Minggu, 09 Februari 2025

87. Rasulullah Sang Pemberani

 Setelah penaklukan Makkah, Rasulullah Saw. tinggal beberapa waktu di kota itu. Tak lama kemudian, beliau mendengar bahwa suku Hawazin yang dipimpin Malik ibn Auf Al-Nashri telah menghimpun pasukan untuk menyerang Rasulullah Saw. didukung suku Tsaqif dan beberapa suku lainnya di sekitar Makkah.

Maka, Rasulullah segera memobilisasi pasukan dan segera bergerak meninggalkan Makkah. Pasukan Muslim saat itu berjumlah sekitar 12.000 orang. Dua ribu orang dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam dan 10.000 lagi pasukan Muslim dari Madinah, dari Muhajirin 

dan Anshar.Kedua pasukan bertemu di daerah Hunain, sebuah lembah di jalan menuju Thaif. Ketika pasukan Islam bergerak melintasi sebuah lembah yang dihimpit bukit-bukit, pasukan Hawazin menyergap mereka tibatiba. Pasukan Muslim dihujani anak panah di tengah 

kegelapan di pagi buta itu sehingga barisan umat Islam kocar-kacir dan banyak di antara mereka yang lari dari medan perang. 

Melihat pasukan Islam lari berhamburan, beberapa orang Quraisy—yang masih kafir dan membenci Islam—yang bergabung dalam pasukan Islam karena menginginkan ganimah berkata, “Kini, sihir si juru tenung itu telah batal!” Sebagian lainnya berkata, “Ooooh, mereka akan terus melarikan diri. Mereka baru akan 
berhenti berlari jika telah sampai di laut.”
Lalu, apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika 
menyaksikan pasukannya kocar-kacir? Apa yang beliau lakukan saat 12.000 orang pasukannya, hasil perjuangan puluhan tahun itu nyaris hancur dan musnah? Rasulullah Saw. tetap bertahan!
Beliau berusaha menyadarkan pasukannya yang 
kehilangan keseimbangan karena sergapan musuh yang datang tiba-tiba. Ketika pasukan Muslim kocarkacir melarikan diri ke berbagai arah, pasukan Hawazin mulai bergerak menuruni bukit untuk menghancurkan pasukan Muslim. Rasulullah Saw. berseru, “Hai manusia, 
kembalilah! Akulah Rasulullah, aku Muhammad ibn Abdullah!” Kemudian beliau meminta Al-Abbas memanggil orang-orang yang lari, karena Al-Abbas memiliki suara yang kuat dan keras. Maka, Al-Abbas pun berseru lantang, “Hai orang-orang Anshar! Hai para pejuang Badar! Hai ahli baiat Al-Ridhwan! Kemarilah, Muhammad 
ada di sini!” Dari sini kita bisa mengetahui keteguhan dan keberanian Rasulullah Saw. Dalam keadaan apa pun beliau tetap bertahan, tabah, dan gagah berani. Setelah seruan Al-Abbas, sedikit demi sedikit pasukan Muslim kembali ke dalam barisan. Jika hewan 
tunggangannya tidak mau dibelokkan, si penunggang turun dan menghelanya menuju Rasulullah Saw. sambil berseru, “Labbaika, yâ Rasûlullâh! Labbaika, yâ Rasûlullâh! (Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah).”
Selanjutnya, peperangan berlangsung sengit. Konon, dalam peperangan ini dua suku bangsa Arab punah seluruhnya. Pasukan Islam memenangi perang dan menahan ribuan orang, 22.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing, dan 4.000 ons emas. Semuanya digiring ke 
Lembah Ji’ranah.

86. Kalimat yang Menjadi Cahaya

 Rasulullah Saw. pernah mengirim satu unit pasukan. Di antara mereka ada seseorang bernama Hudhair. Lantaran tahun itu paceklik (sedikitnya persediaan makanan), Rasulullah Saw. memberikan bekal kepada setiap personil pasukan, tetapi beliau lupa memberikan 

bekal kepada Hudhair, karena ia berada di barisan paling belakang.Meski demikian, Hudhair tetap ikut berangkat sambil 

mengharap pahala dari Allah dan bersabar. Ia terus mengulang-ulang kalimat thayyibah, “Lâ ilâha illallâh wallâhu akbar wa al-hamdu lillâh wa subhâna allâh wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh (Tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah, Mahasuci 

Allah, dan tiada daya serta kekuatan kecuali bersama Allah)”. Hudhair juga melafalkan, “Ya Allah, Tuhanku, inilah sebaik-baik bekal.”

Lantaran wiridannya itulah, Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah Saw. seraya berkata, “Rabbku mengutusku menemuimu, untuk menyampaikan bahwa engkau memberi bekal semua sahabatmu, tetapi lupa membekali Hudhair. Ia berada di barisan paling belakang 
dan terus mengucapkan, ‘Lâ ilâha illallâh wallâhu akbar wa al-hamdu lillâh wa subhâna allâh wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh’. Ia juga berkata, ‘Ya Allah, Tuhanku, inilah sebaik-baik bekal.’”
Jibril melanjutkan, “Sungguh, ucapannya itu 
akan menjadi cahaya baginya pada Hari Kiamat yang terbentang antara langit dan bumi. Maka, kirimkanlah bekal kepadanya.”
Mendengar penuturan Jibril, Rasulullah Saw. langsung memanggil seseorang dan menyuruhnya memberikan bekal kepada Hudhair. Beliau berpesan kepada si utusan 
agar jika telah menemuinya, hendaklah ia menghafal kalimat-kalimat yang diwiridkan Hudhair. Beliau juga berpesan agar utusan itu menyampaikan salam darinya dan mengatakan bahwa beliau lupa memberinya bekal, 
dan Allah mengutus Jibril untuk mengingatkannya.Jibril memberi tahu Rasulullah Saw. tentang posisi Hudhair yang masih tetap melafalkan kalimat-kalimat itu. 
Setelah bertemu, utusan Rasulullah itu mendekatinya dan berkata, “Rasulullah menyampaikan salam untukmu. Beliau mengutusku untuk memberikan bekal ini 
kepadamu. Beliau lupa memberimu bekal, lalu Jibril datang kepada beliau mengingatkan hal itu.

Hudhair hanya bisa memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah Saw., lalu berujar, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Rabbku mengingatku dari atas tujuh lapis langit sana dan dari atas Arasy-Nya. 
Dia mengasihani rasa lapar dan kelemahanku. Ya Rabb, sebagaimana Engkau tidak melupakan Hudhair, jangan jadikan Hudhair lupa kepada-Mu!”
Si utusan menghafal apa yang diucapkan Hudhair, lalu bergegas kembali menghadap Rasulullah Saw. dan menyampaikan apa yang didengarnya dari Hudhair. 
Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau saja saat itu kau tengadahkan kepalamu ke langit, pasti kau akan menyaksikan kata-katanya itu terbang seperti cahaya yang terang, terbentang antara langit dan bumi.”

85. Benteng Terakhir Khaibar

 Setelah pasukan Quraisy dan sekutu mereka pulang dengan wajah tertunduk karena tidak bisa menyerang Madinah dalam Perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan kaum Muslim untuk bergerak menuju Khaibar. Beliau memerintahkan kaum Muslim untuk mengepung dan 

menyerang perkampungan Yahudi itu karena berkhianat dan menikam kaum Muslim dari belakang. Maka, selama beberapa hari kaum Muslim mengepung Khaibar dan menjatuhkan benteng-benteng mereka. Setelah beberapa hari pengepungan, semua Benteng Khaibar telah dikuasai kaum Muslim kecuali 

Benteng Al-Wathih dan Al-Sulalim. Inilah benteng Yahudi terbesar di Khaibar, yang paling sulit ditembus. Rasulullah Saw. beserta kaum Muslim mengepung benteng ini hingga dua minggu lamanya.Suatu hari, seorang Yahudi bernama Marhab keluar dari benteng itu menantang duel, “Siapakah di antara kalian berani berduel melawanku?!

“Siapakah yang berani menghadapinya?” tanya 
Rasulullah Saw. kepada pasukan Muslim.
“Aku yang akan menghadapinya, wahai Rasulullah,” tegas Muhammad ibn Maslamah, “Demi Allah, aku akan mengalahkannya. Kemarin saudaraku telah gugur.”Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Hadapilah ia. Ya Allah, tolonglah Muhammad untuk mengalahkannya!” 
Muhammad pun melangkah cepat menyambut 
kedatangan Mahrab. Keduanya bertarung dengan sengit dan Muhammad ibn Maslamah berhasil membunuh musuhnya.
Tidak lama kemudian saudaranya Marhab, Yasir, 
keluar dan berteriak, “Siapakah di antara kalian yang berani berduel melawanku?!”
Zubair ibn Al-Awwam, langsung menyambutnya 
tegas, “Aku akan menghadapimu!” 
Namun, ibunda Zubair, Shafiyyah, yang merupakan bibi Rasulullah Saw. berkata, “Jangan, wahai Rasulullah. Ia akan membunuh anakku.”Rasulullah Saw. menukas, “Bahkan anakmulah yang akan membunuhnya, insya Allah.” Rasulullah memberi isyarat kepada Zubair untuk maju melayani tantangan Yahudi itu. Zubair pun maju, bertarung, dan membunuh 
Yasir. Setelah duel itu, perang pun berkecamuk hebat antara pasukan Muslim dan pasukan Yahudi Khaibar. Panji perang pasukan Muslim dipegang oleh Abu Bakar yang sekaligus menjadi komandan perang. Abu bakar berperang dengan hebat, tetapi sejauh ini belum berhasil menaklukkan benteng itu. Hari kedua, Umar 
mengambil alih bendera dan maju berperang dengan hebat, lebih hebat dari hari pertama. Namun, Umar pun tidak berhasil menembus benteng itu. 
Malamnya, Rasulullah Saw. berkata kepada para 
sahabat, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini besok pagi kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan lewat tangannya dan ia tidak 
akan lari dari medan perang.” Tentu saja, semua sahabat berharap ialah orang yang dimaksud Rasulullah Saw. 
Keesokan harinya semua Muslim berkumpul menanti titah Rasulullah Saw. Setelah semua bersiap-siap, beliau bertanya, “Di manakah Ali ibn Abi Thalib?” Orang-orang menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.” 
Beliau meminta mereka untuk membawa Ali ke 
hadapan beliau. Setelah berhadapan, Rasulullah 
membalurkan ludahnya ke mata Ali dan mendoakannya. 
Seketika itu juga kedua mata Ali sembuh seakan tidak pernah sakit sebelumnya. 
Kemudian, Rasulullah Saw. memberikan bendera 
kepada Ali seraya berpesan, “Ambillah bendera ini dan berperanglah. Jangan pernah sekali pun kau berpaling hingga Allah memberimu kemenangan!
Ali segera menyiapkan pasukannya dengan tangkas dan terjun ke medan perang dengan gagah berani. Ia tancapkan bendera pasukan Muslim di sela-sela batu di bawah benteng Yahudi. Dalam satu perang tanding, 
perisai Ali terlepas sehingga ia menyentakkan salah satu pintu Benteng Khaibar yang dipakainya sebagai tameng. Ali mengangkat pintu gerbang dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang pedang. 
Ia terus bertarung hingga berhasil membunuh Salam ibn Misykam dan Al-Harits ibn Abi Zainab, dua pimpinan pasukan Yahudi. Ali terus memegang erat tameng dari pintu gerbang itu hingga Allah memberikan kemenangan 
kepada pasukan Muslim.
Usai perang, sepuluh orang sahabat mencoba 
mengangkat pintu gerbang benteng yang dijadikan tameng oleh Ali ibn Abi Thalib. Namun, mereka tak mampu mengangkatnya. Wallâhul musta‘ân.

84. Seorang Badui Beristri Bidadari

 Suatu hari Rasulullah Saw. berjalan melewati

tenda seorang Arab Badui. Saat itu, beliau tengah menempuh perjalanan bersama para sahabat menuju Khaibar untuk berperang. Mendengar ada orang yang lewat di dekat tendanya, orang Badui itu segera membuka penutup tenda dan bertanya, “Siapakah 

kalian?”

Seorang sahabat menjawab, “Rasulullah dan para sahabatnya dalam perjalanan untuk berperang.”

“Apakah jika aku bergabung, aku akan mendapatkan sesuatu dari keuntungan dunia?” tanya Badui itu.

“Benar, siapa pun yang ikut serta akan mendapatkan bagian ganimah yang dibagi di antara kaum Muslim,” ujar seorang sahabat.

Mendengar jawaban itu, ia bergegas menuju 

unta nya yang terikat, lalu menungganginya, dan bergabung dengan pasukan Islam. Dalam perjalanan, ia mendekatkan untanya di samping unta Rasulullah Saw.

Melihat perbuatannya, para sahabat yang bersikap waspada, berusaha menghalaunya dari sisi Rasulullah Saw. Namun, beliau menahan mereka seraya berkata, 

“Biarkan ia mendekatiku. Demi Dia yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya ia adalah salah seorang penghuni surga.”

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa orang Badui itu berasal dari Habsyi dan berkulit hitam. Ia bekerja sebagai penggembala kambing milik seorang Yahudi. 
Ketika bertemu Rasulullah, ia tertarik pada Islam, lalu menyatakan keimanannya. Rasulullah Saw. pun menerangkan Islam kepadanya dan beliau tidak pernah meremehkan siapa pun yang memeluk Islam.Kemudian, terjadilah peperangan antara kaum Muslim melawan Yahudi Khaibar. Orang Badui itu pun 
tak mau ketinggalan. Ia ikut berperang di pihak Islam. Tak lama kemudian, ia mendapatkan anugerah syahid, terkena lemparan batu yang menewaskannya, padahal ia belum pernah mendirikan shalat sekali pun. 
Peristiwa syahidnya orang Badui itu disampaikan kepada Rasulullah Saw., yang bergegas mendatanginya, 
dan duduk di sisi kepalanya. Rasulullah Saw. tersenyum dan tampak gembira … tetapi kemudian beliau memalingkan wajahnya
Para sahabat heran, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu tersenyum, tetapi kenapa setelah itu engkau berpaling?”
Rasulullah Saw. menjawab, “Apabila kalian melihatku bergembira, itu karena kemuliaan ruhnya di hadapan Allah Swt. Aku memalingkan kepala karena saat ini Istrinya dari kalangan bidadari sedang berada di dekat kepalanya.”

83. Prajurit yang Menjadi Ahli Neraka

 Suatu ketika pasukan Muslim yang dipimpin Rasulullah Saw. berhadapan dengan pasukan musyrik dalam sebuah peperangan. Ketika sebagian orang beristirahat, 

Rasulullah pergi ke markas pasukan Muslim. Di antara pasukan Muslim saat itu ada seorang laki-laki yang tampak sangat bersemangat dalam peperangan. Ia tidak membiarkan seorang musuh pun lepas dari sabetan pedangnya. Para sahabat berkomentar tentang orang 

ini, “Betapa besar pahala si fulan itu pada hari ini 

dibandingkan kita.”Mendengar komentar mereka, Rasulullah Saw. menanggapinya, “Sesungguhnya ia termasuk ahli neraka.” 

Karena heran mendengar ucapan Rasulullah, salah seorang sahabat berkata, “Aku adalah temannya dan aku akan mengikuti gerak-geriknya.”Kemudian, ia pergi memperhatikan segala gerak gerik orang yang disebut sebagai ahli neraka itu. Jika orang itu maju, ia pun maju, dan jika temannya itu berhenti, ia juga berhenti.

Selang beberapa waktu, orang yang disebut ahli 

neraka itu mendapat luka yang sangat parah akibat tebasan musuh. Namun, alih-alih bersabar, ia malah mempercepat kematiannya dengan menancapkan pangkal pedangnya ke tanah dan mengarahkan hulu pedangnya yang runcing ke ulu hatinya, dan ia hempaskan tubuhnya ke pedang itu. Ternyata, ia memilih jalan pintas: bunuh diri. Setelah melihat dengan 

mata kepala sendiri apa yang dilakukan orang itu, sahabat yang tadi mengawasi dan mengikutinya segera menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku bersaksi, engkau adalah utusan Allah.”Rasulullah Saw. 

bertanya, “Ada apa?”“Tentang laki-laki yang engkau sebutkan sebagai ahli neraka tadi sehingga orang-orang terkejut mendengarnya. Aku mengatakan kepada mereka bahwa aku akan mengikutinya dan mengabarkan keadaannya.Maka, aku mengawasi gerak-geriknya hingga ia terluka parah. Namun, ia mempercepat kematiannya dengan cara menancapkan tungkai pedangnya ke tanah dan mengarahkan hulunya ke ulu hatinya, lalu menghempaskan tubuhnya ke pedang itu hingga ia tewas akibat bunuh diri.”
Mendengar cerita sahabat itu Rasulullah Saw. 
bersabda, “Sesungguhnya ada laki-laki yang tampak oleh manusia melakukan amal ahli surga, tetapi sebenarnya ia termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya ada laki-laki 
yang tampak oleh manusia melakukan amal ahli neraka, tetapi sebenarnya ia termasuk ahli surga.”

82. Jasad yang Dimandikan Malaikat

 Salah seorang sahabat yang juga gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud adalah Hanzhalah. Ketika perang usai, para sahabat menemukan jasadnya basah dan masih meneteskan air. Para sahabat segera melaporkan 

keadaannya kepada Rasulullah Saw.

“Jasadnya dimandikan malaikat. Tanyakanlah kepada istrinya, mengapa bisa demikian?” ujar Rasulullah Saw.

Maka, tiba di Madinah, para sahabat menceritakan keadaan Hanzhalah kepada istrinya, Jamilah binti Ubay ibn Salul: 

“Suamimu telah gugur sebagai syahid di medan 

perang kemarin. Bersabarlah, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan suamimu. Allah akan membalasnya dengan surga.” 

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan 

suamiku syahid di medan perang. Insya Allah, aku bersabar,” ujar Jamilah tegar

“Kami ingin bertanya kepadamu tentang suamimu.”
“Memangnya, ada apa dengan suamiku?” 
“Kami menemukan jasad suamimu basah dan 
masih meneteskan air. Lalu, kami laporkan kepada Rasulullah dan beliau bilang, suamimu telah dimandikan malaikat. Selanjutnya, Rasulullah menyuruh kami untuk 
menanyakannya kepadamu, mengapa bisa demikian?” 
“Oh … itu,” kata Jamilah agak malu, “sebenarnya, 
aku dan suamiku baru saja menikah. Sebagai pengantin baru, kami lalui malam-malam laiknya orang yang baru menikah. Beberapa hari kemudian, kami mendengar 
seruan untuk berjihad. Tanpa pikir panjang, suamiku bergegas bangun, mengenakan baju zirah, mengambil pedang, lalu keluar menuju medan perang dalam keadaan junub.”
“Sekarang, kami tahu mengapa suamimu dimandikan malaikat setelah ia berperang dengan gagah berani dan akhirnya gugur sebagai syahid,” kata para sahabat.
“Ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Allah adalah pemilik 
karunia yang besar,” tutur Jamilah dengan wajah berseri.

Jumat, 07 Februari 2025

81. Membuat Perhitungan dengan Allah

 Suatu hari ketika Rasulullah Saw. khusyuk bertawaf 

di Ka‘bah, beliau mendengar seorang Arab Badui 

di hadapannya berzikir, “Yâ Karîm … yâ Karîm ….” 

Rasulullah Saw. meniru bacaan orang Badui itu: “Yâ 

Karîm … yâ Karîm ….” Kemudian, orang itu berhenti di 

salah satu sudut Ka‘bah dan kembali melafalkan Asma 

Allah itu. Rasulullah Saw. yang mengikuti di belakangnya 

ikut berhenti dan melafalkan: “Yâ Karîm … yâ Karîm ….”

Merasa seperti dipermainkan, orang itu menoleh ke 

belakang dan ia melihat seorang laki-laki yang gagah dan 

tampan, tetapi ia tidak mengenalinya.

Orang Arab Badui itu berkata, “Hai orang tampan! 

Apakah kau sengaja mengolok-olokku karena aku orang 

Badui? Seandainya bukan karena ketampanan dan 

kegagahanmu, pasti sudah kuadukan kelakuanmu kepada 

kekasihku, Muhammad Rasulullah.

Mendengar perkataan orang Badui itu, Rasulullah 
Saw. tersenyum lalu bertanya, “Apakah engkau mengenali 
nabimu, hai orang Arab?”
“Belum.” 
“Jadi, bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Aku percaya sepenuhnya terhadap kenabian dan 
kerasulannya meskipun aku belum pernah melihatnya 
sekali pun. Aku membenarkan setiap ketetapannya 
meskipun aku belum pernah bertemu dengannya,” ujar 
orang Badui itu.
Maka, Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Hai 
orang Badui! Ketahuilah, akulah nabimu di dunia dan 
penolongmu kelak di akhirat!”
Laki-laki itu terkesiap, takjub. Pandangannya tak 
lepas dari wajah Rasulullah Saw. Akhirnya, ia yakin, lakilaki di hadapannya adalah Rasulullah. 
Ia bertanya dengan suara bergetar, “Tuan ini benar 
Nabi Muhammad?!”
“Ya,” jawab Rasulullah Saw.
Ia langsung merunduk untuk mencium kedua kaki 
Rasulullah Saw. Namun, secepat kilat Rasulullah Saw. 
menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya, 
“Hai orang Arab! Jangan berbuat seperti itu! Perbuatan 
seperti itu hanya dilakukan seorang budak kepada 
majikannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk 
menjadi orang yang takabur, yang meminta dihormati
atau diagungkan, melainkan untuk menyampaikan kabar

gembira bagi orang yang beriman dan membawa 
peringatan bagi yang mengingkari-Nya.”
Ketika itulah Malaikat Jibril turun 
dan berkata, “Ya Muhammad, Rabb AlSalâm menyampaikan 
salam kepadamu dan berfirman, ‘Katakanlah 
kepada orang Badui itu, agar tidak terpesona dengan 
belas kasih Allah. Ketahuilah, Allah akan menghisabnya 
(menghitung amal perbuatannya) di akhirat nanti, akan 
menimbang semua amalnya, baik yang kecil maupun 
yang besar!’”
Setelah menyampaikan berita tersebut, Jibril pun 
pergi. Orang Badui kemudian berkata, “Demi keagungan 
serta kemuliaan Allah, jika Allah akan membuat perhitungan atas amalanku maka aku pun akan membuat 
perhitungan dengan-Nya!”
“Apa yang akan kamu perhitungkan dengan Allah?” 
tanya Rasulullah Saw.
“Jika Allah akan memperhitungkan dosa-dosaku maka 
aku akan memperhitungkan betapa besar ampunan-Nya. 
Jika Dia memperhitungkan kemaksiatanku maka aku
akan memperhitungkan betapa luas pengampunan-Nya. 
Jika Dia memperhitungkan kekikiranku maka aku akan 
memperhitungkan pula betapa agung kedermawananNya!”
Mendengar ucapan orang Badui itu, Rasulullah 
Saw. menangis mengingat betapa benarnya ucapan 
orang Badui itu. Air mata beliau meleleh membasahi 
janggutnya.
Lantaran itu, Malaikat Jibril turun lagi menemui 
Rasulullah Saw. seraya berkata, “Ya Muhammad, Rabb 
Al-Salâm menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, 
‘Hentikan tangisanmu! Sungguh karena tangisanmu, 
penjaga Arasy lupa akan bacaan tasbih dan tahmidnya, 
hingga Arasy berguncang. Katakanlah kepada temanmu 
itu bahwa Allah tak akan menghisab dirinya, juga tak 
akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah telah 
mengampuni semua kesalahannya dan ia akan menjadi 
temanmu di surga nanti!’”
Betapa bahagia orang Badui itu. Ia pun lalu menangis 
karena tidak kuat menahan haru.

80. Memata-matai Musuh

 Menjelang terjadinya Perang Badar, Rasulullah 

Saw. bersama Abu Bakar keluar dari tempat 

peristirahatan untuk mencari kabar tentang kekuatan dan 

persiapan pasukan Quraisy. Setelah berjalan agak jauh, 

mereka bertemu dengan seorang laki-laki tua bernama 

Sufyan Al-Dhamari. Rasulullah Saw. pura-pura bertanya 

tentang pasukan Quraisy dan pasukan Muhammad.

“Aku tidak akan memberi tahu sebelum kalian bilang 

siapa dan dari mana kalian datang!” kata orang tua itu.

Rasulullah Saw. menjawab, “Bila kau memberitahukannya maka kami akan katakan kepadamu siapa 

kami.” 

“Benarkah begitu?” 

“Ya, betul.”

“Aku mendengar Muhammad dan para sahabatnya 

telah keluar pada hari anu. Jika kabar itu benar, tentu 

sekarang mereka sudah berada di tempat anu. Aku juga

mendengar pasukan Quraisy telah keluar pada hari anu. 
Jika ini benar maka kini mereka berada di tempat anu.”
Ia menerangkan keadaan pasukan Muhammad dan 
pasukan Quraisy, lalu bertanya, “Nah, sekarang, dari 
pihak manakah kalian berdua?” 
Rasulullah Saw. menjawab, “Kami dari ma’ (air).” 
Kemudian, beliau dan Abu Bakar pergi meninggalkan 
orang tua itu yang diam terpaku mendengar jawaban 
Rasulullah Saw.
Saat tiba waktu sore, Rasulullah Saw. mengutus Ali 
ibn Abi Thalib, Al-Zubair ibn Al-Awwam dan Sa‘d ibn 
Abi Waqqash untuk memata-matai musuh. Ketiganya 
menjumpai dua orang yang sedang mengambil air 
untuk pasukan Quraisy. Kedua orang ini dibawa untuk 
menghadap Rasulullah Saw., tetapi dihadang kaum 
Muslim yang langsung menginterogasi keduanya. Ketika 
ditanya berbagai pertanyaan, mereka menjawab, “Kami 
hanya pemberi minum kaum Quraisy.” Namun, orangorang tidak memercayai ucapan mereka sehingga terus 
mendesak bahkan memukuli mereka. 
Ketika itu terjadi, Rasulullah Saw. sedang mendirikan 
shalat. Usai shalat, beliau segera menemui mereka 
dan berkata, “Jika kalian benar, kalian boleh memukul 
keduanya. Namun, jika kalian salah, tinggalkan mereka. 
Demi Allah, mereka berdua hanyalah pemberi minum

untuk kaum Quraisy.” Kemudian Rasulullah Saw. berpaling 
kepada kedua orang itu dan berkata, “Sekarang, 
ceritakanlah tentang kaum Quraisy!”
Mereka menjawab, “Pasukan Quraisy ada di balik 
bukit ini.”
“Berapa jumlah mereka?” 
“Banyak.”
“Kira-kira berapa?” 
“Kami tidak tahu.”
“Berapa mereka menyembelih unta setiap hari?”
“Sembilan hingga sepuluh ekor!”
“Kalau begitu, jumlah mereka antara 900 hingga 
seribu orang.”
“Siapa para pemimpin Quraisy yang ikut?” 
“Utbah ibn Rabiah, Saibah ibn Rabiah, Abu AlBukhturi ibn Hisyam, Hakim ibn Hizam .…”
Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada semua 
orang, “Perhatikanlah! Pasukan Makkah telah datang 
kepada kalian.”

79. Keutamaan Memaafkan

Hari itu, Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya 

sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Ketika 

semuanya sedang asyik tenggelam dalam majelis 

ilmu, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan kemunculan 

seorang pria yang menyeret pria lainnya yang diikat 

tali. Setelah mengucapkan salam, pria di depan berkata 

marah, “Wahai Rasulullah, orang ini telah membunuh 

saudaraku!”

Rasulullah Saw. diam sejenak dan beberapa saat 

kemudian beliau berkata dengan nada yang lembut 

kepada orang yang diikat, “Benarkah kau telah 

membunuh saudaranya?”

“Kalau ia tidak mengaku, aku punya saksi, wahai 

Rasulullah!” sergah orang pertama menyela jawaban 

orang yang diikat. Kemudian, ia serahkan tali pengikatnya 

kepada Rasulullah Saw.

“Benar, wahai Rasulullah, aku telah membunuh 

saudaranya,” jawab orang yang diikat itu dengan

suara lirih seraya menundukkan kepala menyesali 
perbuatannya.
“Bagaimana kau membunuhnya?” tanya Rasulullah 
Saw. tetap dengan nada yang lembut.
“Begini ceritanya, wahai Rasulullah Saw.,” tutur si 
pembunuh, “ketika aku dan saudaranya itu memetik 
dedaunan dari sebatang pohon, ia mencaci maki dan 
menghinaku. Aku tidak tahan mendengar caciannya. Aku 
marah dan kupukul kepalanya dengan kapak hingga ia 
terbunuh.” 
Mendengar jawabannya yang jujur, Rasulullah Saw. 
diam sejenak, lalu beberapa saat kemudian berujar, 
“Apakah kau punya keluarga yang mungkin bisa 
membayar tebusan untuk membebaskanmu?”
“Wahai Rasulullah, di mata keluargaku, aku lebih 
hina daripada kapak itu,” jawab si pembunuh.
Rasulullah Saw. menarik napas dalam-dalam. Setelah 
itu, beliau menyerahkan kembali tali itu kepada keluarga 
si korban seraya berkata, “Terserah kalian, apa yang akan 
kalian lakukan terhadap temanmu yang telah membunuh 
saudaramu ini.”

Setelah menerima tali pengikat tersebut, keluarga si 
korban lalu mohon diri seraya menyeret si pembunuh. 
Baru saja beberapa langkah ia berlalu dari hadapan 
Rasulullah Saw., beliau berkata kepada para sahabat 
yang hadir kala itu, “Jika ia membunuh si pembunuh itu 
maka ia sama dengannya.

Ternyata orang yang sedang menyeret si pembunuh 
itu mendengar ucapan Rasulullah Saw. itu sehingga ia 
menghentikan langkahnya, berbalik mendekati Rasulullah 
dan berkata, “Wahai Rasulullah, barusan aku mendengar 
ucapanmu: ‘Jika ia membunuh si pembunuh itu maka 
ia sama dengannya.’ Kini, aku serahkan sepenuhnya 
persoalan ini kepadamu, ya Rasulullah.”
Mendengar ucapannya, Rasulullah Saw. diam dan 
termenung. Beberapa saat kemudian beliau berkata 
kepada saudara si korban, “Maukah kau jika pembunuh 
ini memikul dosamu dan dosa saudaramu yang 
terbunuh?”
Laki-laki itu termenung mendapat pertanyaan yang 
tak terduga itu. Ia diam beberapa lama, sepertinya tak 
rela bila si pembunuh dibiarkan hidup. Namun, akhirnya 
ia menjawab, “Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah!”
“Jika kau membebaskannya maka ia akan memikul 
dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh!” 
Setelah mendengar penuturan Rasulullah Saw., lakilaki itu pun melepaskan tali yang mengikat si pembunuh 
dan membebaskannya pergi.

78. Evaluasi Diri

 Suatu hari seorang wanita menemui Rasulullah Saw. 

dan mengadukan suaminya, “Wahai Rasulullah, 

suamiku, Shafwan, menghardik dan memukulku bila aku 

shalat, memaksaku berbuka bila aku berpuasa (sunnah), 

dan ia tidak shalat shubuh kecuali setelah matahari 

terbit.”

Setelah mendengar tuturannya, Rasulullah Saw. 

berpaling dengan seluruh badannya—begitulah cara 

beliau menoleh—kepada suami wanita itu sambil 

bertanya, “Benarkah itu, hai Shafwan?”

“Benar, ya Rasulullah,” jawab Shafwan tenang, “tetapi 

aku menghardik dan memukulnya karena ia membaca 

dua surah (selain Al-Fâtihah) pada setiap rakaatnya. 

Aku telah berkali-kali menegurnya, tetapi tetap saja ia 

melakukannya. Aku juga menyuruhnya berbuka saat ia 

berpuasa sunnah, karena aku seorang pemuda sehat 

yang sering kali tak mampu menahan berahi. Juga benar 

bahwa aku tidak shalat shubuh kecuali setelah matahari

terbit, karena keluargaku terbiasa bangun kesiangan. 
Sungguh sulit bagiku bangun di waktu fajar.”
Rasulullah Saw. membenarkan sikap Shafwan, 
lalu berpesan, “Shalat shubuhlah segera setelah kau 
bangun!” Kemudian beliau menoleh kepada istri Shafwan 
dan berkata, “Persingkat shalatmu dan jangan berpuasa 
sunnah kecuali atas izin suamimu!”
Senada dengan kisah di atas, suatu ketika Abu Rafi
mengeluarkan hadats (kentut) dalam shalatnya tetapi ia 
tetap melanjutkannya. Salma, istrinya yang mengetahui 
hal itu menyuruhnya berwudhu lagi. Namun, di luar 
dugaan, Abu Rafi justru memukulnya, karena ia merasa 
tersinggung. Ia merasa tersakiti dengan teguran istrinya 
itu.
Tentu saja, sang istri, tidak bisa menerima perlakuan 
suaminya itu dan mengadu kepada Aisyah r.a., yang 
kemudian menyuruhnya melaporkan kepada Rasulullah 
Saw.
Setelah menerima pengaduan tersebut, Rasulullah 
Saw. memanggil suami istri itu, lalu beliau bertanya 
kepada Abu Rafi, “Apa yang terjadi dengan istrimu, hai 
Abu Rafi?”
“Istriku telah melukaiku, wahai Rasulullah,” jawab 
Abu Rafi

“Dengan apa kau melukainya, hai Salma?” tanya 
Rasulullah Saw.
Salma menjawab, “Aku tidak melukainya dengan apa 
pun. Saat itu, ia kentut dalam shalat sehingga kukatakan 
kepadanya, ‘Hai Abu Rafi, sesungguhnya Rasulullah telah 
memerintahkan orang Muslim apabila salah seorang 
di antara mereka kentut lalu hendak shalat, ia harus 
berwudhu.’ Akan tetapi, ia kemudian berdiri dan 
memukulku.”
Mendengar penuturan Salma, Rasulullah Saw. 
pun tersenyum dan berkata, “Wahai Abu Rafi, ia tidak 
menyuruhmu selain suatu kebaikan!”

77. Jauhilah Semua Penyeru Menuju Neraka!

 Sejak memeluk Islam bersama ayah dan saudaranya, 

Hudzaifah ibn Al-Yaman menjadi sahabat yang sangat 

dekat kepada Rasulullah Saw. Ia menjadi Muslim yang 

benar-benar taat dan tunduk kepada Allah dan RasulNya. Ia terus mempelajari dan menghayati setiap ajaran 

dan perintah junjungannya, Rasulullah Saw. Ia tidak 

hanya menaati dan mengamalkan segala perintah Allah 

dan Rasul-Nya dari sisi lahiriah, tetapi juga benar-benar 

menghayati makna dan hakikat setiap ibadah yang 

dilakukannya. Karena itulah, ia dikenal sebagai sahabat 

yang memiliki pengetahuan khusus tentang rahasia batin 

dan berbagai hal tersembunyi dalam diri manusia.

Hudzaifah mampu membedakan antara orang yang 

beriman dan munafik. Bahkan, sahabat Umar ibn AlKhaththab tidak akan ikut menyalatkan seseorang yang 

mati jika Hudzaifah tidak ikut menyalatkannya. Hanya 

Hudzaifah yang diberi kabar oleh Rasulullah Saw. tentang

siapa saja orang yang benar-benar beriman dan siapa 
saja orang munafik. Setelah diberi tahu, ia berjanji tidak 
akan membocorkannya kepada siapa pun sepeninggal 
Rasulullah Saw.
Dalam majelis-majelis Rasulullah Saw., ia kerap 
bertanya tentang keburukan dengan maksud agar tidak 
tertimpa keburukan itu. Misalnya, ia pernah bertanya 
kepada Rasulullah Saw., ia bertanya kepada beliau, 
“Wahai Rasulullah, dulu kami hidup dalam kebodohan 
dan keburukan. Kemudian Allah Swt. melimpahkan 
kebaikan (Islam) kepada kami. Apakah setelah kebaikan 
ini akan ada keburukan?”
“Ya, ada, hai Hudzaifah,” jawab Rasulullah Saw.
“Ya Rasulullah, apakah setelah keburukan itu ada 
kebaikan lagi?” 
“Ya, ada, hai Hudzaifah! Tapi, kebaikan itu akan 
disertai keburukan.” 
“Ya Rasulullah, apa keburukannya?” desak Hudzaifah.
Rasulullah Saw. diam sejenak. Pandangan beliau 
ke depan seakan-akan menerawang berbagai peristiwa 
yang akan menjelang, lalu berkata, “Yaitu orang yang 
mengikuti ajaran selain ajaranku dan memberikan 
petunjuk selain petunjukku. Mereka berbuat kebaikan, 
tetapi sesungguhnya melakukan keburukan.”
“Ya Rasulullah, apakah setelah kebaikan akan ada 
keburukan lagi?” tanya Hudzaifah penasaran

“Ya, ada, yaitu orang yang mengajak ke pintu neraka. 
Barangsiapa mengikuti ajaran itu, mereka akan terseret 
ke neraka,” jelas Rasulullah Saw.
“Bagaimana ciri-ciri mereka, ya Rasulullah?”
“Mereka berasal dari kalangan kita juga dan berkatakata dengan bahasa kita,” tegas Rasulullah Saw.
Mendengar jawaban beliau, Hudzaifah ibn Al-Yaman 
tercenung. Setelah diam beberapa saat, ia bertanya 
lagi dengan penuh rasa ingin tahu, “Wahai Rasulullah, 
apakah yang harus kulakukan jika hidup di masa seperti
itu?”
“Tetaplah bergabung dengan kelompok Muslim dan 
pemimpin mereka!” 
“Tetapi bagaimana jika mereka tidak punya 
pemimpin?” 
“Hindarilah seluruh kelompok itu, bahkan meskipun 
kau harus menggigit pangkal pohon sampai kau mati
dalam keadan demikian,” ujar Rasulullah Saw. mengakhiri 
majelis hari itu.

76. Kewajiban di Tepi Jalan

 Selepas shalat berjamaah di masjid, Rasulullah 

Saw. menggelar pertemuan dengan para sahabat, 

termasuk di antaranya Abu Hurairah. Pada pertemuan 

itu, Rasulullah Saw. menasihati mereka agar jangan 

suka berkerumun di tepi jalan serta mengobrol atau 

ngerumpi tanpa arah. Beliau berbicara tentang hal itu 

karena melihat banyak di antara mereka yang sering 

melakukannya. “Hindarilah duduk di tepi jalan,” pesan 

Rasulullah Saw. kepada mereka.

Para sahabat terdiam mendengar pesan itu, terutama 

mereka yang tinggal di kawasan padat dengan loronglorong yang sempit. Maka, mereka bertanya, “Wahai 

Rasulullah, bagaimana kalau kami terpaksa duduk di tepi 

jalan dan mengobrol di situ?”

“Kalau kalian tidak mendapatkan tempat lain dan 

terpaksa duduk di tepi jalan maka penuhilah kewajiban 

kalian di tepi jalan!” 

“Kewajiban apakah itu, wahai Rasulullah?

Rasulullah Saw. melanjutkan, “Kewajiban kalian 
adalah menundukkan pandangan, menghindarkan 
terjadinya gangguan, menjawab salam, mengajak berbuat 
kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
Menundukkan pandangan di jalan merupakan keharusan 
agar kita terhindar dari fitnah dan godaan setan. Allah 
Swt. menjanjikan balasan kebaikan bagi orang yang 
menundukkan pandangan dan menggolongkan perilaku 
itu sebagai ibadah. Orang yang melakukannya akan 
merasakan manisnya keimanan dalam hati (HR Ahmad). 
Dikisahkan bahwa Fadhl ibn Abbas r.a. pernah 
membonceng Rasulullah Saw. pada hari penyembelihan 
(di musin haji) dari Muzdalifah menuju Mina. Lalu, 
lewatlah beberapa wanita yang berada dalam sekedup 
unta. Saat mereka melintas, kontan Fadhl memandang 
ke arah mereka, tetapi cepat-cepat Rasulullah Saw. 
memalingkan kepala Fadhl ke arah lain.
Itulah beberapa adab di tepi jalan dan di dalam 
perjalanan. Sepatutnya kita selalu menundukkan 
pandangan ketika melihat atau berpapasan dengan lawan 
jenis yang bukan mahram, bahkan sekalipun orang itu 
adalah orang buta.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Ummu Salamah 
dan Maimunah sedang bersama Rasulullah Saw., lalu 
datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum. Saat itu, telah 
turun perintah berhijab untuk kaum perempuan. Maka, 
Rasulullah Saw. berkata kepada keduanya, “Tutuplah 
(hijabilah) diri kalian darinya!”
Kedua istri Rasulullah Saw. berkata, “Wahai 
Rasulullah, bukankah ia buta? Ia tidak dapat melihat 
dan mengenali kami?”
“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian dapat 
melihatnya?” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ada 
tiga mata yang tidak akan melihat neraka: mata yang 
berjaga di jalan Allah Swt., mata yang menangis karena 
takut kepada Allah Swt., dan mata yang terjaga dari 
segala hal yang dilarang Allah Swt.”

75. Tobat yang Diterima

 Ma’iz adalah sahabat Rasulullah Saw. yang masih 

muda dan menikah di Madinah. Suatu hari, setan 

menggodanya sehingga ia jatuh hati pada tetangganya, 

istri seorang Anshar. Mereka kerap berdua-duaan tanpa 

seorang pun mengetahuinya. Lalu, hadirlah setan di 

antara mereka. Setan terus membujuk mereka hingga 

terjadilah perbuatan haram. Setan berhasil menggoda 

mereka dan setelah itu ia pergi meninggalkan mereka.

Ma’iz menangis saat menyadari keburukannya. Ia 

membayangkan dosa yang telah dilakukannya. Ia sangat 

takut terhadap azab Allah. Hidupnya menjadi sangat 

sempit dan sulit. Rasa berdosa terus membakar hatinya. 

Namun, ia tidak berputus asa. Ia segera mendatangi sang 

pengobat hati, berdiri di hadapan beliau, dan berkata 

lirih, “Wahai Rasulullah, orang hina ini telah melakukan 

zina, sucikanlah aku!”

Di luar dugaan, Rasulullah Saw. pergi menghindar 
sehingga Ma’iz mengejar beliau dan berkata, “Wahai 
Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah aku!” 
Rasulullah Saw. berkata, “Hus, pulanglah kamu, mohon 
ampun kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya!”
Ma’iz pun pulang. Namun, belum jauh melangkah, ia 
kembali mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai 
Rasulullah, sucikanlah aku!” 
“Hus, pulanglah, mohonlah ampunan kepada Allah, 
dan bertobatlah kepada-Nya!”
Belum jauh melangkah, ia kembali lagi dan 
mengatakan perkataan yang sama. 
Maka, Rasulullah Saw. berseru, “Sudahlah! Apakah 
kau tahu apa itu zina?”

Kemudian, beliau menyuruhnya keluar sehingga ia 
pun keluar. Ia kembali datang menemui Rasulullah Saw. 
lebih dari empat kali, sampai-sampai beliau bertanya 
kepada para sahabat, “Apakah ia sakit jiwa?”
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, setahu kami, 
ia baik-baik saja.”
“Apakah ia minum arak?” tanya Rasulullah Saw. 
lagi. Seorang lelaki berdiri dan mengendus mulut Ma’iz. 
Ternyata, tidak tercium bau arak.
Rasulullah Saw. bertanya, “Tahukah kamu, apa zina itu?”
Ma’iz menjawab, “Ya. Aku mendatangi perempuan 
yang haram untukku seperti aku mendatangi istriku 
sendiri.
“Lantas, apa maumu dengan terus mengatakan yang 
kaukatakan?”
“Aku ingin engkau menyucikan diriku.” 
“Baiklah,” ujar Rasulullah Saw., kemudian memerintah kan para sahabat untuk merajam Ma’iz hingga ia 
meninggal. 
Usai dishalatkan dan dikubur, Rasulullah Saw. beserta 
sebagian sahabat berjalan melewati tempat perajaman. 
Beliau mendengar salah seorang dari mereka berbicara 
kepada temannya, “Lihatlah ini! Allah telah menutupi 
kehormatan orang ini, tetapi nafsunya tidak mau hingga 
ia dirajam seperti anjing.”
Rasulullah Saw. terdiam, lalu berjalan lagi sampai 
melewati bangkai keledai yang telah terbakar matahari, 
tubuhnya menggelembung dan kedua kakinya copot. 
Melihat bangkai itu, beliau bertanya, “Mana si fulan dan 
si fulan?”
Mereka berdua menyahut, “Kami, wahai Rasulullah.”
“Turunlah, lalu makan bangkai keledai ini!” suruh 
Rasulullah Saw.
Keduanya berkata, “Wahai Nabiyullah, semoga Allah 
mengampuni engkau. Siapa yang mau memakan bangkai 
ini!”
Rasulullah Saw. bersabda, “Apa yang kalian katakan 
tadi lebih buruk daripada makan bangkai ini. Saudara 
kalian itu telah mendapat karunia tobat yang besar, 
yang kalau dibagi-bagikan ke seluruh manusia, pasti

Setelah disusui hingga disapih, ia datang lagi 
kepada Rasulullah Saw. dengan membawa anak itu yang 
memegang potongan roti. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, 
inilah anakku. Aku telah menyapihnya dan ia sudah bisa 
makan.”
Maka, Rasulullah Saw. menyerahkan anak itu kepada 
salah seorang Muslim, lalu beliau memerintahkan 
untuk menghukum perempuan itu. Maka, digalilah 
lubang sedalam dada perempuan tersebut dan beliau 
memerintahkan orang-orang untuk merajam sehingga 
mereka pun merajamnya.
Khalid ibn Walid datang membawa batu, lalu 
melempar kepala perempuan itu hingga darahnya 
memerciki wajah Khalid. Kemudian Khalid mencerca 
wanita itu, tetapi Rasulullah Saw. yang mendengar 
cercaannya berkata, “Jangan begitu, Khalid! Demi 
Allah yang diriku berada dalam kuasa-Nya, sungguh 
perempuan itu telah bertobat yang seandainya tobat 
ini dilakukan pemungut harta yang zalim, tentu ia akan 
diampuni.” Kemudian, Rasulullah Saw. memerintahkan 
untuk merawat jenazah perempuan itu dan beliau 
menyalatinya. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan 
seperti biasa.

74. Jangan Dekati Dukun!

 Ketika Rasulullah Saw. memimpin shalat jamaah 

di masjid, tiba-tiba seorang makmum bersin 

dan Muawiyah ibn Al-Hakam yang berada persis di 

sebelahnya menjawab, “Yarhamukallâh (Semoga Allah 

merahmatimu).”

Tentu saja orang-orang yang sedang shalat berpaling 

kepadanya dengan pandangan menyalahkannya. 

Muawiyah berkata, “Kenapa kalian melihatku seperti

itu?”

Orang-orang memukulkan tangan mereka ke paha 

sebagai isyarat agar Muawiyah tak bicara. Maka, ia pun 

diam hingga shalat usai.

Setelah shalat, Rasulullah Saw. menghadap kepada 

jamaah dan berkata, “Ketika shalat, jangan sampai keluar 

satu ucapan pun. Dalam shalat hanya ada tasbih, takbir, 

dan bacaan Al-Quran.”

Muawiyah yang merasa bersalah berkata, “Wahai 

Rasulullah, aku baru saja lepas dari keadaan jahiliah

dan memasuki Islam. Dan sesungguhnya, banyak di 
antara kami yang biasa mendatangi dukun yang mengaku 
memiliki ilmu gaib.”
“Jangan datangi mereka!” 
“Di antara kami juga ada orang suka ber-tathayyur 
(menganggap sial dengan sesuatu, seperti dengan suara 
burung, dll.),” tambah Muawiyah.
“Itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam dada 
mereka. Jangan sampai semua itu menghalangi dari 
tujuan mereka, karena semua itu tidak berpengaruh, 
tidak mendatangkan manfaat maupun mudarat.”
Suatu hari orang Yahudi mendatangi Rasulullah Saw. 
yang sedang bersama istrinya, Aisyah. Mereka berkata, 
“Assamu ‘alaikum! (Kebinasaan bagimu).”
Rasulullah Saw. menjawab, “Wa ‘alaikum (Dan 
atasmu juga)!” Aisyah r.a. juga menjawab, “Assamu 
‘alaikum wa la‘anakumullah wa ghadiba ‘alaikum 
(Kebinasaan bagi kalian, laknat, dan murka Allah atas 
kalian).”
“Tahan ucapanmu, hai Aisyah. Kau seharusnya 
berlemah lembut. Berhati-hatilah dari sikap keras dan 
keji!” tegur Rasulullah Saw.
“Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka 
ucapkan?”
“Apakah kau juga tidak mendengar apa yang 
kuucapkan? Aku telah membalas mereka. Ucapanku 
dikabulkan, sedangkan ucapan mereka tidak akan.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah kau 
(Aisyah) menjadi orang yang berbuat keji, karena 
sesungguhnya Allah tidak menyukai perkataan yang keji 
dan kotor.”

73. Rasulullah Menyukai Wewangian dan Gosok Gigi

 Rasulullah Saw. yang mulia menyukai wangi-wangian 

dan menjaga diri dari bau tak sedap. Beliau punya 

sikkah yang digunakan sebagai parfum. Beliau juga suka 

menerima hadiah berupa parfum. Beliau tidak pernah 

menolak jika seseorang menghadiahkan parfum.

Rasulullah Saw. memakai wangi-wangian ketika 

berihram dan membolehkannya hingga sebelum tawaf 

di Al-Bait. Tentang hal ini, Aisyah r.a. bertutur, “Aku 

mengusap Rasulullah dengan parfum terbaik yang 

kudapatkan. Aku melihat beliau lebih tampan dari 

sebelumnya. Minyak menjadikan rambut dan janggutnya 

mengilat, dan saat itu beliau sedang berihram.”

Rasulullah Saw. memiliki serban tebal yang diolesi 

za‘faran. Hanya beliau satu-satunya yang memakai 

serban jenis itu di antara sekian banyak jamaah yang 

mendirikan shalat bersamanya. Jadi, Rasulullah Saw.

sangat memperhatikan penampilan dan kebersihan 

dirinya.

“Aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum 
daripada wewangian yang dipakai Nabi,” komentar Anas 
ibn Malik r.a.
Rasulullah Saw. juga suka menyisir rambut dan 
janggutnya serta meminyaki rambutnya. Pada waktuwaktu tertentu beliau menggunakan hinnah (pewarna 
rambut) pada kepala beliau. Adapun baju yang beliau 
miliki kebanyakan berwarna putih, karena beliau sangat 
menyukai warna putih.
Ketika bangun malam, Rasulullah Saw. serta-merta 
membersihkan mulutnya dengan siwak. Beliau selalu 
menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan bersiwak. 
Karena itulah suatu ketika beliau bersabda, “Seandainya 
tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan 
mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” Sudah 
sepatutnya kita mengikuti jejaknya ini.

72. Allah Itu Indah, Menyukai Keindahan

 “Wahai Rasulullah, aku ingin memiliki rumah 

yang bagus dan memakai pakaian yang 

indah. Apakah itu termasuk kesombongan?” tanya 

seorang sahabat.

“Tidak,” jawab Rasulullah, “sesungguhnya Allah itu 

indah dan menyukai keindahan. Takabur (kesombongan) 

adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah 

orang lain.”

Suatu hari Rasulullah Saw. melihat Auf ibn Malik 

mengenakan baju yang lusuh dan kumal. Beliau bertanya, 

“Apakah kau memiliki harta?”

“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku banyak 

harta, berupa unta dan kambing,” jawab Auf

“Gantilah bajumu!” pinta Rasulullah, “Allah itu indah 
dan menyukai keindahan, dermawan dan menyukai 
kedermawanan, bersih dan menyukai kebersihan.”
Aisyah r.a. pernah bercerita bahwa pada hari Jumat 
kaum Muslimin pergi ke masjid untuk menunaikan 
shalat Jumat. Sebagian mereka harus menempuh jarak 
yang cukup jauh sehingga tubuh mereka mengucurkan 
keringat dan terkena debu. Akibatya, tubuh mereka 
mengeluarkan bau tak sedap. Ketika salah seorang di 
antara mereka menemui Rasulullah, beliau berujar, 
“Sebaiknya, bersihkan badanmu hari ini.”
Khusus untuk hari Jumat, Rasulullah Saw. berpesan 
kepada para sahabat, “Mandilah pada hari Jumat dan 
berkeramaslah walaupun kalian tidak junub. Lalu, 
pakailah wangi-wangian” (HR Bukhari).

71. Adab Bertetangga

 Rasulullah Saw. memerintahkan umatnya agar 

senantiasa menghormati dan memuliakan tetangga. 

Beliau berpesan, “Barangsiapa beriman kepada Allah 

dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya” 

(HR Muslim). Dalam redaksi lain, “… janganlah menyakiti

tetangganya” (HR Bukhari-Muslim). Pada kesempatan 

yang lain beliau bersabda, “Jibril mewasiatkan kepadaku 

(agar menghormati) tetangga sampai-sampai aku mengira 

bahwa tetangga akan mendapat warisan” (HR BukhariMuslim).

Suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw. 

mengadukan tetangganya yang sering mengganggunya. 

Rasulullah Saw. berkata, “Pergilah dan bersabarlah!” Lakilaki itu pun beranjak pergi. Namun, keesokan harinya ia 

datang lagi menemui Rasulullah Saw. mengadukan hal

yang sama. Kali ini Rasulullah Saw. berkata, “Keluarkan 

barang-barangmu, lalu letakkan di jalan!”

Laki-laki itu pulang ke rumahnya dan melakukan 

apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. Ia mengeluarkan 

semua barang di rumahnya dan meletakkannya di tengah 

jalan. Tentu saja banyak orang yang berkumpul ingin 

mengetahui apa yang terjadi.

Mereka bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”

Ia menjawab, “Aku memiliki seorang tetangga yang 

selalu menggangguku.”

Maka, orang-orang melaknati si tetangga usil itu: 

“Ya Allah, laknatilah ia!”

Ketika si tetangga itu mengetahui apa yang terjadi, 

ia segera menemui laki-laki yang kerap ia sakiti dan 

berkata, “Pulanglah ke rumahmu! Demi Allah, aku tidak 

akan mengganggumu lagi!”

Nasihat Rasulullah Saw. itu benar-benar efektif, 

sehingga membuat si tetangga yang usil menyadari 

kesalahannya dan meminta maaf.

70. Cinta karena Allah

 Ketika seseorang mencintai orang lain, hendaklah ia 

menyampaikannya kepada orang yang dicintainya. 

Dan hendaklah keduanya membangun hubungan cinta 

semata-mata karena Allah Swt. Tentang hal ini Rasulullah 

Saw. bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya, 

hendaklah ia ungkapkan cintanya itu.” 

Saat itu, ada seorang laki-laki yang duduk di sisi 

Rasulullah Saw. Lalu, seorang sahabat lewat dan orang 

yang duduk berujar, “Wahai Rasulullah, aku mencintai ia.”

Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah sudah kaukatakan 

kepadanya cintamu itu?”

“Belum.”

“Sampaikanlah.”

Orang itu bangkit dan mendekati orang kedua lalu 

berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”

Ia menjawab, “Semoga Allah mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku demi ridha-Nya.

Senada dengan kisah di atas, suatu hari Rasulullah Saw. 
bersabda, “Seseorang pergi untuk menemui saudaranya 
di desa lain. Kemudian, Allah Swt. mengutus malaikat 
dalam rupa manusia untuk menghadangnya. Ketika 
bertemu orang itu, malaikat bertanya, “Mau ke mana 
kau?”
Ia menjawab, “Aku akan mengunjungi saudaraku 
yang tinggal di desa itu.”
“Apakah kau mengunjunginya karena suatu 
kebutuhan darinya?”
“Tidak, aku mengunjunginya sebab aku mencintainya 
karena Allah.”
Malaikat lalu berkata, “Sesungguhnya, aku adalah 
utusan Allah untuk menjumpaimu dan sesungguhnya 
Allah mencintaimu sebagaimana kau mencintai 
saudaramu karena Allah.”

69. Bekerjalah!

 Suatu hari seorang sahabat datang menghadap 

Rasulullah Saw. untuk meminta sedekah. Beliau 

bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?” 

“Ada,” jawabnya, “Kain yang sesekali dipakai dan 

sesekali dijadikan alas, dan sebuah cangkir untuk 

minum.”

“Bawalah kepadaku!” pinta Rasulullah Saw. 

Orang itu kemudian pulang ke rumahnya dan 

tak lama kemudian ia datang lagi membawa barangbarangnya.

“Siapa yang mau membeli barang-barangnya ini?” 

tanya Rasulullah Saw. kepada para sahabat lain.

“Aku akan membelinya seharga satu dirham,” jawab 

seorang sahabat.

“Adakah yang mau membeli dengan harga yang lebih 

tinggi?” pancing Rasulullah Saw.

“Aku akan membayarnya seharga dua dirham,” kata 

yang lain

Rasulullah Saw. memberikan kain serta cangkir itu 

kepada sahabat yang mengajukan penawaran tertinggi, 

mengambil uang darinya, kemudian memberikannya 

kepada orang pertama seraya berkata, “Ini uangmu. 

Satu dirham untuk membeli makanan untukmu dan 

keluargamu. Sisanya untuk membeli kapak. Carilah kayu 

bakar, kemudian juallah. Aku tidak ingin melihatmu lagi 

selama lima belas hari.”

Orang itu menjalankan nasihat Rasulullah Saw. 

Lima belas hari kemudian, ia datang lagi dan telah 

memiliki sepuluh dirham. Lima dirham ia belanjakan 

untuk membeli pakaian dan selebihnya untuk makanan 

bagi keluarganya.

“Ini lebih baik bagimu daripada kelak di Hari Kiamat 

kau bangkit dengan noda di wajahmu. Sesungguhnya 

noda itu hanya menempel pada wajah orang fakir yang 

hina. Mereka termasuk golongan orang yang sangat 

merugi,” kata Rasulullah Saw.

Lebih lanjut beliau bersabda, “Sungguh, jika salah 

seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul 

ikatan kayu itu maka itu lebih baik daripada memintaminta kepada orang lain, baik orang itu memberinya 

atau tidak.”

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...