Jumat, 21 Maret 2025

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah?


Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan tempat... 


Sa'ad gugur saat perang Badar.Sementara Khaitsamah gugur di medan Uhud , satu tahun kemudian.


Adz Dzahabi (Siyar A'lam Nubala) menyebutkan kisah Sa'ad dan ayahnya yg sama2 ingin bergabung dlm pasukan perang Badar.


" Biarkan aku yang berangkat. Kamu tetap tinggal di rumah untuk menjaga kaum wanita " ,

kata Khaitsamah kpd anaknya.


Sa'ad menolak. Tidak langsung mengiyakan. Bukan segera sepakat. Padahal urusan perang adalah urusan nyawa.


"Bila bukan surga urusannya, aku pasti mengalah",

kata Sa'ad kpd ayahnya.


Ayahnya pun tak mau mengalah. Ayahnya tetap bersikukuh berangkat.


Sama2 semangat....

Sama2 bersikeras untuk berangkat... Sama-sama tak mau ditinggal... Ayah dan anak sama2 senang beramal...


Ayah dan anak pun mengambil jalan tengah...

Caranya? Buat undian.


Rupanya, nama Sa'ad yg keluar. Beliau lalu berangkat kemudian gugur di medang perang Badar....


Satu tahun kemudian ayahnya, Khaitsamah, ikut dalam perang Uhud. Dan beliau termasuk yg gugur.


Radhiyallahu 'anhum.


Urusan surga memang prioritas bagi mereka yg beriman. Apapun dikorbankan asalkan dpt surga. Tiada yg dirasa berat dan tdk ada yg dianggap sebagai beban, jika sudah surga urusannya....


Prinsip mereka adalah ;

KALAU BUKAN SURGA URUSANNYA , AKU PASTI MENGALAH....


Artinya , kalau hanya persoalan dunia, hitung2an uang, bagi2 laba, cari untung, ketersinggungan pribadi,hal itu tidak jadi soal. Bukan satu problem. Berusaha untuk mengalah....


Tapi, kalau sudah surga urusannya, inginnya menjadi yg terdepan. Tak mau ketinggalan. Tak ingin dilewatkan.


Pernah dengar nama sahabat Abu Dahdah?


Beliau punya kebun dgn ratusan batang pohon kurma...


Satu ketika, ada dua orang bersengketa menemui Nabi Muhammad....


Mereka berdua hidup bertetangga. Masalah pagar atau pembatas tanah yg dipersoalkan.


Yg satu hendak membangun pagar. Yg lain memiliki satu pohon kurma. Untuk mendirikan pagar, pohon kurma itu mesti dihilangkan. Pohon kurma itu sudah ditawar supaya dijual saja. Ia yg akan membeli. Namun ditolak...


Nabi Muhammad berusaha menengahi dgn menjanjikan,

"Sudahlah, jual saja pohon kurma itu untuknya. Sebagai gantinya , engkau akan memiliki satu pohon kurma di surga"


Pemilik pohon kurma tetap enggan... 


Mendengar hal itu, sahabat Abu Dahdah justru yg terpanggil.


Kpd pemilik pohon kurma, Abu Dahdah menawarkan,

"Jual saja pohon kurma mu itu kepadaku, aku ganti dengan kebun kurma milikku"


Orang itu mau dan menerima tawaran Abu Dahdah. 


Disaksikan Nabi Muhammad, pohon kurma yg menghalangi pembangunan pagar itu dibeli oleh Abu Dahdah lantas diberikan kpd orang yg hendak membangun pagar.


Sementara kebun milik Abu Dahdah yg berisi ratusan pohon kurma diberikan kpd si pemilik pohon kurma...


Nabi Muhammad lantas memuji berulang-ulang ;


كَمْ مِنْ عِذْقٍ رَدَاحٍ لِأَبِي الدَّحْدَاحِ فِي الْجَنَّةِ


"Alangkah banyak tandan penuh kurma milik Abu Dahdah di surga"

(HR Ahmad dan dishahihkan Al Albani  dalam Ash Shahihah No.2964).


Kalau sudah surga urusannya jangan banyak pertimbangan...


Ayunkan kakimu...

Tinggalkan kehidupan  yg jauh dari agama...


Tidak usah ragu! Jangan bimbang...

Baarakallahu fiik.

114. Kedermawanan Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu

Pada awal hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin mengalami kesulitan air. Sebenarnya ada mata air yang mengeluarkan air tawar yang segar dan enak yang disebut Sumur Raumah. Sayangnya mata air ini dikuasai oleh orang Yahudi, yang menjualnya satu geriba air dengan segantang gandum. Kaum Muhajirin yang kebanyakan meninggalkan kekayaannya di Makkah tentu saja tak mampu membayarnya.


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengharapkan ada sahabat yang membeli telaga tersebut untuk kepentingan umat muslim, maka tampillah Utsman bin Affan memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada awalnya si Yahudi menolak menjualnya, maka Utsman bersiasat dengan membeli separuhnya saja. Si Yahudi setuju dengan harga 12.000 dirham, dengan pembagian, satu hari untuk Utsman dan satu hari untuk si Yahudi.


Ketika giliran waktu untuk Utsman, kaum muslimin dan masyarakat Madinah yang membutuhkan air dipersilahkan untuk mengambilnya dengan gratis dan tanpa batas. Karena itu mereka menampung untuk dua hari. Ketika tiba giliran waktu untuk si Yahudi, tak ada lagi orang yang membeli air darinya sehingga ia kehilangan pendapatannya dari telaga tersebut. Akhirnya ia menjual bagiannya tersebut kepada Utsman seharga 8.000 dirham, sehingga masyarakat Madinah bisa memperoleh air segar telaga tersebut kapan saja dengan cuma-cuma.


Ketika kaum muslimin di Madinah makin banyak dan masjid tidak lagi bisa menampung, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bermaksud melakukan perluasan dengan membeli tanah dan bangunan di sekitar masjid. Tampillah Utsman untuk merealisasikan maksud Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut, dan tanpa segan ia mengeluarkan 15.000 dinar. Begitupun setelah Fathul Makkah, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bermaksud memperluas Masjidil Haram dengan membeli tanah dan bangunan sekitar masjid, sekali lagi Utsman tampil memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan mengeluarkan sedekah 10.000 dinar.


Masih banyak lagi kisah kedermawanan Utsman sehingga tak heran jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, bahwa teman beliau di surga adalah Utsman bin Affan.


Satu peristiwa lagi di jaman Khalifah Abu Bakar, saat itu paceklik melanda kota Madinah, kaum musliminpun mengalami berbagai kesulitan. Ketika dilaporkan kepada Abu Bakar, ia berkata, "Insya Allah, besok sebelum sore tiba, akan datang pertolongan Allah…"


Pagi hari esoknya, datanglah kafilah dagang Utsman dari Syam yang penuh dengan bahan makanan pokok. Berkumpullah para pedagang, termasuk dari kaum Yahudi yang biasa memonopoli perdagangan bahan makanan, mereka berlomba melakukan penawaran. Utsman berkata, "Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?"


"Sepuluh menjadi dua belas." Kata seorang pedagang.


"Ada yang lebih tinggi?" Tanya Utsman.


"Sepuluh menjadi lima belas." Pedagang lain menawar. 


"Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pedagang Madinah berkumpul di sini?"


Utsman bertanya, "Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?"


"Apa ada yang mau membayar sebanyak itu?"


"Ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala…." Kata Utsman dengan tegas. Para pedagang itupun berlalu pergi, dan Utsman membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin Madinah dan mereka yang memerlukannya.

113. Sikap Umar atas Perjanjian Hudaibiyah

Ketika perjanjian Hudaibiyah disetujui antara pihak Quraisy dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sebagian besar orang-orang Islam merasa kecewa, Umar sempat berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah, dalam perjanjian itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih memihak pada kaum Quraisy. Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tanpa seijin walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka dia tidak boleh diminta untuk dikembalikan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.


Klausul ini tampak nyata "kerugiannya" ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk meminta perlindungan. Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin Amr, langsung meminta agar Abu Jandal, yang tidak lain anaknya sendiri, dikembalikan lagi kepadanya.


Walaupun dengan berbagai argumen, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal. Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tersebut dan membabatkan ke tubuh ayahnya, tetapi itu tidak dilakukan oleh Abu Jandal.


Sikapnya yang temperamental dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam setelah perjanjian ini dikukuhkan. Ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, "Ya Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?"


Nabi membenarkan.


"Bukankah korban meninggal di antara kita berada di surga, dan korban mati di antara mereka di neraka." Kata Umar lagi.


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam membenarkan lagi. Umar berkata lagi, "Lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan mereka.?"


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab, "Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan aku."


Bukan namanya Umar al Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu, ia berkata lagi, "Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi Ka'bah dan Thawaf disana?"


"Apakah aku pernah menjanjikan kita melakukannya tahun ini?" Kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.


"Tidak, Ya Nabi…!" Jawab Umar.


Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menegaskan, "Kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka'bah dan thawaf disana!!"


Walau tidak bisa lagi mendebat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan keresahan yang dirasakannya dan sebagian besar orang Islam lainnya. Tetapi Abu Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akhirnya ia menasehati Umar, "Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."


Tak lama berselang, turunlah wahyu Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Al Fath 


1). Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam membacakan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.


Berlalulah waktu, Umar menyadari apa yang dilakukannya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan tak habisnya ia menyesali sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya, "Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi dengan peristiwa itu, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai penebus sikapku saat itu)"



Rabu, 19 Maret 2025

112. Kisah keislamannya Umar Bin Khaththab Radhiyallahu Anhu

Hampir dipastikan semua umat Islam akan mengenal sosok Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu keberanian, keadilan, kecerdasan, sikap kritis, keras dan ketegasannya,sekaligus kelembutan, kesedihan dan mudah tersentuh, adalah dua kondisi berlawanan yang menyatu dalam pribadi Umar. Terutama keberaniannya, telah terkenal sejak dia belum memeluk islam, jagoan dan ahli berkelahi yang selalu memenangkan pertandingan adu kekuatan di Pasar Ukazh. Namun keberanian dan kekuatan ini pulalah yang akhirnya mengantarkan pada Hidayah Allah Subhanahu Wata’ala, ketika membentur keberanian dan kekuatan iman yang dimiliki adiknya, Fathimah binti Khaththab.


Kisah keislamannya ini berawal ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin Nafik dll.nya gagal membunuh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sementara dakwah islam semakin meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi, dan beribadah dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad, yang dianggapnya telah murtad dan memecah belah kaum Qureisy serta memaki dan menghina agama nenek moyangnya.


Umar pergi ke rumah Al Arqam, tempat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di tengah perjalanan ia bertemu Nu'aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Nu'aim justru mencela Umar, "Hendaknya engkau meluruskan urusan keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa'id bin Zaid telah mengikuti ajaran Muhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya."


Betapa geramnya Umar mendengar penjelasan Nu'aim bin Abdullah, dibelokkanlah langkahnya menuju rumah Sa'id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa'id juga ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur'an pada mereka. Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa'id membukakan pintu dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur'an.


Begitu melihat Sa'id, kemarahan Umar tidak bisa dibendung lagi, seolah kemarahannya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Dibentaknya Sa'id sebagai murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tapi dipukul oleh Umar pada wajahnya. Sungguh keadaan yang mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tersebut. Umar sudah menduduki dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan membunuhnya.


Namun tiba-tiba terdengar pekikan keras dari Fathimah, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah…!"


Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya…terkejut dan heran. 

Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering dilukiskan sebagai : "Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika berjalan, langkahnya cepat bagai dikejar orang, jika berkelahi maka pukulannya adalah pukulan maut yang mematikan."


Tetapi ternyata ada orang yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula, kekuatan apa yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang maha hebat, kekuatan iman…mulailah percik hidayah menghampirinya. 


Kemarahannya mereda, dimintanya lembar-lembar Al Qur'an yang dipegang Fathimah, tetapi sekali lagi jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik ketika adiknya tersebut. Berkata dengan tegas, "Tidak mungkin, ia tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci! Pergilah, mandilah dan bersuci..!!”


Bagai anak kecil yang penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang mengucurkan air. Diberikanlah lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 - 6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut dibacanya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya, "Tidak pantas bagi Allah yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?"


Sebuah pernyataan yang menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya dan berkata, "Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu, Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah untuk memperkuat Islam."


Khabbab mengantarkan Umar ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana ia ditemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Beliau memegang ujung baju Umar dan berkata,"Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!"


Umar pun bersyahadat, maka bertakbirlah para sahabat yang hadir, dengan takbir yang bisa didengar hingga sepanjang jalan di kota Mekkah, bahkan juga sampai ke Kakbah. Benarlah doa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka, tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang muslim.


Tidak seperti muallaf sebelumnya yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Diingatnya siapa yang paling memusuhi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar memberitahukan keislamannya, Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke rumahnya. Begitupun ketika diberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim, dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.


Ketika kembali kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati. Pendapatnya ini dibenarkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan beliau menyetujui keinginan Umar.


Beliau mengeluarkan orang-orang muslim dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpin Hamzah, yang telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan kelompok kedua dipimpin Umar sendiri.


Orang-orang musyrik hanya terpana tidak berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya, tampak jelas kesedihan di mata mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa beribadah dan membuat majelis di dekat Ka'bah, thawaf dan berdakwah, serta melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.



111. Baju Sang Anak Khalifah

Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi.


Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW.


Namun, di balik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.


Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman temannya karena bajunya jelek dan robek. 

Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.


Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya ? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. 


Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara). Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini):


“Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua.“


Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini:


“Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?“


Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.


Subhanallah, betapa hebat Ahlaq Islam & Sistem Negara Islam. Tetapi Kehebatan itu kini tengah didera fitnah.



110. Bayangannya ditakuti setan

Sayyidina Umar bin khattab merupakan salah satu dari empat khalifah Islam yang memiliki karakter tegas dan bijaksana. Ia ditakuti kaum Quraisy pada saat itu. Ia juga dijuluki Al-Faruq. Dilansir dari Oase.id, Setan memiliki beragam cara dan bentuk untuk memperdaya manusia. Bisikan setan tak mengenal waktu dan tempat, serta godaannya datang dari berbagi arah.

Namun demikian, ada sosok yang paling ditakuti oleh setan. Sosok tersebut adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Umar bin Khattab. Sementara itu, mengenai setan yang takut kepada Umar, disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dari Aisyah, Rasul bersabda: yang artinya: “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.” (HR. Ibnu ‘Asakir)

Selain hadis tersebut, ada hadis lain bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai Ibnu Al-Khaththab, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya tidaklah setan menemuimu sedang berjalan di suatu jalan kecuali dia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lalui.”

Dengan demikian diketahui bahwa setan sangat takut terhadap sosok manusia bernama Umar bin Khattab. Kewibawaannya begitu benderang, sehingga setan sangat enggan bertemu dengannya. Sebenarnya ada beberapa alasan setan begitu takut kepada Umar.

Berikut, 3 alasan Setan takut kepada Umar Bin Khattab:

1. Sayyidina Umar bin Khattab merupakan sosok yang kuat tdak hanya secara fisik, tetapi memiliki keimanan yang sangat kokoh. Keimanan Umar bin Khattab terhadap Allah dan Rasulullah luar biasa kuat.

2. Sayyidina Umar bin Khattab merupakan sosok yang sederhana dan rendah hati. Ia juga sosok yang tidak sibuk dengan urusan duniawi. Bahkan, Sayyidina Umar rela berkeliling mencari rakyatnya yang miskin dan menyedekahkan sebagian hartanya untuk kepentingan kaum muslimin.

3. Sayyidina Umar adalah salah satu sahabat yang sangat dicintai Nabi Muhammad SAW Umar dikaruniai kejelian dan kejernihan berpikir. Sering kali Sayyidina Umar memberikan ide dan gagasan kepada Rasulullah dalam sejumlah urusan.

Kejeniusannya melengkapi ketegasan dan kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Rasulullah SAW kemudian juga memuji Sayyidina Umar bin Khattab dengan mengatakannya sebagai salah seorang yang diberkahi Allah karena kerap mendapatkan ilham.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda:Artinya: “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila salah seorang umatku mendapatkannya, maka Umar bin Khatthab-lah orangnya.” (HR. Bukhari)



109. Berkirim Surat kepada Sungai Nil

Mesir ditaklukkan pasukan muslim dan Amr bin Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir. Suatu saat ia didatangi sekelompok penduduk sekitar sungai Nil karena sungai itu sedang kering. Mereka berkata, "Wahai Gubernur, saat ini sungai Nil sedang kering. Kami biasa melakukan suatu tradisi, dan sungai Nil itu tidak akan mengalirkan air kecuali jika kami memenuhi tradisi tersebut."


Waktu Amr bin Ash menanyakan tentang tradisi tersebut, mereka menjelaskan, bahwa setelah berlalu sebelas hari dari bulan tersebut, mereka mencari seorang gadis untuk dikurbankan. Mereka meminta kerelaan orang tuanya, kemudian gadis ini didandani dan diberi perhiasan yang paling indah, dan akhirnya dilemparkan ke sungai Nil sebagai persembahan. Jika semua itu dilakukan, biasanya Nil akan mengalirkan airnya lagi. 


Tentu saja Amr bin Ash melarang dilanjutkannya tradisi yang seperti itu, karena Islam menghancurkan tradisi-tradisi jahiliah yang merusak. Kembalilah penduduk sekitar Nil ini ke rumahnya masing-masing dan sungai itu tetap dalam keadaan kering, hingga hampir saja mereka memutuskan untuk pindah.


Melihat keadaan yang memprihatinkan masyarakat itu, Amru bin Ash mengirim surat pada Umar bin Khaththab dan menceritakan keadaan tersebut. Umar membalas surat Amr bin Ash dan membenarkan tindakan yang diambilnya untuk menghentikan tradisi kuno tsb. Selain itu Umar juga menyelipkan suatu surat lain, yang ditujukan untuk sungai Nil. Amr diminta untukmelemparkan surat tersebut ke dalam sungai Nil yang sedang kering. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut :


"Dari hamba Allah, Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, kepada hamba Allah Nil di Mesir, Amma Ba'du. Jika engkau mengalir dari dirimu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Namun jika Allah yang mengalirkan, maka mintalah kepada Dzat Yang Maha Kuat untuk mengalirkanmu."


Amr melemparkan surat tersebut ke sungai Nil pada malam harinya, sehari sebelum peringatan hari raya salib. Pada pagi harinya, sungai Nil telah terisi air sedalam enam belas hasta hanya dalam semalam, dan mengalir terus hingga sekarang. Sungguh dengan ijin Allah, tradisi kuno yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun telah dihancurkan oleh secarik surat Umar bin Khaththab.



108. Memperingatkan Pasukan Perang dari Mimbar Jum'at

Suatu ketika Umar bin Khaththab tengah berkhutbah di Masjid Madinah, tiba-tiba berseru lantang, "Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! gunung! Menjauhlah dari gunung! Barang siapa meminta srigala menggembalakan kambing, ia dzalim!"


Sesaat kemudian ia meneruskan khutbahnya. Tentu saja para jamaah jum'at saat itu saling berpandangan tak mengerti, apa maksud dari Amirul Mukminin dengan perkataannya tersebut. Usai shalat, Ali bin Abi Thalib menghampiri Umar dan menanyakan apa yang terjadi.


"Engkau mendengarnya?" Tanya Umar.


"Tentu saja, dan juga semua orang di dalam masjid!" Kata Ali.


Umar menjelaskan, kalau dengan hatinya ia melihat orang-orang musyrikin bersiap menyerang pasukan muslim melalui pundak-pundak mereka, mereka akan melewati gunung. Jika orang mukmin berpaling dari gunung, mereka dapat menyerang dan menang, tetapi jika mereka melintasi gunung, mereka yang akan hancur. Karena itu aku berteriak memperingatkan mereka.


Sebulan kemudian ada pembawa berita ke Madinah tentang kemenangan pasukan muslimin. Pada hari peperangan itu terdengar suara seperti suara Umar memperingatkan, "Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! Gunung ! Menjauhlah dari gunung!" Mereka mengikuti suara tersebut sehingga Allah memberi kemenangan kepada mereka.



107. Umar Menemukan Menantunya

Salah satu kebiasaan Umar bin Khathab saat menjadi khalifah, adalah berkeliling kota di waktu malam untuk mengetahui keadaan umat Islam. Ia khawatir kalau ada di antara mereka yang merasa terdzalimi karena kepemimpinannya, dan akan memberatkan hisabnya di akhirat.


Dalam salah satu perjalanannya menjelang fajar, ia mendengar pembicaraan seorang ibu dan anak. Ibunya meminta anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan dijual pagi harinya dengan air. Tetapi sang anak dengan tegas menolak dan berkata, "Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarangnya!"


Tetapi ibunya tetap saja menyuruh anaknya, karena kebanyakan penjual susu melakukan itu, apalagi Amirul Mukminin Umar bin Khathab tidak akan mengetahuinya. Tetapi putrinya itu bertahan untuk tidak mencampurinya dan berkata, "Jika Umar tidak melihatnya, pasti Tuhannya Umar melihatnya, aku tidak mau melakukannya karena sudah dilarang."


Umar begitu tersentuh dengan ucapan anak perempuan itu. Pagi harinya ia menyuruh putranya, Ashim untuk mencari tahu tentang keluarga tersebut, yang ternyata salah seorang dari Bani Hilal. Umar berkata pada anaknya, "Wahai anakku, nikahlah dengannya, sesungguhnya ia yang pantas melahirkan keturunan seorang penunggang kuda yang akan memimpin Arab."


Ashim memenuhi permintaan ayahnya tersebut menikah dengan anak gadis penjual susu. Dari pernikahannya itu, istrinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian dinikahi Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin adil dan jujur, tak ubahnya Khulafaur Rasyidin yang empat, walaupun ia tumbuh dan dewasa di kalangan Bani Umayyah yang mengagungkan kemewahan dan kekuasaan. Seorang pemimpin yang zuhud, sederhana dan wara' sebagaimana kakek buyutnya, Umar bin Khathab, sehingga ia sering disebut Khulafaur Rasyidin yang ke lima.


106. Gaji Umar bin Khathab sebagai Amirul Mukminin

Seperti halnya yang ia sarankan kepada Abu Bakar, setelah diba'iat sebagai khalifah, Umar tidak mungkin tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena itu ia mengumpulkan masyarakat Madinah seraya berkata pada mereka, "Dahulu aku berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, sekarang kalian telah memberiku kesibukan dalam menangani urusan ini, bagaimana aku akan memenuhi kebutuhan hidup keluargaku?"


Merekapun setuju memberikan tunjangan kepada Umar sebagaimana dahulu diberikan kepada Abu Bakar, tetapi berbagai usulan yang berbeda muncul dalam menentukan jumlahnya. Setelah berbagai perbedaan pendapat tanpa kepastian, Umar berpaling kepada Ali bin Abi Thalib, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ali?"


"Ambillah uang sekedar yang bisa memenuhi mencukupi kebutuhan keluargamu!!" Kata Ali.


Dengan senang hati, Umar menerima usulan Ali ini. Berlalulah waktu, Islam memperoleh kejayaan dimana-mana sehingga harta benda mengalir ke Madinah memenuhi Baitul Mal. Beberapa sahabat, di antaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah termasuk Ali bin Abi Thalib berkumpul dalam satu majelis untuk mengusulkan kenaikan tunjangan bagi Umar, karena tunjangan tersebut dinilai terlalu kecil, terlebih jika melihat begitu banyaknya kekayaan negara dalam Baitul Mal.


Kesepakatan tercapai, tetapi mereka takut untuk menyampaikan hal ini pada Umar. Karena itu mereka meminta tolong kepada Hafshah Radhiyallahu ‘Anha, putri Umar yang juga Istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, untuk menyampaikan usulan ini pada Umar, tetapi mereka berpesan agar merahasiakan nama-nama mereka. Ketika Hafshah mengemukakan usul ini, Umar menjadi marah.


"Siapa yang mengajukan usul tersebut?" Kata Umar dengan nada tinggi.


"Bagaimana pendapat dulu, ayah?" Kata Hafshah mengelak, karena ia telah berjanji untuk merahasiakannya.


"Seandainya aku tahu nama-nama mereka, niscaya aku pukul wajahnya," Kata Umar,


"Katakan padaku Hafshah, apakah pakaian terbaik Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang ada di rumahmu?"


"Sepasang pakaian berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum'at dan ketika menerima tamu…"


"Makanan apa yang paling lezat, yang pernah dimakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di rumahmu?" Tanya Umar lagi.


"Roti yang terbuat dari tepung kasar, yang dicelup ke dalam minyak. Suatu kali saya oleskan sisa-sisa mertega, dan beliau memakannya penuh nikmat dan membagi-bagikannya pada orang lain…"


"Alas tidur apa yang paling baik, yang pernah dipakai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di rumahmu?" Tanya Umar lagi.


"Sehelai kain tebal, yang pada musim panas dilipat empat, dan pada musim dingin dilipat dua, separuh dijadikan alas tidur, dan separuhnya lagi untuk selimut…" Kata Hafshah.


Umar kemudian berkata, "Sekarang pergilah, katakan pada mereka Rasulullah telah mencontohkan pola hidup seperti ini dan aku mengikuti beliau. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir yang menempuh suatu jalan. Musafir pertama telah sampai dengan perbekalannya, musafir kedua telah mengikuti jejak musafir pertama. Dan yang ketiga ini baru saja memulai perjalanannya, kalau ia mengikuti jejak keduanya, ia akan sampai kepada mereka, jika tidak maka ia tidak akan pernah bertemu mereka lagi."



105. Kisah Hudzaifah Bin Yaman Radhiyallahu Anhu

Hudzaifah bin Yaman adalah seorang sahabat yang secara khusus dididik Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengenal kemunafikan. Semua itu berawal karena kebiasaannya yang berbeda dalam mengajukan pertanyaan kepada Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Umumnya para sahabat bertanya tentang berbagai macam amal kebaikan dan pahala-pahala yang dijanjikan, dan mereka berlomba-lomba untuk melakukannya. Sementara Hudzaifah cenderung bertanya tentang berbagai macam amal keburukan/kejahatan dan bahaya-bahayanya, karena ia ingin menjauhinya sejauh-jauhnya.


