Suatu hari ketika Rasulullah Saw. khusyuk bertawaf
di Ka‘bah, beliau mendengar seorang Arab Badui
di hadapannya berzikir, “Yâ Karîm … yâ Karîm ….”
Rasulullah Saw. meniru bacaan orang Badui itu: “Yâ
Karîm … yâ Karîm ….” Kemudian, orang itu berhenti di
salah satu sudut Ka‘bah dan kembali melafalkan Asma
Allah itu. Rasulullah Saw. yang mengikuti di belakangnya
ikut berhenti dan melafalkan: “Yâ Karîm … yâ Karîm ….”
Merasa seperti dipermainkan, orang itu menoleh ke
belakang dan ia melihat seorang laki-laki yang gagah dan
tampan, tetapi ia tidak mengenalinya.
Orang Arab Badui itu berkata, “Hai orang tampan!
Apakah kau sengaja mengolok-olokku karena aku orang
Badui? Seandainya bukan karena ketampanan dan
kegagahanmu, pasti sudah kuadukan kelakuanmu kepada
kekasihku, Muhammad Rasulullah.
Mendengar perkataan orang Badui itu, Rasulullah
Saw. tersenyum lalu bertanya, “Apakah engkau mengenali
nabimu, hai orang Arab?”
“Belum.”
“Jadi, bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Aku percaya sepenuhnya terhadap kenabian dan
kerasulannya meskipun aku belum pernah melihatnya
sekali pun. Aku membenarkan setiap ketetapannya
meskipun aku belum pernah bertemu dengannya,” ujar
orang Badui itu.
Maka, Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Hai
orang Badui! Ketahuilah, akulah nabimu di dunia dan
penolongmu kelak di akhirat!”
Laki-laki itu terkesiap, takjub. Pandangannya tak
lepas dari wajah Rasulullah Saw. Akhirnya, ia yakin, lakilaki di hadapannya adalah Rasulullah.
Ia bertanya dengan suara bergetar, “Tuan ini benar
Nabi Muhammad?!”
“Ya,” jawab Rasulullah Saw.
Ia langsung merunduk untuk mencium kedua kaki
Rasulullah Saw. Namun, secepat kilat Rasulullah Saw.
menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya,
“Hai orang Arab! Jangan berbuat seperti itu! Perbuatan
seperti itu hanya dilakukan seorang budak kepada
majikannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk
menjadi orang yang takabur, yang meminta dihormati
atau diagungkan, melainkan untuk menyampaikan kabar
gembira bagi orang yang beriman dan membawa
peringatan bagi yang mengingkari-Nya.”
Ketika itulah Malaikat Jibril turun
dan berkata, “Ya Muhammad, Rabb AlSalâm menyampaikan
salam kepadamu dan berfirman, ‘Katakanlah
kepada orang Badui itu, agar tidak terpesona dengan
belas kasih Allah. Ketahuilah, Allah akan menghisabnya
(menghitung amal perbuatannya) di akhirat nanti, akan
menimbang semua amalnya, baik yang kecil maupun
yang besar!’”
Setelah menyampaikan berita tersebut, Jibril pun
pergi. Orang Badui kemudian berkata, “Demi keagungan
serta kemuliaan Allah, jika Allah akan membuat perhitungan atas amalanku maka aku pun akan membuat
perhitungan dengan-Nya!”
“Apa yang akan kamu perhitungkan dengan Allah?”
tanya Rasulullah Saw.
“Jika Allah akan memperhitungkan dosa-dosaku maka
aku akan memperhitungkan betapa besar ampunan-Nya.
Jika Dia memperhitungkan kemaksiatanku maka aku
akan memperhitungkan betapa luas pengampunan-Nya.
Jika Dia memperhitungkan kekikiranku maka aku akan
memperhitungkan pula betapa agung kedermawananNya!”
Mendengar ucapan orang Badui itu, Rasulullah
Saw. menangis mengingat betapa benarnya ucapan
orang Badui itu. Air mata beliau meleleh membasahi
janggutnya.
Lantaran itu, Malaikat Jibril turun lagi menemui
Rasulullah Saw. seraya berkata, “Ya Muhammad, Rabb
Al-Salâm menyampaikan salam kepadamu dan berfirman,
‘Hentikan tangisanmu! Sungguh karena tangisanmu,
penjaga Arasy lupa akan bacaan tasbih dan tahmidnya,
hingga Arasy berguncang. Katakanlah kepada temanmu
itu bahwa Allah tak akan menghisab dirinya, juga tak
akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah telah
mengampuni semua kesalahannya dan ia akan menjadi
temanmu di surga nanti!’”
Betapa bahagia orang Badui itu. Ia pun lalu menangis
karena tidak kuat menahan haru.