Ali ibn Abi Thalib r.a. dan istrinya Fatimah r.a. hidup
sangat sederhana. Ketika menikah, perlengkapan
rumah tangga yang mereka miliki hanyalah dua buah
batu penumbuk gandum, dua buah tempat air dari kulit
kambing, bantal yang terbuat dari ijuk pohon kurma, dan
sedikit minyak wangi.
Mereka juga tidak punya pembantu atau pelayan.
Fatimah bekerja seorang diri hingga kedua tangannya
kasar dan melepuh. Sering kali Ali r.a. membantu
pekerjaan istrinya di rumah.
Suatu ketika Rasulullah Saw. pulang dari salah satu
peperangan dengan membawa tawanan dan pampasan
perang yang banyak. Ali r.a. menyarankan kepada istrinya
untuk meminta seorang pembantu kepada beliau untuk
meringankan pekerjaan rumah tangganya. Fatimah pun
menyetujuinya
Putri Rasulullah Saw. itu pergi menemui ayahnya.
Tiba di hadapan Rasulullah Saw., Fatimah ditanya, “Apa
keperluanmu, Putriku?”
Fatimah terdiam. Ia tidak kuasa mengatakan maksud
kedatangannya. Ia hanya berkata, “Tidak ada, wahai
Rasulullah. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan
salam kepadamu,” kemudian Fatimah beranjak pulang
ke rumahnya.
Saat tiba di rumah, sang suami telah menunggunya.
“Bagaimana hasilnya, wahai Istriku?” tanya Ali r.a.
“Aku tak kuasa mengatakannya kepada Rasulullah.
Aku merasa malu meminta seorang pembantu kepadanya,” Fatimah menjawab pelan.
“Bagaimana kalau kita berdua mendatangi
Rasulullah?”
Fatimah r.a. menganggukkan kepala, kemudian
mereka pergi menghadap Rasulullah Saw. menyampaikan
keinginan mereka. Namun, bagaimanakah tanggapan
Rasulullah Saw.? Beliau berkata, “Demi Allah, aku
tidak akan memberi kalian, sementara banyak fakir
miskin kaum Muslim dengan usus berbelit-belit karena
kelaparan.”
Malam hari itu, Rasulullah Saw. mendatangi Fatimah
dan Ali. Keduanya sudah berbaring di tempat tidur.
Mereka berselimut sehelai kain pendek yang tidak cukup
menutup tubuh mereka. Jika kepala tertutupi, kaki
mereka tersingkap. Kalau kaki ditutupi, kepala mereka
tersembul.
Mereka bangkit menyambut kedatangan ayahanda
yang mulia. Namun, beliau berujar lembut, “Tetaplah di
tempat kalian!”
Setelah diam beberapa kejap, Rasulullah Saw.
bersabda, “Maukah kalian kuajari beberapa kalimat
sebagaimana yang diajarkan Jibril kepadaku, sesuatu
yang lebih berharga daripada yang kalian minta tadi
siang?”
“Tentu saja, wahai Rasulullah,” jawab mereka.
“Jibril mengajariku beberapa kalimat. Bacalah tasbih
(subhânallâh) 10 kali, tahmid (al-hamdulillâh) 10 kali,
dan takbir (Allâhu akbar) 10 kali, seusai shalat fardu. Dan
bila kalian hendak tidur, bacalah tasbih 33 kali, tahmid
33 kali, dan takbir 33 kali!”
“Sejak malam itu,” Ali menuturkan, “aku tidak
pernah meninggalkan wiridan yang diajarkan Rasulullah.”
Kelak di kemudian hari, wirid itu dikenal dengan nama
“Wirid Fatimah”.
Pada kesempatan yang lain, Rasulullah Saw. mengunjungi
rumah Fatimah Al-Zahra. Beliau melihat putrinya
sedang menggiling gandum di penggilingan batu sambil
menangis. Tentu saja Rasulullah heran dan bertanya,
“Putriku, mengapa engkau menangis?
“Duhai Ayah, aku menangis karena batu penggilingan
ini, dan juga karena beratnya pekerjaan rumah,” ujar
Fatimah, “bagaimana jika Ayah meminta kepada Ali
untuk membelikanku seorang budak perempuan untuk
membantu pekerjaan rumah?”
Rasulullah Saw. yang sedari tadi duduk di dekat
Fatimah berjalan mendekati penggilingan itu. Beliau
mengambil setangkup gandum dengan tangannya yang
penuh berkah, lalu meletakkan gandum itu kembali
di penggilingan, seraya membaca bismillâhir-rahmânirrahîm. Dengan izin Allah, penggilingan itu berputar
sendiri menggiling gandum. Bahkan, si batu itu bertasbih
kepada Allah dengan bahasa yang berbeda-beda.
Ketika dirasa sudah beres menggiling, Rasulullah
Saw. berkata kepada batu itu, “Diamlah engkau,
dengan izin Allah!” Seketika itu juga batu penggilingan itu
tak bergerak. Namun, tak lama kemudian, si batu itu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih, “Wahai
Rasulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar sebagai nabi dan rasul, sekiranya engkau memerintahkanku
untuk menggiling gandum yang ada di Timur dan Barat,
niscaya akan kulakukan. Sungguh, aku telah mendengar
firman Allah dalam kitab-Nya, Wahai orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
dijaga malaikat yang kuat dan keras yang tidak pernah
menyalahi semua perintah Allah kepada mereka. Mereka
selalu melaksanakan semua perintah-Nya (QS Al-Tahrîm
[66]: 6). Sungguh aku sangat takut, wahai Rasulullah, aku
takut menjadi batu yang masuk neraka.”
Rasulullah Saw. menjawab, “Bergembiralah, karena
kau termasuk batu yang akan menjadi bagian istana
Fatimah kelak di surga.” Batu itu merasa gembira
mendengarnya dan akhirnya ia diam.
Kemudian Baginda Nabi berkata kepada putrinya,
“Wahai Fatimah, sekiranya Allah berkehendak, niscaya
batu ini akan berputar sendiri untukmu. Tetapi,
Allah ingin menuliskan kebaikan bagimu, menghapus
kejelekanmu, dan mengangkat derajatmu, karena kau
menggiling gandum dengan tanganmu sendiri. Putriku,
siapa pun wanita yang memasak untuk suami dan anak-anaknya, Allah akan menuliskan baginya dari setiap biji
yang dimasaknya satu kebaikan dan menghapus darinya
satu keburukan serta mengangkat baginya satu derajat
….” Wallâhu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar