus itu menyatu 
kembali seperti tak pernah mendapatkan sedikit pun 
luka sebelumnya. Maka, laki-laki itu pun langsung 
mengucapkan dua kalimat syahadat.

34. Selamat Datang, Anakku

 Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada seorang 

kepala suku yang bernama Habib. Ketika Habib, 

yang dikenal sebagai tiran yang kejam, membaca surat 

itu, ia memperlakukan utusan Nabi Saw. dengan kasar, 

bahkan membunuhnya. 

“Singkirkan surat ini dari hadapanku!” teriaknya 

penuh kemarahan. 

Para pembantunya segera menyingkirkan surat 

itu dan menyatukannya dengan surat-surat lain dalam 

sebuah kotak, lalu disimpan di ruang penyimpanan 

istana. Surat yang dikirimkan Nabi Saw. itu tidak pernah 

disentuh lagi.

Kepala suku itu memiliki seorang anak laki-laki 

yang tampan bernama Khabbab. Suatu hari Khabbab 

memasuki ruang penyimpanan istana untuk melihatlihat beberapa dokumen. Ketika ia memeriksa kotak 

surat, ia melihat surat dari Nabi Saw. Surat itu menarik 

perhatiannya sehingga ia membuka dan membacanya.

Ketika itulah, api keimanan menyala-nyala dalam hatinya. 
Cahaya Islam membara dalam dadanya dan menyebar ke 
seluruh anggota tubuhnya. 
Khabbab membaca surat itu berkali-kali. Sejak hari 
itu, ia kerap terlihat merenung dan berpikir khusyuk. 
Ia tidak makan, tidak minum, tidak pula tidur. Ia terus 
merenung seraya bertanya dalam hati, “Siapakah 
Muhammad yang telah menulis surat ini?” 
Akhirnya, suatu hari Khabbab memberanikan diri 
berbicara kepada ayahnya tentang surat itu. Namun, 
sang ayah memarahinya, “Ya, aku menerima surat itu, 
tetapi aku tidak menyukai isinya. Surat itu bilang, agama 
dan keyakinan kita, serta patung-patung sesembahan 
kita adalah palsu. Penulis surat itu seorang penyihir yang 
ingin menaburkan benih perpecahan di antara bangsa 
Arab dengan menciptakan agama dan kepercayaan 
baru. Ia bilang, Islam adalah satu-satunya agama dan 
kepercayaan sejati. Ia tidak membedakan orang kaya dan 
miskin. Ia memandang sama antara budak dan orang 
merdeka. Berhati-hatilah Anakku, jangan sampai kau 
terpengaruh!”
Khabbab, yang hatinya telah disinari cahaya Ilahi 
dan kecintaan kepada Muhammad, sangat terkejut 
mendengar ucapan ayahnya.
“Ayah sungguh memalukan!” ujar Khabbab keras, 
“bagaimana bisa Ayah berkata seperti itu? Ayah telah 
membunuh utusan yang membawa pesan kebenaran.

Sekalipun sang ayah menentangnya, keinginan 
Khabbab untuk memeluk Islam makin keras. Di malam 
dan siang hari, diam-diam ia berdoa kepada Tuhan, 
“Wahai Tuhan Yang Maha Melindungiku, Engkau Maha 
Mengetahui isi hatiku. Aku mencintai Rasul-Mu, meskipun 
aku belum melihat wajahnya. Aku ingin mempersiapkan 
diriku sehingga tak ada lagi keraguan. Jika saatnya tiba, 
jumpakan aku dengan kekasih-Mu. Tunjukkan kepadaku 
keindahannya, sekali saja. Setelah itu, biarkan aku mati. 
Aku tidak lagi memikirkan mahkota atau kekuasaan.”
Lalu Khabbab pergi ke tempat-tempat sepi, menangis 
tersedu. Ia tidak pernah berhenti menyebut nama 
Rasulullah. Ia tidak tidur, tidak bersenang-senang, dan 
tidak berkumpul dengan orang-orang. Ia menjauhi 
manusia. 
Ayahnya murka ketika mengetahui tingkah aneh 
putranya itu. Suatu hari, ayahnya berkata, “Lihatlah 
Anakku, kau telah menghinakan dirimu dan membawa 
kesialan bagi kita semua. Kami benar-benar kecewa! 
Kuberikan penawaran terakhir sebelum kuserahkan 
dirimu kepada algojo. Kembalilah kepada agama dan 
kepercayaanmu. Jadilah kau raja sebagai penggantiku!”
Namun, Khabbab menjawab, “Ayah, apa yang Ayah 
katakan? Aku tidak akan menukar emas untuk kaleng 
rombeng. Aku adalah hamba Allah; Dia adalah Tuhan 
Yang Maha Melindungi seluruh alam. Aku adalah pencinta 
kekasih-Nya. Hatiku dipenuhi cinta kepadanya. Tak jadi
masalah bagiku, bagaimana kau akan menghukumku, 
bahkan jika kau memberi hukuman seribu kali lebih 
berat dari hukuman yang sekarang kuterima, atau jika 
kau memenggal semua anggota tubuhku, aku tidak akan 
pernah meninggalkan Islam.”
Khabbab terdiam sejenak lalu melanjutkan, 
“Hukuman apa pun yang telah kausiapkan, lakukanlah! 
Inilah kepala, punggung, dan badanku. Aku di sini, 
di hadapanmu. Ayo teruskan! Hukumanmu tak akan 
berpengaruh apa-apa kepadaku. Cinta kasih telah 
menyelimuti diriku. Aku telah menyerahkan jiwa 
dan ragaku kepada jalannya. Api cinta telah menjadi 
sahabatku. Mereka yang mengikuti Muhammad, 
menyerahkan segala yang mereka punya demi ia. Ayah! 
Hancurkan keangkuhanmu, jangan merasa malu di 
hadapan rakyatmu. Kalau Ayah cerdas, peluklah Islam. 
Ayah telah menyeruku pada kekafiran dengan tangisan, 
sementara aku menyerumu menuju kebenaran dengan 
kata-kata manis.”
Ayahnya sadar, tidak ada harapan lagi untuk 
mengembalikan anaknya. Ia tahu, Khabbab tidak akan 
pernah berada di sisinya lagi. Maka, ia pun memanggil 
para algojo dan berkata, “Siksa ia selama tiga hari, lalu 
bunuh di hari keempat!”
Tiga hari tiga malam mereka menyiksa Khabbab 
dengan berbagai siksaan. Kaki dan tangannya diikat 
dengan rantai besar. Saat mendekati waktu eksekusi,
algojo yang sedang bertugas diliputi rasa kantuk tak 
terhingga hingga ia jatuh tertidur.
Ketika Khabbab menimba air dari sumur, dengan 
tangan dan kaki dirantai, ia bermunajat, “Ya Tuhan 
Yang Maha Melindungi, Engkau Mahakuasa dan Engkau 
Maha Esa. Engkau melihat keadaanku sekarang. Engkau 
adalah Yang Maha Menyembuhkan hamba yang berada 
dalam tekanan. Engkau pun telah mengetahui cinta 
kasihku. Bukakan bagiku jalan lurus menuju kekasih-Mu, 
Muhammad. Tunjukkan kepadaku keindahan wajahnya 
yang diberkahi. Aku memuji-Mu dalam rasa sakit dan 
aniaya yang kualami demi agama dan kepercayaanku. 
Apabila aku mati tanpa sempat bertemu Muhammad 
dan memandangnya dengan kedua mataku, sungguh aku 
akan tersiksa menunggu datangnya Hari Kebangkitan. 
Sedetik saja terpisah darinya, kurasakan bagai ratusan 
tahun. Ya Allah, yang menuntaskan segala persoalan, 
aku memohon, biarkan aku bertemu dengannya.” Selesai 
berdoa, ia menarik napas panjang.
Usai Khabbab bermunajat, Allah memberikan apa 
yang Dia kehendaki, tentu kepada siapa saja yang Dia 
kehendaki. Allah berkata kepada Jibril, “Khabbab telah 
menghadapi ujian yang pedih sebagai seorang pencinta. 
Pergilah dan lepaskan ikatannya. Aku akan menyebarkan 
cerita tentang cinta kasihnya terhadap kekasih-Ku, juga 
derita yang ditanggungnya demi Aku dan ia. Khabbab 
adalah teladan bagi seluruh hamba-Ku yang mengaku
mencintai kekasih-Ku. Waktu perjumpaan telah tiba. 
Biarkan pencinta bersua dengan yang dicinta.” Serta 
merta, belenggu yang mengikat tangan dan kakinya 
lepas.
Kemudian, Khabbab pergi dari tempat itu. Ia tidak 
mengetahui jalan mana yang harus ditempuh. Namun, 
jiwanya terus terbang bagaikan burung elang, meratap 
menyeru kekasihnya, “Duhai Pembimbingku, Nabiku, 
Kekasihku!” Dengan kuasa Allah, ia melewati jarak 80 
hari perjalanan hanya dalam satu malam. Ia menunggang 
“kuda cinta” hingga akhirnya memasuki Madinah AlMunawwarah. Ia telah berada di tempat cahaya yang 
tidak pernah redup.
Tiba di Madinah, salah seorang sahabat Nabi, Amr, 
bertemu dengannya. Ia melihat seorang pemuda yang 
terus menangis dengan wajah memancarkan kerinduan. 
Ia merangkulnya dan menanyakan sebab tangisannya, 
“Hai Anak Muda, apakah kau lapar atau haus? Mari, 
aku akan memberimu roti dan air. Anakku, aku melihat 
tanda-tanda keimanan dalam dirimu.”
Khabbab menjawab, “Aku tidak ingin makan dan 
minum. Aku telah lama melupakannya, cinta telah 
mencukupiku.”
Amr sadar, pemuda ini seorang pencinta. “Kepada 
siapakah cintamu tertuju? Katakanlah kepadaku, Anakku 
.…
Saat itu, Khabbab tidak tahu, di mana ia berada. Ia 
berusaha menjaga rahasianya, karena takut menyebabkan 
derita baginya. Amr memahami kondisi pemuda itu 
sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, aku seorang Muslim. 
Jika kau percaya kepadaku, demi Muhammad, aku tidak 
akan memberitahukan rahasiamu kepada siapa pun.” 
Khabbab merasa tiba-tiba hatinya diliputi berkah 
dan kebahagiaan tak terkira saat mendengar nama 
kekasihnya. Seketika ia larut dalam kerinduan cinta yang 
dalam.
Sementara, di saat yang sama, Jibril turun menemui 
Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku 
sampaikan salam kepadamu. Engkau harus keluar 
bersama sahabat-sahabatmu menyambut pencinta 
yang datang dari jauh untuk menemuimu. Ia begitu 
mencintaimu. Tampilan luarnya kumal, tetapi hatinya 
adalah istana megah. Ia telah banyak menderita, demi 
Islam. Allah berfirman: Aku telah menganugerahkan 
kepada Khabbab kesabaran Ayyub a.s. Biarkan kekasihKu menyambutnya dan membawanya menuju berkahnya. 
Aku cinta kepadanya karena cintanya kepada kekasihKu.”
Maka, Rasulullah Saw. dan para sahabat bergegas 
pergi menemui Khabbab. Beliau merangkulnya dan 
berkata, “Selamat datang duhai pencinta yang beriman, 
selamat datang Anakku ....

Ketika Khabbab ingin mengusap wajahnya dari 
debu dengan kaki Baginda Nabi, beliau berkata ramah, 
“Anakku, apa yang telah engkau tanggungkan demi 
Islam?” 
Maka, Khabbab menceritakan perjalanannya mencari 
Sang Kekasih. Mendengar penuturan Khabbab, Baginda 
Nabi dan semua sahabat mencucurkan air mata.
Itulah akhir perjalanan sang pencinta. Mereka 
berujung pada kebahagiaan luar biasa. Khabbab 
membuktikan cinta kasihnya, bertemu Rasulullah Saw. di 
dunia ini, dan akan bersamanya di akhirat nanti. Seorang 
pencinta Rasulullah Saw. akan mereguk kebahagiaan 
yang sedalam-dalamnya dan selamanya.

33. Tempat Orang Kikir dan Dermawan

 Aisyah r.a. menuturkan bahwa seorang wanita muda 

menghadap Rasulullah Saw. mengeluhkan tangan 

kanannya yang kaku tak dapat digerakkan. Ia berkata, 

“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar tanganku 

sembuh seperti sedia kala.”

“Apa yang menyebabkan tanganmu seperti ini?” 

tanya Rasulullah Saw.

“Aku bermimpi Kiamat tiba. Neraka Jahanam 

menyala-nyala. Pintu-pintu surga telah dibuka. Lalu, aku 

melihat ibuku berada di tepi Neraka Jahanam. Pada 

salah satu tangannya ada sepotong lemak hewan, dan 

di tangan lainnya sepotong kain yang dipakai untuk 

menangkis kobaran api yang menyambar-nyambar.

‘Mengapa Ibu berada di tepi neraka? Padahal, 

Ibu taat kepada Allah dan ayah ridha kepadamu,’ aku 

bertanya kepada ibuku

‘Anakku, ketika di 
dunia aku adalah orang 
yang kikir! Tempat ini 
diperuntukkan bagi 
orang yang kikir,’ begitu ibuku men ja wab.
‘Apakah lemak 
dan kain yang ada di 
tanganmu itu?’
‘Kedua benda inilah 
yang pernah ibu sedekahkan 
selama di dunia. Hanya kedua benda 
inilah yang pernah kusedekahkan sepanjang hidupku.’
‘Lalu, di manakah Ayah?’
‘Ayahmu berada di surga. Ia orang yang dermawan. 
Surga diperuntukkan bagi orang dermawan.’
Lalu, aku pergi ke surga menemui ayahku. Ternyata, 
ia sedang berdiri di sisi telaga, memberi minum orangorang.
Lantas aku ber kata, ‘Ayah, ibuku adalah istrimu 
yang taat kepada Allah dan engkau ridha kepadanya. 
Sekarang, ia berada di tepi Jahanam. Api berkobar-kobar 
menyambar tubuhnya, sedangkan di sini Ayah memberi 
minum orang lain dari telaga Nabi. Berilah ibu seteguk 
air dari telaga ini!’
‘Wahai Putriku, Allah telah mengharamkan telaga 
Nabi ini untuk orang yang kikir dan berdosa,’ jawab 
ayahku.
Lalu, aku mengambil segelas air telaga itu tanpa 
seizin ayahku dan membawanya ke Neraka Jahanam. Aku 
meminumkannya kepada ibuku yang sangat kehausan. 
Tiba-tiba, aku mendengar suara, ‘Mudah-mudahan Allah 
menjadikan kaku tangan orang yang memberi minum 
orang kikir dengan air dari telaga Nabi!’
Sejak saat itulah tanganku menjadi kaku, wahai 
Rasulullah.”
Mendengar kisah wanita itu, Rasulullah Saw. 
meletakkan serbannya ke tangan wanita itu dan 
mendoakannya, “Ya Allah, demi kebenaran mimpi yang 
diceritakannya, sembuhkanlah tangan wanita ini!”
Seketika, tangan wanita itu kembali bisa digerakkan.

30. Memenuhi Undangan Tetangga

 Setelah pernikahan Rasulullah Saw. dan Aisyah r.a. 

diresmikan pada tahun kedua Hijriah, pasangan 

suami-istri itu pindah ke rumah (lebih tepatnya bilik) 

baru, yaitu ke salah satu bilik di samping Masjid 

Nabawi yang dibangun Rasulullah Saw. dari tanah liat 

dan beratapkan anyaman pelepah kurma. Tidak ada 

perlengkapan berharga di dalam bilik itu. Di dalamnya 

hanya ada sebuah tempat tidur dari kulit yang disamak, 

diisi bulu, dan di pintu bilik digantungkan tirai dari bulu.

Suatu hari, Rasulullah Saw. sedang bersama Aisyah 

r.a. di rumahnya. Ketika mengetahui bahwa Rasulullah 

Saw. ada di rumah Aisyah r.a., salah seorang tetangganya, 

yang berasal dari Persia dan dikenal piawai memasak 

segera menyiapkan hidangan. Setelah hidangan siap, ia 

lalu menemui dan mengundang Rasulullah Saw. untuk 

menyantap hidangan masakannya. Karena saat itu 

sedang bersama istri tercinta, beliau bertanya kepada

orang Persia itu, “Saudaraku, apakah Aisyah istriku, juga 

diundang?”

“Tidak, wahai Rasulullah,” jawab orang Persia itu. 
Ternyata, ia menyiapkan hidangan itu hanya untuk beliau.
Mendengar jawaban orang Persia itu, Rasulullah 
Saw. berkata kepada sang istri tercinta, “Wahai Aisyah, 
engkau tidak diundang.”
Merasa sungkan menerima undangan tanpa 
mengajak istri tercinta, Rasulullah Saw. lantas menolak 
dengan halus undangan tetangganya itu. 
Merasa ingin sekali rumahnya didatangi Rasulullah 
Saw., orang itu mengundang lagi beliau untuk mencicipi 
hidangan yang telah disiapkan di rumahnya.
Rasulullah Saw. yang tidak biasa menolak undangan, 
bertanya kepada orang Persia itu dengan ramah dan 
santun, “Wahai Saudaraku, apakah Aisyah, istriku, juga 
diundang?”
“Tidak, wahai Rasulullah,” jawaban orang Persia itu 
sama seperti sebelumnya. Ia sama sekali tidak peka 
terhadap perasaan Rasulullah Saw. kepada istrinya 
tercinta. Beliau enggan memenuhi undangan tetangganya 
itu dan meninggalkan istrinya seorang diri di rumah.
Mendengar jawaban tetangga Persia tersebut, 
Rasulullah Saw. berkata kepada sang istri tercinta, “Wahai 
Aisyah, engkau tidak diundang.” Untuk kali kedua, beliau 
pun menolak dengan halus undangan itu. Rasulullah Saw. 
enggan menerima undangan tanpa mengajak Aisyah

Namun, orang Persia ini bersikukuh ingin 
dikunjungi Rasulullah Saw., karena kedatangan beliau 
menjadi kehormatan baginya. Maka, untuk kali ketiga, 
ia mengundang lagi Rasulullah Saw. agar berkenan 
mencicipi hidangan yang telah disiapkannya.
Dan, untuk ketiga kalinya pula Rasulullah Saw. 
bertanya kepada orang Persia itu dengan ramah dan 
santun, “Apakah Aisyah, istriku, juga diundang?”
“Ya, wahai Rasulullah!” Tetangga Persia itu merasa 
bersalah dan menyesali kebodohannya.
Mendengar jawaban si tetangga Persia itu, Rasulullah 
Saw. langsung mengiyakan dan menyatakan akan segera 
mengunjungi rumah tetangganya itu. Beberapa saat 
kemudian, Rasulullah dan istrinya, Aisyah r.a. berjalan 
menuju rumah orang Persia itu.

29. Kasih Sayang Allah Lebih Besar

 Setelah Perang Hawazin berakhir, sejumlah tawanan 

yang terdiri atas anak-anak dan para wanita dihadapkan 

kepada Rasulullah Saw. dan beliau memperhatikan mereka. 

Lalu, beliau dan para sahabat melihat seorang tawanan 

wanita tampak sibuk sendiri. Ia melangkah ke sana 

kemari mencari-cari putranya, belahan jiwanya. Ia tampak 

terguncang, berteriak-teriak, dan bertingkah seperti orang 

gila. Ia datangi setiap anak kecil yang sedang disusui ibunya. 

Ia periksa wajah mereka satu per satu. Payudaranya hampir 

saja pecah karena air susu yang tertahan. Ia berharap 

putranya ada di sisinya sehingga ia bisa memeluk dan 

menciuminya sepuas-puasnya, meskipun untuk itu ia harus 

korbankan nyawanya.

Beberapa saat kemudian, sang ibu menemukan 

putranya. Seketika, air matanya mengering, akal sehatnya 

kembali lagi. Ia langsung meraih dan mendekapkannya 

ke dadanya. Tangisan anak itu membuat kasih sayangnya 

meluap-luap. Sang anak dipeluk dan dicium dengan

lembut, lalu dirapatkan ke dadanya dan ia sodorkan 
payudaranya.
Rasulullah Saw. yang sangat penyayang dan pengasih 
melihatnya dengan tatapan penuh kasih. Beliau melihat 
sang ibu sangat letih. Begitu lama ia menanggung 
kerinduan yang sangat dalam kepada putranya. Derita ibu 
dan anak itu sungguh teramat besar. Para sahabat yang 
duduk bersama Rasulullah Saw. pun melihat tingkah ibu 
dan anak itu. Setelah si ibu terlihat tenang, Rasulullah 
berpaling kepada para sahabat dan bertanya, “Menurut 
kalian, apakah ibu itu akan rela jika anaknya dilemparkan 
ke dalam kobaran api?”
Para sahabat terkejut mendengar pertanyaan 
Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin si ibu melempar 
anaknya ke dalam api? Bukankah anaknya itu adalah 
belahan jiwanya? Bagaimana bisa ia lemparkan anaknya 
ke dalam siksa? Mereka melihat ibu itu sangat mengasihi 
putranya sehingga mengabaikan penderitaan dirinya 
sendiri. Ia menciumi, memeluk, dan membasahi wajah 
anaknya dengan cucuran air matanya. Bagaimana 
mungkin ia melemparkan anaknya ke dalam api, padahal 
ia adalah ibu yang penuh kasih sayang?
Mereka menjawab, “Tentu saja tidak, wahai 
Rasulullah. Demi Allah, ibu itu pasti tidak akan rela. Ia 
tidak akan pernah bisa melakukannya.”
Rasulullah Saw. berkata, “Nah, kasih sayang Allah 
terhadap hamba-Nya lebih besar dibanding kasih sayang 
ibu itu kepada anaknya.”

28. Sayangilah, Niscaya Kau Disayang

 Suatu ketika Rasulullah Saw. mencium cucunya, AlHasan ibn Ali r.a. Saat itu, seorang sahabat, Al-Aqra’ 

ibn Harits Al-Tamimi ada di samping beliau. Menyaksikan 

betapa Rasulullah sangat mengasihi cucunya, Al-Aqra’ 

berkata, “Aku punya sepuluh anak, tetapi tidak pernah 

aku mencium seorang pun di antara mereka.”

Rasulullah Saw. berujar, “Barangsiapa yang tidak 

menyayangi, tidak akan disayangi.”

Dalam kesempatan yang lain, seorang Arab Badui 

menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku melihatmu 

menciumi anak-anak kecil, sementara kami tidak pernah 

melakukannya!”

Rasulullah Saw. berkata, “Sungguh aku tidak punya 

kuasa sedikit pun untuk menolongmu seandainya Allah 

mencabut rahmat dari hatimu.”


Rasulullah Saw. merupakan sosok yang penuh kasih 

sayang. Setiap kali seseorang datang menemui beliau, 

pasti beliau memberinya harapan dan akan memenuhi 

harapannya jika beliau mampu dan memiliki apa yang 

diinginkan orang itu. 

Salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan 

hadis beliau, yakni Anas ibn Malik r.a. mengatakan, 

“Tidak pernah aku melihat orang yang paling mengasihi 

fakir miskin dibanding Rasulullah Saw.”

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda, 

“Orang yang punya rahmat pasti akan dirahmati AlRahmân Tabâraka wa Ta‘âlâ. Rahmatilah makhluk di 
bumi, niscaya kalian akan dirahmati Dia yang di atas 
langit” (HR Ahmad).

27. Dan, Rasulullah pun Menangis

 Suatu hari Rasulullah Saw. dan beberapa sahabat berjalan 

untuk melihat putra beliau, Ibrahim, yang sedang sakit 

bersama ibu susuannya. Saat melihat putranya, beliau 

langsung memeluk dan menciuminya. Beberapa saat kemudian 

para sahabat memasuki kamar Ibrahim. Namun, mereka 

tak sempat bertemu dengannya karena Ibrahim yang mulia 

telah meninggal dunia. Kejadian ini me ninggalkan duka 

kepedihan yang sangat dalam di hati Rasulullah Saw. Kedua 

mata beliau terus meneteskan air mata.

Abdurrahman ibn Auf bertanya, “Wahai Rasulullah, 

engkau menangis?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Sesungguhnya tangisan 

adalah rahmah … kedua mata ini menangis ketika hati

berduka. Dan tidaklah kami mengatakan apa-apa kecuali 

apa-apa yang diridhai Tuhan kami. Wahai Ibrahim, kami 

sungguh berduka dengan kepergianmu.”

Rasulullah Saw. juga pernah menangis usai Perang Uhud. 
Setelah peperangan berakhir, dan pasukan Quraisy 
pulang ke Makkah, Rasulullah Saw. menyuruh para 
sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur di medan 
perang. Ada banyak kaum Muslim yang gugur dalam 
peperangan hebat itu, salah seorang di antara mereka 
adalah Hamzah, paman Nabi Saw. Mereka kumpulkan 
jasad kaum Muslim untuk dikuburkan. Setelah beberapa 
saat, mereka menemukan jasad Hamzah di dasar lembah 
dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Mereka 
bergegas memberi tahu Rasulullah Saw. Beliau menangis 
sedih ketika melihat kondisi jasad pamannya yang sangat 
mengenaskan—perutnya berlubang ditembus lembing 
milik Wahsyi dan dadanya terkoyak lebar disobek pisau 
milik Hindun yang kemudian merenggut jantungnya, 
mengunyahnya, dan memuntahkannya lagi. Ibn Mas‘ud 
menuturkan suasana saat itu.
“Kami belum pernah melihat Rasulullah Saw. 
menangis sesedih itu. Beliau meletakkan jasad Hamzah 
ke arah kiblat. Lalu, beliau berdiri di sampingnya dan 
menangis tersedu-sedu.”
“Seandainya Shafiyyah, saudari Hamzah, tidak akan 
bersedih atau kalau saja aku tidak khawatir tindakanku 
akan menjadi Sunnah, pasti sudah kutinggalkan 
jenazahnya hingga dimakan binatang buas atau dimakan 
burung,” ujar Rasulullah Saw

Rasulullah Saw. berkata seperti itu karena tidak 
tahan melihat kondisi jenazah pamannya.
Ibn Mas‘ud juga menuturkan hadis lain tentang tangisan 
Rasulullah Saw. Suatu ketika Rasulullah Saw. duduk 
bersama Abdullah ibn Mas‘ud, lalu beliau berkata, 
“Bacakanlah Al-Quran untukku!”
“Bagaimana aku membacakannya kepada Tuan, 
sedangkan Al-Quran diturunkan kepada Tuan?” tanya 
Ibn Mas‘ud.
“Aku senang mendengarnya dari orang lain,” jelas 
Rasulullah Saw.
Maka, Abdullah ibn Mas‘ud pun membacakan 
Surah Al-Nisâ’ dari awal surah hingga ayat 41: Maka 
bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), apabila Kami 
datangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan 
Kami mendatangkanmu (Muhammad) sebagai saksi atas 
mereka itu (sebagai umatmu)?
Saat mendengar ayat itu dibacakan, Rasulullah Saw. 
berujar, “Cukup!”
Ibn Mas‘ud menghentikan bacaannya dan melihat 
kedua mata beliau meneteskan air mata.

Senin, 09 Desember 2024

26. Rasulullah dan Anak Yatim

 Suatu pagi, usai shalat Idul Fitri, seperti biasanya, 

Rasulullah Saw. mengunjungi rumah demi rumah 

untuk mendoakan kaum Muslim. Mereka semua tampak 

senang dan bahagia terutama anak-anak. Mereka 

bermain sambil berlari-lari mengenakan pakaian bagus. 

Tiba-tiba, Rasulullah Saw. melihat di ujung jalan seorang 

gadis kecil duduk bersedih. Ia terlihat memakai pakaian 

tambal-tambal dan sepatu usang. 

Rasulullah Saw. bergegas menghampirinya. Gadis 

kecil ini menyembunyikan wajahnya dengan kedua 

tangannya, lalu menangis tersedu-sedu. Rasulullah 

meletakkan tangannya dengan penuh kasih pada kepala 

gadis kecil itu seraya bertanya dengan suara yang 

lembut, “Anakku, mengapa kamu menangis? Ini adalah 

hari raya bukan?”

Gadis kecil itu terkejut. Tanpa berani mengangkat 
kepala dan melihat siapa yang bertanya, ia menjawab 
terbata-bata, “Di hari raya ini semua anak merayakannya
penuh gembira bersama orangtuanya. Semua anak 
bermain senang. Namun, aku teringat ayahku yang telah 
tiada. Karena itulah aku menangis. Hari raya terakhir, ia 
masih ada bersamaku. Ia membelikanku gaun berwarna 
hijau dan sepatu baru. Saat itu, aku sungguh berbahagia. 
Lalu, suatu hari ayahku pergi berperang bersama 
Rasulullah hingga ia terbunuh. Kini, ayahku tiada. Aku 
menjadi anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, 
lalu untuk siapa lagi?”
Mendengar penuturan gadis itu, seketika hatinya 
diliputi duka yang mendalam. Dengan penuh kasih 
sayang, beliau membelai kepalanya seraya berkata, 
“Anakku, hapuslah air matamu … apakah kau ingin aku 
menjadi ayahmu? Apakah kau suka jika Fatimah menjadi 
kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu? 
Bagaimana, Anakku?”
Mendengar kata-kata itu, si gadis terhenyak dan 
berhenti menangis. Ia memandang takjub orang yang 
ada di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia adalah 
Rasulullah Saw., orang yang baru saja menjadi tempat 
curahan duka dan kesedihannya.
Tentu saja ia sangat senang mendengar penawaran 
Rasulullah, tetapi entah mengapa, ia tidak bisa berkata 
sepatah kata pun. Ia hanya bisa menganggukkan kepala 
perlahan sebagai tanda setuju.
Kemudian, ia berjalan bergandengan tangan 
dengan Rasulullah Saw. ke rumah beliau. Hatinya
diliputi kebahagiaan yang sulit dilukiskan, karena ia 
diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah Saw. 
yang lembut bagai sutra.
Tiba di rumah, Fatimah membersihkan wajah dan 
kedua tangan gadis kecil itu lalu menyisir rambutnya. Ia 
dipakaikan gaun yang indah, diberi makanan, juga uang 
saku untuk hari raya. Kemudian ia diantar keluar, agar 
dapat bermain dengan anak-anak lain.
Tentu saja anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil 
dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri 
itu. Dengan heran mereka bertanya, “Hai Gadis Kecil, 
apa yang terjadi padamu? Mengapa kau terlihat sangat 
senang?”
Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya, 
gadis kecil itu menjawab, “Akhirnya aku punya seorang 
ayah! Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya. 
Siapa yang tidak bahagia memiliki ayah seperti
Rasulullah? Aku juga punya seorang kakak perempuan, 
namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan memakaikan 
gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia dan 
ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta 
isinya.”

25. Wanita Penghuni Surga

 Seorang wanita datang menemui Rasulullah Saw. 

membawa anaknya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, 

anakku ini sakit dan aku takut kehilangan ia. Sungguh, 

aku telah kehilangan tiga anakku sebelumnya.”

Rasulullah Saw. berkata, “Sesungguhnya kamu 

terlindung dengan tabir yang amat kukuh dari panasnya 

api neraka.”

Sabda Nabi Saw. itu mengandung arti bahwa 

setiap wanita yang ditinggal mati anaknya, kemudian 

ia bersabar atas ketentuan Allah tersebut, niscaya Allah 

memasukkannya ke surga.

Di lain hari seorang wanita miskin menemui Aisyah 

r.a. sambil membawa dua anak perempuannya. Aisyah 

r.a. memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberi 

kedua anaknya masing-masing sebutir kurma, dan satu 

lagi untuk dirinya. Namun, ketika si wanita ini hendak

memakannya, kedua anaknya itu memintanya lagi. 

Akhirnya, ia membelah kurma itu dan membagikannya 

kepada kedua anaknya.Melihat pemandangan itu, Aisyah r.a. takjub dan mengagumi wanita itu. Kemudian, ia menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. dan beliau 

berkata, “Dengan perbuatannya itu, sungguh Allah 

akan menghadiahkan surga untuknya atau Dia akan 

membebaskannya dari siksa api neraka.”

Kisah berikut ini masih tentang wanita penghuni surga. 
Suatu hari Rasulullah Saw. shalat di masjid seorang diri. 
Tiba-tiba, seorang wanita Badui lewat dan melihatnya 
dan ia pun shalat di belakang Rasulullah Saw., tetapi 
beliau tidak mengetahuinya. Dalam shalatnya, Rasulullah 
Saw. membaca ayat: Jahanam itu memiliki tujuh pintu. 
Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang 
tertentu dari mereka (QS Al-Hijr [15]: 44).
Mendengar ayat itu dibacakan, sontak wanita Badui 
itu jatuh pingsan dan Rasulullah Saw. mendengarnya 
terjatuh di tanah. Maka, usai shalat Rasulullah Saw. pergi 
dan meminta air, lalu dibasuhkan ke muka wanita itu 
hingga ia tersadar dan duduk.
Rasulullah Saw. bertanya, “Hai Wanita, apa yang 
terjadi padamu?
Ia menjawab, “Aku jatuh 
pingsan karena mendengar kitab Allah yang 
di turunkan. Apa kah masing-masing anggota 
tubuh ku akan disiksa di salah satu pintu itu?”
“Bahkan tiap-tiap pintu telah ditetapkan untuk 
golongan tertentu dari mereka. Penghuni tiap-tiap pintu disiksa berdasarkan amal mereka,” ujar Rasulullah Saw.
“Demi Allah, aku wanita yang miskin, hanya memiliki 
tujuh anak. Aku mempersaksikan kepadamu, wahai 
Rasulullah, bahwa masing-masing mereka yang ada di 
tiap-tiap pintu Neraka Jahanam dapat mengharap wajah 
Allah Taala.”
Jibril turun menemui Rasulullah Saw. dan berkata, 
“Wahai Rasulullah, berilah kabar gembira kepada 
wanita Badui ini, karena Allah telah mengampuninya 
dan mengharamkannya pintu-pintu Jahanam serta 
membukakan pintu surga.”

Sabtu, 07 Desember 2024

24. Wirid Fatimah

 Ali ibn Abi Thalib r.a. dan istrinya Fatimah r.a. hidup 

sangat sederhana. Ketika menikah, perlengkapan 

rumah tangga yang mereka miliki hanyalah dua buah 

batu penumbuk gandum, dua buah tempat air dari kulit 

kambing, bantal yang terbuat dari ijuk pohon kurma, dan 

sedikit minyak wangi.

Mereka juga tidak punya pembantu atau pelayan. 

Fatimah bekerja seorang diri hingga kedua tangannya 

kasar dan melepuh. Sering kali Ali r.a. membantu 

pekerjaan istrinya di rumah. 

Suatu ketika Rasulullah Saw. pulang dari salah satu 

peperangan dengan membawa tawanan dan pampasan 

perang yang banyak. Ali r.a. menyarankan kepada istrinya 

untuk meminta seorang pembantu kepada beliau untuk 

meringankan pekerjaan rumah tangganya. Fatimah pun 

menyetujuinya


Putri Rasulullah Saw. itu pergi menemui ayahnya. 

Tiba di hadapan Rasulullah Saw., Fatimah ditanya, “Apa 

keperluanmu, Putriku?”

Fatimah terdiam. Ia tidak kuasa mengatakan maksud 
kedatangannya. Ia hanya berkata, “Tidak ada, wahai 
Rasulullah. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan 
salam kepadamu,” kemudian Fatimah beranjak pulang 
ke rumahnya.
Saat tiba di rumah, sang suami telah menunggunya. 
“Bagaimana hasilnya, wahai Istriku?” tanya Ali r.a.
“Aku tak kuasa mengatakannya kepada Rasulullah. 
Aku merasa malu meminta seorang pembantu kepadanya,” Fatimah menjawab pelan.
“Bagaimana kalau kita berdua mendatangi 
Rasulullah?”
Fatimah r.a. menganggukkan kepala, kemudian 
mereka pergi menghadap Rasulullah Saw. menyampaikan 
keinginan mereka. Namun, bagaimanakah tanggapan 
Rasulullah Saw.? Beliau berkata, “Demi Allah, aku 
tidak akan memberi kalian, sementara banyak fakir 
miskin kaum Muslim dengan usus berbelit-belit karena 
kelaparan.”
Malam hari itu, Rasulullah Saw. mendatangi Fatimah 
dan Ali. Keduanya sudah berbaring di tempat tidur. 
Mereka berselimut sehelai kain pendek yang tidak cukup 
menutup tubuh mereka. Jika kepala tertutupi, kaki
mereka tersingkap. Kalau kaki ditutupi, kepala mereka 
tersembul.
Mereka bangkit menyambut kedatangan ayahanda 
yang mulia. Namun, beliau berujar lembut, “Tetaplah di 
tempat kalian!” 
Setelah diam beberapa kejap, Rasulullah Saw. 
bersabda, “Maukah kalian kuajari beberapa kalimat 
sebagaimana yang diajarkan Jibril kepadaku, sesuatu 
yang lebih berharga daripada yang kalian minta tadi 
siang?”
“Tentu saja, wahai Rasulullah,” jawab mereka.
“Jibril mengajariku beberapa kalimat. Bacalah tasbih 
(subhânallâh) 10 kali, tahmid (al-hamdulillâh) 10 kali, 
dan takbir (Allâhu akbar) 10 kali, seusai shalat fardu. Dan 
bila kalian hendak tidur, bacalah tasbih 33 kali, tahmid 
33 kali, dan takbir 33 kali!”
“Sejak malam itu,” Ali menuturkan, “aku tidak 
pernah meninggalkan wiridan yang diajarkan Rasulullah.” 
Kelak di kemudian hari, wirid itu dikenal dengan nama 
“Wirid Fatimah”.
Pada kesempatan yang lain, Rasulullah Saw. mengunjungi 
rumah Fatimah Al-Zahra. Beliau melihat putrinya 
sedang menggiling gandum di penggilingan batu sambil 
menangis. Tentu saja Rasulullah heran dan bertanya, 
“Putriku, mengapa engkau menangis?

“Duhai Ayah, aku menangis karena batu penggilingan 
ini, dan juga karena beratnya pekerjaan rumah,” ujar 
Fatimah, “bagaimana jika Ayah meminta kepada Ali 
untuk membelikanku seorang budak perempuan untuk 
membantu pekerjaan rumah?” 
Rasulullah Saw. yang sedari tadi duduk di dekat 
Fatimah berjalan mendekati penggilingan itu. Beliau 
mengambil setangkup gandum dengan tangannya yang 
penuh berkah, lalu meletakkan gandum itu kembali 
di penggilingan, seraya membaca bismillâhir-rahmânirrahîm. Dengan izin Allah, penggilingan itu berputar 
sendiri menggiling gandum. Bahkan, si batu itu bertasbih 
kepada Allah dengan bahasa yang berbeda-beda.
Ketika dirasa sudah beres menggiling, Rasulullah 
Saw. berkata kepada batu itu, “Diamlah engkau, 
dengan izin Allah!” Seketika itu juga batu penggilingan itu 
tak bergerak. Namun, tak lama kemudian, si batu itu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih, “Wahai 
Rasulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar sebagai nabi dan rasul, sekiranya engkau memerintahkanku 
untuk menggiling gandum yang ada di Timur dan Barat, 
niscaya akan kulakukan. Sungguh, aku telah mendengar 
firman Allah dalam kitab-Nya, Wahai orang yang 
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api 
neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang 
dijaga malaikat yang kuat dan keras yang tidak pernah 
menyalahi semua perintah Allah kepada mereka. Mereka 
selalu melaksanakan semua perintah-Nya (QS Al-Tahrîm 
[66]: 6). Sungguh aku sangat takut, wahai Rasulullah, aku 
takut menjadi batu yang masuk neraka.”
Rasulullah Saw. menjawab, “Bergembiralah, karena 
kau termasuk batu yang akan menjadi bagian istana 
Fatimah kelak di surga.” Batu itu merasa gembira 
mendengarnya dan akhirnya ia diam.
Kemudian Baginda Nabi berkata kepada putrinya, 
“Wahai Fatimah, sekiranya Allah berkehendak, niscaya 
batu ini akan berputar sendiri untukmu. Tetapi, 
Allah ingin menuliskan kebaikan bagimu, menghapus 
kejelekanmu, dan mengangkat derajatmu, karena kau 
menggiling gandum dengan tanganmu sendiri. Putriku, 
siapa pun wanita yang memasak untuk suami dan anak-anaknya, Allah akan menuliskan baginya dari setiap biji 
yang dimasaknya satu kebaikan dan menghapus darinya 
satu keburukan serta mengangkat baginya satu derajat 
….” Wallâhu a‘lam.

23. Ide Cerdas Seorang Istri

  Pada tahun keenam Hijriah Rasulullah Saw. dan 

kaum Muslim hendak menunaikan umrah ke Kota 

Makkah, tetapi mereka tak bisa menunaikannya karena 

ditahan di perbatasan oleh kaum Quraisy. Mereka tidak 

membiarkan kaum Muslim memasuki Makkah meskipun 

hanya untuk menunaikan ibadah umrah. Menghadapi 

situasi yang menegangkan itu, Rasulullah melakukan 

berbagai upaya agar mereka dibiarkan memasuki Makkah 

dan menjalankan umrah. Namun, para pemuka Quraisy 

bersikukuh melarang mereka. Maka, berlangsunglah 

proses negosiasi dan perundingan yang sangat alot 

hingga kedua pihak menyepakati perjanjian yang dikenal 

dalam sejarah sebagai “Perjanjian Hudaibiyah”. 

Setelah kesepakatan dicapai antara Rasulullah dan 

utusan kaum Quraisy, banyak sahabat yang kecewa, 

karena beberapa butir perjanjian dianggap merugikan 

kaum Muslim. Mereka merasa, Rasulullah Saw. banyak 

mengalah terhadap kaum musyrik Quraisy sehingga

Umar ibn Khaththab r.a. bertanya kepada Abu Bakar 

r.a. dengan nada kecewa, “Bukankah beliau adalah 

Rasulullah?”

“Ya, tentu saja,” jawab Abu Bakar.
“Bukankah kita ini kaum Muslim?”
“Ya!”
“Lalu, mengapa kita menerima begitu saja?”
Abu Bakar menjawab, “Hai Umar, tahanlah ucapanmu! 
Aku menjadi saksi bahwa beliau adalah utusan Allah.”
Tentu saja Rasulullah Saw. mengetahui sikap kaum 
Muslim yang kecewa karena beliau dianggap banyak 
mengalah kepada kaum musyrik. Namun, beliau 
tetap sabar dan berlapang dada. Beliau berkata, “Aku 
adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan aku tidak 
akan mengingkari perintah-Nya. Dia pun tidak akan 
membiarkan aku lenyap di jalan.”
Di antara butir Perjanjian Hudaibiyah yang dianggap 
merugikan kaum Muslim adalah bahwa tahun itu kaum 
Muslim tidak boleh menjalankan umrah dan baru boleh 
mengerjakannya tahun berikutnya. Lalu, jika ada orang 
Madinah (Muslim) yang murtad dan pergi ke Makkah, 
ia tidak boleh dikembalikan ke Madinah. Sebaliknya, jika 
ada orang Makkah yang hijrah ke Madinah dan memeluk 
Islam, ia harus dikembalikan ke Makkah jika keluarga 
orang itu menghendakinya.
Usai perundingan, Rasulullah Saw. menyuruh mereka 
menyembelih kurban, memotong rambut (tahalul), dan
pulang ke Madinah. Namun, para sahabat mengacuhkan 
perintah beliau. Mereka masih dongkol dengan hasil 
Perundingan Hudaibiyah. Mereka enggan menjalankan 
perintah Rasulullah ini meskipun beliau menitahkannya 
berkali-kali.
Melihat keadaan itu, Rasulullah tampak berduka. 
Beliau memasuki kemah istrinya, Ummu Salamah. Dengan 
raut muka diliputi kesedihan, beliau menceritakan 
kegelisahannya. “Akan binasakah umatku ini?” tanya 
Rasulullah Saw. 
Setelah mengetahui akar masalahnya, Ummu 
Salamah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, 
bila kau ingin sahabatmu menjalankan semua yang 
engkau perintahkan maka keluarlah dan jangan katakan 
apa-apa. Lakukanlah tahalul, sembelih untamu, dan 
potonglah rambutmu!”
Rasulullah Saw. menerima usul istrinya. Beliau keluar 
dari kemahnya, tidak berbicara walau sepatah kata pun, 
lalu bertahalul, menyembelih untanya, dan mencukur 
rambutnya. Menyaksikan pimpinan mereka melakukan 
semua itu, para sahabat pun mengikutinya dengan 
lapang dada.
Kelak, sejarah membuktikan bahwa Perjanjian 
Hudaibiyah itu memberi banyak keuntungan kepada 
kaum Muslim. Ini menunjukkan betapa jauh visi politik 
Rasulullah Saw. ketika mengambil keputusan yang 
diragukan para sahabat.

22. Mangkuk, Madu, dan Sehelai Rambut

 Suatu ketika Rasulullah Saw. mengajak Abu Bakar, 

Umar, dan Utsman r.a. bertamu ke rumah putrinya, 

Fatimah r.a. Di saat yang sama, Ali ibn Abi Thalib juga 

ada di sana. Setelah semua orang duduk, Fatimah r.a. 

menghidangkan madu pada sebuah mangkuk yang 

cantik. Namun, ketika madu itu dihidangkan, sehelai 

rambut jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Saw. meminta semua sahabatnya untuk 

membuat satu kalimat perbandingan untuk ketiga 

benda itu (mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai 

rambut). Rasulullah Saw. meminta Abu Bakar yang mulai 

berbicara, disusul para sahabatnya yang lain.


Abu Bakar r.a. berkata, “Iman itu lebih cantik 

daripada mangkuk cantik ini. Orang yang beriman itu 

lebih manis dibanding madu, dan mempertahankan iman 

itu lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Umar r.a. berkata, “Kerajaan itu lebih cantik daripada 

mangkuk cantik ini. Seorang raja itu lebih manis dari

⁹madu, dan memerintah dengan adil 

itu lebih sulit dibanding meniti sehelai rambut.”

Utsman r.a. tak mau kalah. Ia berujar, 
“Ilmu itu lebih cantik daripada mangkuk 
cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu 
lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu 
yang dimiliki itu lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Dan kemudian Ali r.a. berkata, “Tamu itu lebih cantik 
daripada mangkuk cantik ini. Menjamu tamu itu lebih 
manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai 
kembali pulang ke rumahnya jauh lebih sulit daripada 
meniti sehelai rambut.”

Rasulullah Saw. berpaling kepada putrinya, Fatimah 
r.a., memintanya membuat perbandingan. Dengan 
tenang Fatimah berkata, “Seorang wanita itu lebih cantik 
daripada mangkuk cantik ini. Wanita yang berjilbab itu 
lebih manis dari madu, dan mendapatkan wanita yang 
tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih 
sulit daripada meniti sehelai rambut.”
Akhirnya, Rasulullah Saw. berkata, “Orang yang 
mendapat taufik untuk beramal adalah lebih cantik
daripada mangkuk cantik ini. Beramal dengan amal yang 
baik itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan 
ikhlas jauh lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Malaikat Jibril a.s. berkata, “Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik daripada mangkuk cantik. 
Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk agama lebih 
manis dari madu, dan mempertahankan agama hingga 
akhir hayat lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Dan, Allah berfirman, “Surga-Ku itu lebih cantik 
daripada mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku lebih 
manis dari madu, dan menuju surga-Ku jauh lebih sulit 
daripada meniti sehelai rambut.”

Rabu, 04 Desember 2024

21. Nabi Saw. Bersama Fatimah r.a. dan Aisyah r.a.

Suatu ketika Rasulullah Saw. beribadah selama 

beberapa hari tanpa makan sedikit pun hingga beliau merasa lapar dan kepayahan. Beliau Saw. mendatangi 

rumah istri-istrinya, tetapi tidak mendapatkan sesuatu pun untuk dimakan. Akhirnya, beliau mendatangi putrinya, Fatimah, dan berkata, “Putriku, apakah kau punya sesuatu yang bisa kumakan? Aku merasa lapar.” 

Fatimah menjawab, “Demi Allah, engkau, dan ibuku, aku tidak punya apa-apa.” Ketika Baginda Nabi keluar dari rumah Fatimah r.a., seorang tetangganya datang membawa dua potong 

roti dan sekerat daging. Fatimah mengambilnya dan meletakkannya pada sebuah mangkuk. Ia berkata, 

“Demi Allah, aku akan mendahulukan Rasulullah untuk 

menyantap makanan ini daripada diriku dan keluargaku meski mereka juga membutuhkannya.


Kemudian, Fatimah mengutus Al-Hasan atau Al-Husain untuk mengundang Rasulullah Saw. Saat beliau datang, Fatimah berkata, “Demi ayah dan ibuku, Allah 

telah memberiku sesuatu, dan aku telah menyiapkannya 

untukmu.”

Nabi Saw. bersabda, “Bawalah ke sini, wahai 

Putriku.” Fatimah bergegas mengambil mangkuk besar dan 

membukanya. Ternyata, mangkuk itu telah dipenuhi roti dan daging. Saat melihatnya, Fatimah terkejut dan sadar 

bahwa itu merupakan berkah dari Allah Swt. Fatimah memuji Allah dan memanjatkan shalawat kepada Nabi-Nya.Kemudian, ia menghidangkan makanan itu di hadapan ayahnya.Saat melihatnya, beliau juga memuji 
Allah Swt. lalu bertanya, “Putriku, dari manakah engkau mendapatkan semua ini?”
Fatimah r.a. menjawab, “Ayah, semua ini berasal dari Allah Swt. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada 
siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.”
Mendengar jawaban putrinya, Rasulullah Saw. 
kembali memanjatkan pujian kepada Allah Swt. dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanmu, wahai Putriku, menyerupai pemimpin wanita Bani Israil. Ketika Allah Swt. menganugerahkan sesuatu kepadanya, 
lalu ditanya tentang makanan itu, ia menjawab, ‘Semua 
ini berasal dari Allah Swt. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa 
perhitungan.’

Rasulullah Saw. memanggil Ali r.a., kemudian beliau dan keluarga Fatimah makan bersama hingga kenyang. Fatimah r.a. menuturkan, “Setelah kami makan, mangkuk itu masih penuh dengan makanan seperti sedia kala.” Karena masih banyak tersisa, 
Fatimah membagikan makanan itu kepada tetangga-tetangganya. Allah menjadikan makanan di mangkuk itu penuh berkah dan kebaikan.Keutamaan dan kemuliaan Rasulullah juga diceritakan oleh istri beliau, Aisyah r.a. Diriwayatkan bahwa Abdullah ibn Umar dan dua orang kawannya menemui Aisyah 
r.a. dan memintanya bercerita tentang Rasulullah Saw. 
Beberapa saat Aisyah termenung, kemudian menarik napas panjang beberapa kali. Air mata tampak tergenang 
di pelupuk matanya. Lalu ia berkata lirih, “Ah, semua perilakunya teramat memesona.”
“Ceritakan kepada kami yang paling memesona di antara semua yang pernah Ibu saksikan,” pinta Abdullah. Maka, Aisyah menuturkan sepenggal kisahnya 
bersama Rasulullah Saw., “Suatu malam ketika beliau 
tidur bersamaku dan kulitnya bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata, ‘Wahai Aisyah, apakah kamu rela 
jika di malam milikmu (giliranmu) ini aku beribadah?’
‘Aku sungguh senang berada di sisimu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.
Kemudian beliau bangun, mengambil wadah air, 
dan berwudhu. Aku mendengar beliau menangis dalam 
shalat. Suaranya terisak-isak. Setelah itu beliau duduk membaca ayat-ayat Al-Quran, juga sambil menangis hingga air mata membasahi janggutnya. Ketika beliau 
berbaring, air mata mengalir lewat pipinya membasahi 
bumi di bawahnya.
Di waktu fajar, Bilal datang dan masih melihat Rasulullah menangis. Bilal heran campur kaget melihat 
keadaan beliau. Saat itu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal Allah telah 
mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang kemudian?’
Rasulullah menjawab, ‘Apakah kau tidak rela, aku menjadi hamba yang bersyukur? Aku menangis karena 
malam tadi turun wahyu kepadaku: Sesungguhnya 
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) Orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan 
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. 
Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka” 
(QS Âli ‘Imrân [3]:190-191).
Kemudian Rasulullah Saw. berpaling kepada Bilal dan berkata, ‘Hai Bilal, rugilah orang yang membaca ayat ini 
tetapi tidak menghayati kandungannya.’”

20. Minta Uang Belanja Lebih

 Suatu hari semua istri Rasulullah Saw. berkumpul dan saling melontarkan keluhan. Mereka merasa 

tidak mendapatkan nafkah dan perhiasan yang laik. Mendengar keluhan mereka, Rasulullah Saw. memberi 

mereka dua pilihan: bersabar bersama beliau dengan kehidupan apa adanya, atau hidup serbamewah tetapi 

tanpa beliau (diceraikan).

Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rasulullah Saw. 

merasa gundah mendengar keluhan mereka. Perasaan 

ini tidak bisa beliau sembunyikan. Tidak lama setelah kejadian itu, Abu Bakar dan Umar memasuki rumah beliau.

Keduanya segera tanggap saat melihat Rasulullah Saw. berwajah muram dikelilingi istri-istrinya. Keduanya 

berpikir, kesedihan beliau pasti akibat ulah istri-istri 

beliau. Maka, keduanya berusaha meredakan kegundahan beliau


Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya aku mendapati putriku menuntut nafkah kepadamu, aku 

pasti akan mencekik lehernya.” Umar pun mengucapkan kata-kata yang sama berkaitan dengan putrinya, Hafshah.Setelah itu, mereka menemui putrinya masingmasing. Tanpa pikir panjang, kedua sahabat ini mencekik leher putrinya seraya menghardik, “Kamu menuntut 

sesuatu yang tidak sepatutnya kepada Rasulullah Saw.!”
“Demi Allah, kami tidak akan menuntut sesuatu yang tidak dimiliki Rasulullah Saw.,” jawab mereka.Buntut dari peristiwa ini, Rasulullah Saw. meninggalkan istri-istrinya selama satu bulan hingga turun firman Allah tentang masalah ini (QS Al-Ahzâb 
[33]: 28-29). Setelah mendapatkan wahyu itu, Rasulullah Saw. mendatangi Aisyah dan berkata, “Aku ingin 
memberitahukan sebuah perkara dan aku ingin kau cepat-cepat meminta pendapat orangtuamu.”
“Perkara apakah gerangan, wahai Rasulullah?” tanya 
Aisyah. 
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan ayat yang baru saja diterimanya. 
“Perlukah aku meminta pendapat orangtuaku, wahai 
Rasulullah? Tentu saja aku memilih Allah dan Rasul-Nya serta Hari Akhir,” jawab Aisyah tegas.Kemudian, Rasulullah menemui istri-istri beliau yang 
lain dan mengajukan pilihan yang sama sebagaimana

disebutkan dalam wahyu Allah itu. Ternyata, mereka semua memutuskan pilihan yang sama. Mereka memilih Allah, Rasul-Nya, dan Hari Akhir. Mereka merasa cukup 
dengan kebahagiaan yang dinikmati bersama Rasulullah Saw.
Kenyataannya memang demikian, kebahagiaan 
hidup bersama Rasulullah Saw. tidak bisa ditukar dengan materi, sebesar apa pun materi yang mereka 
dapatkan. Sebab, semua kekayaan itu tidak akan dapat menggantikan kemuliaan mereka sebagai istri Rasulullah Saw.

19. Makanan di Rumah Rasulullah

 Sejak datang di Madinah, pernah selama tiga hari 

berturut-turut keluarga Rasulullah Saw. tidak makan kurma hingga mereka begitu menginginkannya.

Namun, keinginan sederhana itu baru bisa terpenuhi setelah 

peristiwa penaklukan Khaibar.

Suatu hari Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah Saw. tidak pernah makan sampai kenyang. Suatu ketika, aku mendapatkan perut beliau berbunyi pertanda lapar. 

Aku mengusap perutnya seraya berkata, ‘Aku bersedia menjadi tebusanmu, kalau engkau menginginkan 

sesuatu yang dapat mengembalikan kesegaran dan 

membebaskanmu dari rasa lapar.’”

Rasulullah Saw. berkata, “Para sahabatku, kalangan ulul ‘azmi dari para nabi, mampu bersabar dalam situasi 

yang lebih sulit dari ini. Mereka berhasil melalui cobaan itu, kemudian menghadap ke hadirat Allah. Karena itulah mereka mendapatkan kemuliaan dan pahala yang berlimpah. Aku malu jika lalai dengan kehidupanku sehingga aku tidak dapat bertemu dengan mereka. Jadi, 

bersabar selama beberapa hari lebih kusukai daripada 
bagianku kelak berkurang. Tidak ada sesuatu yang lebih 
kusukai daripada pertemuan dengan para sahabatku.”
Suatu saat Rasulullah Saw. berkata, “Aku merasa lapar sehari dan kenyang sehari. Ketika lapar, aku bisa bersabar 
dan menahan diri. Di saat kenyang, aku bersyukur.”
Pernah suatu ketika selama 40 malam rumah 
Rasulullah Saw. tidak diterangi cahaya lampu.
“Bagaimana kalian makan?” tanya orang-orang.
“Kami makan kurma dan minum air,” jawab Aisyah.
Untunglah Rasulullah Saw. memiliki seorang tetangga dari kalangan Anshar yang kerap memberikan makanan. 
Seorang tetangganya yang lain sering memberinya susu.
“Karena itulah kami menikmati keduanya,” ujar Aisyah.

18. Satu Uqiyah yang Membuat Resah

 Suatu hari seseorang menemui Rasulullah Saw. dan 

meminta beliau mendoakannya. Beliau berkata, 

“Duduklah. Allah akan mengaruniakan rezeki kepadamu.” 

Tidak lama kemudian, datang lagi orang kedua dan 

ketiga. Seperti kepada orang pertama, beliau berkata, 

“Duduklah. Allah akan mengaruniakan rezeki kepadamu.” 

Terakhir, datang orang keempat sambil membawa empat 

uqiyah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk 

menyerahkan sedekah.”

Rasulullah Saw. memanggil orang pertama dan 

memberinya satu uqiyah (40 dirham), begitu pula dengan 

orang kedua dan ketiga, masing-masing mendapatkan 

satu uqiyah. Masih tersisa satu uqiyah dan Rasulullah 

Saw. menawarkannya kepada semua yang hadir, tetapi 

tak seorang pun mau menerimanya.

Saat malam tiba, Rasulullah Saw. meletakkan satu 

uqiyah itu di bawah bantalnya. Namun, beliau tidak 

bisa memejamkan mata sehingga beliau bangkit dan

mendirikan shalat. Usai shalat, istri beliau, Aisyah r.a., 

bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah sesuatu terjadi 

padamu?”

“Tidak,” jawab Rasulullah Saw.
“Apakah datang perintah dari Allah?”
“Tidak.”
“Malam ini aku melihatmu melakukan sesuatu yang 
belum pernah kaulakukan sebelumnya,” ujar Aisyah 
seraya mengeluarkan uqiyah itu. 
“Itulah yang membuatku resah. Aku takut datang 
perintah dari Allah, sedangkan aku belum mengerjakan 
perintah sebelumnya.”
Pada kesempatan yang berbeda, Rasulullah Saw. 
memasuki rumah salah seorang istrinya, Ummu Salamah. 
Wajah beliau tampak muram. Ummu Salamah sangat 
khawatir dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa gerangan 
yang terjadi sehingga wajahmu muram?”
Rasulullah Saw. menjawab, “Karena masih ada tersisa 
tujuh dinar yang diberikan kepadaku kemarin, belum 
dibagikan dan masih tersimpan (di tempat tidurku).

17. Pohon Kurma yang Berpindah

Ada seorang sahabat bernama Abu Dujanah. 

Nama aslinya adalah Samak ibn Kharsyah. Ialah sang pemilik ikat kepala merah dan pemegang pedang 

Rasulullah Saw. pada Perang Uhud. Setiap kali usai berjamaah shubuh, Abu Dujanah buru-buru keluar tidak mengikuti doa Rasulullah Saw.

Suatu hari Rasulullah Saw. menegurnya, “Apakah kau 

tidak butuh kepada Allah?”

“Tentu saja, ya Rasulullah,” jawab Abu Dujanah.

“Tetapi, mengapa kau tidak diam dulu sampai tuntas doaku?” 

“Maafkan aku, wahai Rasulullah, aku ada keperluan.”

“Apa keperluanmu?”

Sejenak Abu Dujanah terdiam, lalu menuturkan, 

“Ya Rasulullah, rumahku berdekatan dengan rumah tetanggaku. Di rumahnya ada sebatang pohon kurma yang condong ke rumahku. Jika angin berembus di 

malam hari, buah kurma yang matang berjatuhan di halaman rumahku. Bila anak-anakku bangun pagi dan merasa lapar, mereka akan makan apa yang mereka lihat 

di halaman rumah. Karena itulah, aku bergegas pulang 

sebelum mereka bangun untuk mengumpulkan kurma kurma itu dan memberikannya ke tetanggaku.Suatu hari, aku melihat seorang anakku memasukkan 

kurma ke mulutnya. Aku mengeluarkannya dengan jariku dan kukatakan kepadanya, ‘Hai Anakku, jangan 
membuka aib ayahmu kelak di akhirat!’ Ia menangis karena merasa sangat lapar. Aku berkata kepadanya, 
‘Aku tidak akan membiarkan barang haram memasuki 
perutmu!’ Lalu, aku segera memberikan kurma-kurma 
itu kepada pemiliknya.”
Mendengar penjelasannya, mata Rasulullah tampak 
berlinang dan beliau bertanya tentang siapa pemiliknya. Abu Dujanah mengatakan bahwa kurma itu milik seorang 
munafik. Maka, Rasulullah Saw. memanggilnya dan 
berkata, “Juallah pohon kurma di rumahmu itu dengan sepuluh kurma di surga yang akarnya berupa intan 
berlian putih beserta bidadari sebanyak bilangan kurma 
yang matang.”
Orang munafik itu menjawab, “Aku bukan pedagang. Aku mau menjual pohon kurma itu jika kau membayarnya 
dengan harga yang tinggi dan kontan.”
Abu Bakar menawarnya, “Maukah pohon kurmamu 
itu ditukar dengan sepuluh pohon kurma di tempat lain?”
Di antero Madinah tidak ada pohon kurma yang 
sebaik pohon kurma itu. Si pemilik mau menjualnya karena ditukar dengan sepuluh pohon kurma. Ia berkata, 
“Kalau begitu, baiklah, aku mau menukarnya.”
Abu Bakar berkata lagi, “Ya, aku membelinya!” Lalu, pohon kurma itu diberikan kepada Abu Dujanah.Rasulullah bersabda, “Aku akan menanggung 
penggantinya, hai Abu Bakar.” Tentu saja Abu Bakar dan Abu Dujanah merasa senang mendengar ucapan beliau.Orang munafik itu pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya, “Sungguh kita telah mendapatkan 
keuntungan yang sangat besar hari ini!” Lalu ia 
menceritakan apa yang baru saja terjadi, “Aku mendapat sepuluh pohon kurma yang ditukar dengan satu pohon kurma di samping rumah ini untuk selama-lamanya. 
Kita masih bisa makan kurma yang jatuh dari pohon kurma itu dan aku tidak akan mengembalikan sedikit 
pun kepada pemiliknya.”
Malam harinya, ketika Abu Dujanah tidur, dengan kuasa Allah, pohon kurma itu pindah ke samping rumah Abu Dujanah. Keesokan harinya, orang munafik itu terkesiap heran melihat pohon kurma itu tidak lagi ada di samping rumahnya. Inilah mukjizat Rasulullah Saw. 
Kekuasaan Allah lebih besar dari itu.

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...