Suatu pagi, usai shalat Idul Fitri, seperti biasanya,
Rasulullah Saw. mengunjungi rumah demi rumah
untuk mendoakan kaum Muslim. Mereka semua tampak
senang dan bahagia terutama anak-anak. Mereka
bermain sambil berlari-lari mengenakan pakaian bagus.
Tiba-tiba, Rasulullah Saw. melihat di ujung jalan seorang
gadis kecil duduk bersedih. Ia terlihat memakai pakaian
tambal-tambal dan sepatu usang.
Rasulullah Saw. bergegas menghampirinya. Gadis
kecil ini menyembunyikan wajahnya dengan kedua
tangannya, lalu menangis tersedu-sedu. Rasulullah
meletakkan tangannya dengan penuh kasih pada kepala
gadis kecil itu seraya bertanya dengan suara yang
lembut, “Anakku, mengapa kamu menangis? Ini adalah
hari raya bukan?”
Gadis kecil itu terkejut. Tanpa berani mengangkat
kepala dan melihat siapa yang bertanya, ia menjawab
terbata-bata, “Di hari raya ini semua anak merayakannya
penuh gembira bersama orangtuanya. Semua anak
bermain senang. Namun, aku teringat ayahku yang telah
tiada. Karena itulah aku menangis. Hari raya terakhir, ia
masih ada bersamaku. Ia membelikanku gaun berwarna
hijau dan sepatu baru. Saat itu, aku sungguh berbahagia.
Lalu, suatu hari ayahku pergi berperang bersama
Rasulullah hingga ia terbunuh. Kini, ayahku tiada. Aku
menjadi anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya,
lalu untuk siapa lagi?”
Mendengar penuturan gadis itu, seketika hatinya
diliputi duka yang mendalam. Dengan penuh kasih
sayang, beliau membelai kepalanya seraya berkata,
“Anakku, hapuslah air matamu … apakah kau ingin aku
menjadi ayahmu? Apakah kau suka jika Fatimah menjadi
kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu?
Bagaimana, Anakku?”
Mendengar kata-kata itu, si gadis terhenyak dan
berhenti menangis. Ia memandang takjub orang yang
ada di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia adalah
Rasulullah Saw., orang yang baru saja menjadi tempat
curahan duka dan kesedihannya.
Tentu saja ia sangat senang mendengar penawaran
Rasulullah, tetapi entah mengapa, ia tidak bisa berkata
sepatah kata pun. Ia hanya bisa menganggukkan kepala
perlahan sebagai tanda setuju.
Kemudian, ia berjalan bergandengan tangan
dengan Rasulullah Saw. ke rumah beliau. Hatinya
diliputi kebahagiaan yang sulit dilukiskan, karena ia
diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah Saw.
yang lembut bagai sutra.
Tiba di rumah, Fatimah membersihkan wajah dan
kedua tangan gadis kecil itu lalu menyisir rambutnya. Ia
dipakaikan gaun yang indah, diberi makanan, juga uang
saku untuk hari raya. Kemudian ia diantar keluar, agar
dapat bermain dengan anak-anak lain.
Tentu saja anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil
dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri
itu. Dengan heran mereka bertanya, “Hai Gadis Kecil,
apa yang terjadi padamu? Mengapa kau terlihat sangat
senang?”
Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya,
gadis kecil itu menjawab, “Akhirnya aku punya seorang
ayah! Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya.
Siapa yang tidak bahagia memiliki ayah seperti
Rasulullah? Aku juga punya seorang kakak perempuan,
namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan memakaikan
gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia dan
ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta
isinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar