Pada tahun keenam Hijriah Rasulullah Saw. dan
kaum Muslim hendak menunaikan umrah ke Kota
Makkah, tetapi mereka tak bisa menunaikannya karena
ditahan di perbatasan oleh kaum Quraisy. Mereka tidak
membiarkan kaum Muslim memasuki Makkah meskipun
hanya untuk menunaikan ibadah umrah. Menghadapi
situasi yang menegangkan itu, Rasulullah melakukan
berbagai upaya agar mereka dibiarkan memasuki Makkah
dan menjalankan umrah. Namun, para pemuka Quraisy
bersikukuh melarang mereka. Maka, berlangsunglah
proses negosiasi dan perundingan yang sangat alot
hingga kedua pihak menyepakati perjanjian yang dikenal
dalam sejarah sebagai “Perjanjian Hudaibiyah”.
Setelah kesepakatan dicapai antara Rasulullah dan
utusan kaum Quraisy, banyak sahabat yang kecewa,
karena beberapa butir perjanjian dianggap merugikan
kaum Muslim. Mereka merasa, Rasulullah Saw. banyak
mengalah terhadap kaum musyrik Quraisy sehingga
Umar ibn Khaththab r.a. bertanya kepada Abu Bakar
r.a. dengan nada kecewa, “Bukankah beliau adalah
Rasulullah?”
“Ya, tentu saja,” jawab Abu Bakar.
“Bukankah kita ini kaum Muslim?”
“Ya!”
“Lalu, mengapa kita menerima begitu saja?”
Abu Bakar menjawab, “Hai Umar, tahanlah ucapanmu!
Aku menjadi saksi bahwa beliau adalah utusan Allah.”
Tentu saja Rasulullah Saw. mengetahui sikap kaum
Muslim yang kecewa karena beliau dianggap banyak
mengalah kepada kaum musyrik. Namun, beliau
tetap sabar dan berlapang dada. Beliau berkata, “Aku
adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan aku tidak
akan mengingkari perintah-Nya. Dia pun tidak akan
membiarkan aku lenyap di jalan.”
Di antara butir Perjanjian Hudaibiyah yang dianggap
merugikan kaum Muslim adalah bahwa tahun itu kaum
Muslim tidak boleh menjalankan umrah dan baru boleh
mengerjakannya tahun berikutnya. Lalu, jika ada orang
Madinah (Muslim) yang murtad dan pergi ke Makkah,
ia tidak boleh dikembalikan ke Madinah. Sebaliknya, jika
ada orang Makkah yang hijrah ke Madinah dan memeluk
Islam, ia harus dikembalikan ke Makkah jika keluarga
orang itu menghendakinya.
Usai perundingan, Rasulullah Saw. menyuruh mereka
menyembelih kurban, memotong rambut (tahalul), dan
pulang ke Madinah. Namun, para sahabat mengacuhkan
perintah beliau. Mereka masih dongkol dengan hasil
Perundingan Hudaibiyah. Mereka enggan menjalankan
perintah Rasulullah ini meskipun beliau menitahkannya
berkali-kali.
Melihat keadaan itu, Rasulullah tampak berduka.
Beliau memasuki kemah istrinya, Ummu Salamah. Dengan
raut muka diliputi kesedihan, beliau menceritakan
kegelisahannya. “Akan binasakah umatku ini?” tanya
Rasulullah Saw.
Setelah mengetahui akar masalahnya, Ummu
Salamah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah,
bila kau ingin sahabatmu menjalankan semua yang
engkau perintahkan maka keluarlah dan jangan katakan
apa-apa. Lakukanlah tahalul, sembelih untamu, dan
potonglah rambutmu!”
Rasulullah Saw. menerima usul istrinya. Beliau keluar
dari kemahnya, tidak berbicara walau sepatah kata pun,
lalu bertahalul, menyembelih untanya, dan mencukur
rambutnya. Menyaksikan pimpinan mereka melakukan
semua itu, para sahabat pun mengikutinya dengan
lapang dada.
Kelak, sejarah membuktikan bahwa Perjanjian
Hudaibiyah itu memberi banyak keuntungan kepada
kaum Muslim. Ini menunjukkan betapa jauh visi politik
Rasulullah Saw. ketika mengambil keputusan yang
diragukan para sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar