Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju Ghatafan,
Rasulullah Saw. dan pasukan Muslim menghentikan
perjalanan karena hujan turun dengan sangat lebat.
Beliau berlindung di bawah sebatang pohon, sementara
anggota pasukan lain berpencar, masing-masing mencari
tempat bernaung dan beristirahat.
Namun, rupanya musuh yang bersembunyi di
ketinggian bukit melihat Rasulullah dan pasukannya yang
tengah berlindung dari hujan deras. Mereka juga melihat
saat itu Rasulullah bernaung hanya seorang diri tanpa
seorang sahabat pun melindunginya. Mereka melihat
kesempatan emas untuk membunuh Muhammad.
Maka, mereka mengutus seorang lelaki yang paling
berani dalam peperangan, yaitu Du’tsur ibn Al-Harits.
Ia menyelinap, berjalan mengendap-endap mendekati
tempat Rasulullah Saw. beristirahat. Setelah dekat, ia
mengawasi sekelilingnya, memastikan bahwa tak ada
seorang sahabat pun yang mengawal Muhammad.
Dengan sikap yang waspada, ia berjalan perlahan dan
saat jaraknya sangat dekat, ia cabut pedangnya dan
mengacungkannya kepada Muhammad.
Tentu saja Rasulullah Saw. terkejut, tetapi tetap
bersikap tenang. Sambil menghunus pedang yang
mengilap, Du’tsur membentak, “Siapakah yang dapat
menyelamatkanmu sekarang?!”
Rasulullah Saw. menjawab dengan tenang,
“Allah!” Anehnya, mendengar jawaban beliau, tubuh
Du’tsur bergetar hingga pedang di tangannya terjatuh.
Dengan sigap, Rasulullah Saw. mengambil pedangnya
lalu balik bertanya, “Sekarang, siapakah yang dapat
menyelamatkanmu?”
Ia menjawab, “Tak ada seorang pun.”
“Mengapa kau tidak katakan saja Allah?!” ujar
Rasulullah Saw.
Kegaduhan itu didengar para sahabat sehingga
mereka langsung mengepung Du’tsur. Mereka meminta
kepada Rasulullah Saw. agar diperbolehkan membunuh
orang itu. Du’tsur merengek dan mengiba meminta
ampunan kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau
mengampuni dan membebaskannya.
Lalu, ia berlari ke markas pasukannya sendiri
dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Ia
mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang
sangat pemurah dan baik hati. Ia ceritakan berbagai
keutamaan Rasulullah sehingga mereka semua tertarik
dan menyatakan masuk Islam.
Allah Swt. senantiasa menjaga dan memelihara RasulNya dari makar dan reka-perdaya musuh-musuhnya,
termasuk dari kejahatan kaum Yahudi. Ada banyak kisah
tentang upaya Yahudi untuk menyakiti dan membunuh
Rasulullah.
Usai Perang Uhud yang menorehkan duka
mendalam di hati Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin,
Yahudi Bani Nadir berkonspirasi untuk membunuh
Rasulullah Saw. Kesempatan itu mereka dapatkan ketika
beliau mendatangi perkampungan Yahudi itu untuk
merundingkan sesuatu. Saat itu, beliau duduk di rumah
salah seorang pemuka Yahudi Bani Nadhir ditemani
beberapa orang sahabat.
Mereka melihatnya sebagai peluang emas untuk
membunuh Muhammad. Maka, mereka memerintahkan
salah seorang Yahudi untuk naik ke dinding rumah
sambil membawa sebongkah batu besar untuk kemudian
ditimpakan ke atas kepala Muhammad.
Namun, sesaat sebelum niat jahat orang Yahudi
itu terlaksana, Rasulullah Saw. bangun dari tempat
duduknya, kemudian langsung pergi meninggalkan
perkampungan itu. Tentu saja mereka tidak tahu
bahwa Jibril telah mengabarkan niat jahat mereka dan
menyelamatkan Rasulullah Saw.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah Saw. mengumpulkan
para sahabat dan bersepakat untuk mengusir orang
Yahudi Bani Nadhir dari Madinah. Rasulullah Saw.
mengirim utusan yang membawa surat ultimatum:
“Keluarlah kalian dari Madinah, karena kalian telah
berkhianat. Aku memberi kalian tempo sepuluh hari.
Siapa pun yang masih tinggal di kampung itu setelah
waktu yang ditentukan, ia akan dibunuh.”
Namun, setelah waktu yang ditetapkan berakhir,
mereka mengabaikan peringatan itu dan tetap
bertahan di perkampungan itu. Maka, Rasulullah segera
menghimpun pasukan Muslim untuk mengepung dan
mengusir mereka dari Madinah. Mereka bersikukuh
bertahan di balik benteng Bani Nadhir. Namun, setelah
dua puluh hari pengepungan, mereka menyerah dan
memohon ampunan kepada Rasulullah. Mereka meminta
dibolehkan pergi meninggalkan perkampungan itu
dengan membawa harta dan keluarga mereka.
Rasulullah Saw. mengizinkan mereka pergi dari
Madinah. Akhirnya, Yahudi Bani Nadhir pergi dari
Madinah meninggalkan bahan makanan, tanah pertanian,
50 baju besi, dan 340 bilah pedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar