Rabu, 18 Desember 2024

34. Selamat Datang, Anakku

 Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada seorang 

kepala suku yang bernama Habib. Ketika Habib, 

yang dikenal sebagai tiran yang kejam, membaca surat 

itu, ia memperlakukan utusan Nabi Saw. dengan kasar, 

bahkan membunuhnya. 

“Singkirkan surat ini dari hadapanku!” teriaknya 

penuh kemarahan. 

Para pembantunya segera menyingkirkan surat 

itu dan menyatukannya dengan surat-surat lain dalam 

sebuah kotak, lalu disimpan di ruang penyimpanan 

istana. Surat yang dikirimkan Nabi Saw. itu tidak pernah 

disentuh lagi.

Kepala suku itu memiliki seorang anak laki-laki 

yang tampan bernama Khabbab. Suatu hari Khabbab 

memasuki ruang penyimpanan istana untuk melihatlihat beberapa dokumen. Ketika ia memeriksa kotak 

surat, ia melihat surat dari Nabi Saw. Surat itu menarik 

perhatiannya sehingga ia membuka dan membacanya.

Ketika itulah, api keimanan menyala-nyala dalam hatinya. 
Cahaya Islam membara dalam dadanya dan menyebar ke 
seluruh anggota tubuhnya. 
Khabbab membaca surat itu berkali-kali. Sejak hari 
itu, ia kerap terlihat merenung dan berpikir khusyuk. 
Ia tidak makan, tidak minum, tidak pula tidur. Ia terus 
merenung seraya bertanya dalam hati, “Siapakah 
Muhammad yang telah menulis surat ini?” 
Akhirnya, suatu hari Khabbab memberanikan diri 
berbicara kepada ayahnya tentang surat itu. Namun, 
sang ayah memarahinya, “Ya, aku menerima surat itu, 
tetapi aku tidak menyukai isinya. Surat itu bilang, agama 
dan keyakinan kita, serta patung-patung sesembahan 
kita adalah palsu. Penulis surat itu seorang penyihir yang 
ingin menaburkan benih perpecahan di antara bangsa 
Arab dengan menciptakan agama dan kepercayaan 
baru. Ia bilang, Islam adalah satu-satunya agama dan 
kepercayaan sejati. Ia tidak membedakan orang kaya dan 
miskin. Ia memandang sama antara budak dan orang 
merdeka. Berhati-hatilah Anakku, jangan sampai kau 
terpengaruh!”
Khabbab, yang hatinya telah disinari cahaya Ilahi 
dan kecintaan kepada Muhammad, sangat terkejut 
mendengar ucapan ayahnya.
“Ayah sungguh memalukan!” ujar Khabbab keras, 
“bagaimana bisa Ayah berkata seperti itu? Ayah telah 
membunuh utusan yang membawa pesan kebenaran.

Sekalipun sang ayah menentangnya, keinginan 
Khabbab untuk memeluk Islam makin keras. Di malam 
dan siang hari, diam-diam ia berdoa kepada Tuhan, 
“Wahai Tuhan Yang Maha Melindungiku, Engkau Maha 
Mengetahui isi hatiku. Aku mencintai Rasul-Mu, meskipun 
aku belum melihat wajahnya. Aku ingin mempersiapkan 
diriku sehingga tak ada lagi keraguan. Jika saatnya tiba, 
jumpakan aku dengan kekasih-Mu. Tunjukkan kepadaku 
keindahannya, sekali saja. Setelah itu, biarkan aku mati. 
Aku tidak lagi memikirkan mahkota atau kekuasaan.”
Lalu Khabbab pergi ke tempat-tempat sepi, menangis 
tersedu. Ia tidak pernah berhenti menyebut nama 
Rasulullah. Ia tidak tidur, tidak bersenang-senang, dan 
tidak berkumpul dengan orang-orang. Ia menjauhi 
manusia. 
Ayahnya murka ketika mengetahui tingkah aneh 
putranya itu. Suatu hari, ayahnya berkata, “Lihatlah 
Anakku, kau telah menghinakan dirimu dan membawa 
kesialan bagi kita semua. Kami benar-benar kecewa! 
Kuberikan penawaran terakhir sebelum kuserahkan 
dirimu kepada algojo. Kembalilah kepada agama dan 
kepercayaanmu. Jadilah kau raja sebagai penggantiku!”
Namun, Khabbab menjawab, “Ayah, apa yang Ayah 
katakan? Aku tidak akan menukar emas untuk kaleng 
rombeng. Aku adalah hamba Allah; Dia adalah Tuhan 
Yang Maha Melindungi seluruh alam. Aku adalah pencinta 
kekasih-Nya. Hatiku dipenuhi cinta kepadanya. Tak jadi
masalah bagiku, bagaimana kau akan menghukumku, 
bahkan jika kau memberi hukuman seribu kali lebih 
berat dari hukuman yang sekarang kuterima, atau jika 
kau memenggal semua anggota tubuhku, aku tidak akan 
pernah meninggalkan Islam.”
Khabbab terdiam sejenak lalu melanjutkan, 
“Hukuman apa pun yang telah kausiapkan, lakukanlah! 
Inilah kepala, punggung, dan badanku. Aku di sini, 
di hadapanmu. Ayo teruskan! Hukumanmu tak akan 
berpengaruh apa-apa kepadaku. Cinta kasih telah 
menyelimuti diriku. Aku telah menyerahkan jiwa 
dan ragaku kepada jalannya. Api cinta telah menjadi 
sahabatku. Mereka yang mengikuti Muhammad, 
menyerahkan segala yang mereka punya demi ia. Ayah! 
Hancurkan keangkuhanmu, jangan merasa malu di 
hadapan rakyatmu. Kalau Ayah cerdas, peluklah Islam. 
Ayah telah menyeruku pada kekafiran dengan tangisan, 
sementara aku menyerumu menuju kebenaran dengan 
kata-kata manis.”
Ayahnya sadar, tidak ada harapan lagi untuk 
mengembalikan anaknya. Ia tahu, Khabbab tidak akan 
pernah berada di sisinya lagi. Maka, ia pun memanggil 
para algojo dan berkata, “Siksa ia selama tiga hari, lalu 
bunuh di hari keempat!”
Tiga hari tiga malam mereka menyiksa Khabbab 
dengan berbagai siksaan. Kaki dan tangannya diikat 
dengan rantai besar. Saat mendekati waktu eksekusi,
algojo yang sedang bertugas diliputi rasa kantuk tak 
terhingga hingga ia jatuh tertidur.
Ketika Khabbab menimba air dari sumur, dengan 
tangan dan kaki dirantai, ia bermunajat, “Ya Tuhan 
Yang Maha Melindungi, Engkau Mahakuasa dan Engkau 
Maha Esa. Engkau melihat keadaanku sekarang. Engkau 
adalah Yang Maha Menyembuhkan hamba yang berada 
dalam tekanan. Engkau pun telah mengetahui cinta 
kasihku. Bukakan bagiku jalan lurus menuju kekasih-Mu, 
Muhammad. Tunjukkan kepadaku keindahan wajahnya 
yang diberkahi. Aku memuji-Mu dalam rasa sakit dan 
aniaya yang kualami demi agama dan kepercayaanku. 
Apabila aku mati tanpa sempat bertemu Muhammad 
dan memandangnya dengan kedua mataku, sungguh aku 
akan tersiksa menunggu datangnya Hari Kebangkitan. 
Sedetik saja terpisah darinya, kurasakan bagai ratusan 
tahun. Ya Allah, yang menuntaskan segala persoalan, 
aku memohon, biarkan aku bertemu dengannya.” Selesai 
berdoa, ia menarik napas panjang.
Usai Khabbab bermunajat, Allah memberikan apa 
yang Dia kehendaki, tentu kepada siapa saja yang Dia 
kehendaki. Allah berkata kepada Jibril, “Khabbab telah 
menghadapi ujian yang pedih sebagai seorang pencinta. 
Pergilah dan lepaskan ikatannya. Aku akan menyebarkan 
cerita tentang cinta kasihnya terhadap kekasih-Ku, juga 
derita yang ditanggungnya demi Aku dan ia. Khabbab 
adalah teladan bagi seluruh hamba-Ku yang mengaku
mencintai kekasih-Ku. Waktu perjumpaan telah tiba. 
Biarkan pencinta bersua dengan yang dicinta.” Serta 
merta, belenggu yang mengikat tangan dan kakinya 
lepas.
Kemudian, Khabbab pergi dari tempat itu. Ia tidak 
mengetahui jalan mana yang harus ditempuh. Namun, 
jiwanya terus terbang bagaikan burung elang, meratap 
menyeru kekasihnya, “Duhai Pembimbingku, Nabiku, 
Kekasihku!” Dengan kuasa Allah, ia melewati jarak 80 
hari perjalanan hanya dalam satu malam. Ia menunggang 
“kuda cinta” hingga akhirnya memasuki Madinah AlMunawwarah. Ia telah berada di tempat cahaya yang 
tidak pernah redup.
Tiba di Madinah, salah seorang sahabat Nabi, Amr, 
bertemu dengannya. Ia melihat seorang pemuda yang 
terus menangis dengan wajah memancarkan kerinduan. 
Ia merangkulnya dan menanyakan sebab tangisannya, 
“Hai Anak Muda, apakah kau lapar atau haus? Mari, 
aku akan memberimu roti dan air. Anakku, aku melihat 
tanda-tanda keimanan dalam dirimu.”
Khabbab menjawab, “Aku tidak ingin makan dan 
minum. Aku telah lama melupakannya, cinta telah 
mencukupiku.”
Amr sadar, pemuda ini seorang pencinta. “Kepada 
siapakah cintamu tertuju? Katakanlah kepadaku, Anakku 
.…
Saat itu, Khabbab tidak tahu, di mana ia berada. Ia 
berusaha menjaga rahasianya, karena takut menyebabkan 
derita baginya. Amr memahami kondisi pemuda itu 
sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, aku seorang Muslim. 
Jika kau percaya kepadaku, demi Muhammad, aku tidak 
akan memberitahukan rahasiamu kepada siapa pun.” 
Khabbab merasa tiba-tiba hatinya diliputi berkah 
dan kebahagiaan tak terkira saat mendengar nama 
kekasihnya. Seketika ia larut dalam kerinduan cinta yang 
dalam.
Sementara, di saat yang sama, Jibril turun menemui 
Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku 
sampaikan salam kepadamu. Engkau harus keluar 
bersama sahabat-sahabatmu menyambut pencinta 
yang datang dari jauh untuk menemuimu. Ia begitu 
mencintaimu. Tampilan luarnya kumal, tetapi hatinya 
adalah istana megah. Ia telah banyak menderita, demi 
Islam. Allah berfirman: Aku telah menganugerahkan 
kepada Khabbab kesabaran Ayyub a.s. Biarkan kekasihKu menyambutnya dan membawanya menuju berkahnya. 
Aku cinta kepadanya karena cintanya kepada kekasihKu.”
Maka, Rasulullah Saw. dan para sahabat bergegas 
pergi menemui Khabbab. Beliau merangkulnya dan 
berkata, “Selamat datang duhai pencinta yang beriman, 
selamat datang Anakku ....

Ketika Khabbab ingin mengusap wajahnya dari 
debu dengan kaki Baginda Nabi, beliau berkata ramah, 
“Anakku, apa yang telah engkau tanggungkan demi 
Islam?” 
Maka, Khabbab menceritakan perjalanannya mencari 
Sang Kekasih. Mendengar penuturan Khabbab, Baginda 
Nabi dan semua sahabat mencucurkan air mata.
Itulah akhir perjalanan sang pencinta. Mereka 
berujung pada kebahagiaan luar biasa. Khabbab 
membuktikan cinta kasihnya, bertemu Rasulullah Saw. di 
dunia ini, dan akan bersamanya di akhirat nanti. Seorang 
pencinta Rasulullah Saw. akan mereguk kebahagiaan 
yang sedalam-dalamnya dan selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...