Suatu ketika ia menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalam kebodohan (jahiliah) dan diliputi kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini bagi kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejahatan lagi?"


"Ada…!" Kata Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam.


"Apakah setelah kejahatan itu, masih adakah kebaikan lagi, ya Rasulullah?"


"Memang ada, tetapi keadaannya kabur dan penuh bahaya!!" Kata beliau lagi.


"Apa bahaya itu, ya Nabiyallah?"


"Yakni, segolongan ummat mengikuti sunnah yang bukan sunnahku, mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kenalilah mereka ini, ya Hudzaifah, dan cegahlah mereka semampumu…!!"


"Setelah kebaikan tersebut, masih adakah kejahatan lagi, ya Rasulullah??"


"Ada, yakni para penyeru di pintu neraka (yakni, yang mengajak kepada maksiat dan meninggalkan ibadah)…barang siapa menyambut seruannya, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka…!!"


"Apa yang harus saya lakukan jika menemui masa seperti itu, ya Nabiyallah?"


"Selalulah mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka!!"


"Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula pemimpin (yang sesuai teladanmu), ya Nabiyallah?"


"Hendaklah engkau tinggalkan semua golongan itu, walaupun engkau harus tinggal sendirian di rumpun kayu, sampai engkau menemui ajal dalam keadaan seperti itu…"


Keadaan dan kebiasaan Ibnu Yaman dalam meneliti dan mengamati kejahatan dan daya upayanya untuk menghindarinya, ternyata mendapat dukungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan beliau terus-menerus membimbingnya. Beliau mengajarinya bagaimana mengenali kemunafikan, dan juga menunjukkan orang-orang munafik yang ada saat itu. Namun beliau berpesan agar semua itu dirahasiakannya, sekedar untuk bahan bagi dirinya agar ia bisa menghindar dan tidak terjatuh dalam lingkaran pergaulan mereka.


Salah satu sahabat yang selalu memanfaatkan keistimewaannya ini adalah Umar bin Khathab. Sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jika ada orang muslim yang meninggal, Umar selalu mengamati sikap Hudzaifah. Jika ia tidak mendatangi atau tidak menyalatkannya, maka Umar akan melakukan hal yang sama. Tetapi Umar-pun melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, tidak mengekspose secara umum atau mengajak orang lain melakukan hal yang sama.


Ketika menjadi khalifah, Umar pernah mendatangi Hudzaifah dan bertanya, "Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat adanya kemunafikan dalam diriku..."


"Tidak ada, wahai Amirul Mukminin...!"


"Janganlah engkau sungkan mengatakannya..." Kata Umar.


"Sungguh tidak ada, hanya saja engkau masih menyimpan dua stel pakaian. Satu engkau pergunakan pada musim dingin, dan satunya lagi untuk musim panas....!!"


Mendengar penjelasan tersebut, Umar segera menyedekahkan satu stel pakaian yang masih disimpannya, walau sebenarnya Hudzaifah tidak menyebut hal itu sebagai tanda adanya kemunafikan dalam diri Umar.


Pengetahuan dan pemahaman tentang keburukan dan upaya kerasnya untuk menghindari, menyebabkan lidah dan kata-katanya tanpa disadarinya menjadi tajam, pedas dan kadang menyakitkan orang lain. Karena itu ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia berkata, "Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam kepada keluargaku, saya khawatir hal itu akan menjadi sebab saya masuk neraka….!" 


Sebenarnya sah-sah saja hal itu dilakukannya, asal dalam rangka 'amar ma'ruf wan nahi 'anil munkar. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyatakan, "Jihad terbesar adalah kata-kata (nasehat) yang benar, terhadap penguasa yang dzalim." Dan juga sabda beliau, "Katakanlah yang benar walaupun pahit didengar…!!"


Namun bagi Hudzaifah, yang terbiasa meneliti lahiriah dan batiniahnya suatu masalah, hal itu tetap menjadi ganjalan baginya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersenyum dan menanggapinya cukup sederhana, beliau bersabda, "Mengapa engkau tidak beristighfar? Sungguh saya beristighfar kepada Allah, setiap harinya seratus kali!!"




104. Kisah Ishaq Bin Abbad

 

Ishaq bin Abbad suatu ketika tidur dan bermimpi seseorang berkata kepadanya: "Tolonglah orang yang sedang berduka itu!".


Beliau bangun lalu bertanya ke orang-orang di sekitarnya, "Adakah tetangga kita yang butuh bantuan?" Mereka bilang, "Kami tidak tahu". Beliau kembali tidur lalu bermimpi bertemu orang yang sama untuk kedua dan ketiga kalinya, orang tersebut berkata, "Apakah kamu masih tidur sedangkan kamu belum menolong orang yang berduka itu?".


Beliau bangun dan membawa uang 300 dirham kemudian mengendarai bighalnya menuju masjid. Ketika beliau sampai, beliau melihat di mesjid hanya ada seorang laki-laki yang sedang salat. Ketika laki-laki itu merasa ada orang yang melihatnya, Ia pergi lalu Ishaq pun mendekatinya lalu berkata:


"Wahai hamba Allah, di waktu dan tempat seperti ini? Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu?"


Lelaki itu menjawab, "Aku punya modal 100 Dirham , kemudian itu semua habis sampai aku punya hutang 200 Dirham".


Kemudian Ishaq mengeluarkan 300 Dirham yang tadi dibawanya dan berkata, "Ini 300 Dirham, ambillah!".


Lelaki itu mengambil uang tersebut lalu Ishaq bertanya,"Apakah kamu mengenalku?"


Lelaki itu berkata, "Tidak".


"Aku Ishaq bin Abbad, kalau kamu butuh sesuatu, datanglah ke rumahku di tempat a."


Lelaki itu berkata,"Semoga Allah merahmatimu, kalau kami butuh sesuatu, kami mengadu kepada Dzat yang mengeluarkanmu di waktu seperti ini dan mendatangkanmu kepada kami".




103. Kisah Rafi’ Bin Amirah Bin Jabir Radhiyallahu Anhu

Rafi' bin Amirah bin Jabir tengah mengembalakan kambing, ketika seekor serigala berhasil menerkam salah satu kambing gembalaannya yang paling besar. Rafi' pun berjuang melepaskan kambingnya dari terkaman serigala tersebut, sambil berkata, "Mengherankan, bagaimana mungkin serigala mau membawa buruan yang lebih besar dari dirinya sendiri?" 


Setelah berhasil membebaskan kambing tersebut dari cengkeraman serigala, tanpa disangka serigala itu berkata, "Lebih mengherankan lagi kamu, kau ambil dariku rezeki yang ditakdirkan Allah untukku."


Ibnu Amirah sangat terkejut dan berkata, "Sungguh mengherankan serigala bisa berbicara."


Ternyata serigala itupun masih berbicara lagi, "Lebih mengherankan lagi orang yang keluar dari Tihamah, ia mengajak kalian ke surga namun kalian enggan, justru kalin ingin masuk neraka."


Rafi' bin Amirah memang telah mendengat tentang risalah agama baru, yakni Islam yang dibawa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Karena itu begitu mengalami peristiwa mengherankan dimana serigala bisa berbicara, bahkan membenarkan kenabian Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam, segera ia datang kepada beliau. Sementara Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah memperoleh berita tentang Ibnu Amirah tersebut dari Jibril Alaihi Salam. Karena itu, begitu Rafi' tiba di hadapan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan belum sempat menceritakan apa yang dialaminya, beliau telah mendahului menceritakan pengalamannya dengan serigala yang berbicara tersebut, sehingga tanpa keraguan lagi, ia pun membenarkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan masuk Islam.



102. Keimanan Abu Bakar

Sesampainya di bumi dari perjalanan Isra Miraj Nabi saw bertemu dengan sekelompok kafilah dagang Quraisy yang sedang dalam 

perjalanan dari Syam menuju Mekkah. Nabi melihat satu unta mereka lari dari rombongan sehingga sebagian mereka mengejarnya. Nabi Muhammad saw juga melihat seekor unta merah yang patah kakinya. Nabi mengucapkan salam kepada mereka, dan tiba-tiba mereka merasa heran sambil berkata, “Itu seperti suara Muhammad”. Nabi Muhammad saw menemukan dua kendi air mereka yang berisi penuh, dan Nabi saw pun 

meminum air pada salah satu dari kedua kendi tersebut kemudian meletakkannya kembali di tempat semula. 

Menjelang subuh nabi Muhammad saw telah sampai di masjid al-Haram di dekat dua pamannya Hamzah dan 

Ja’far yang tadi ditinggalkannya dalam keadaan tertidur. 

Ketika pagi datang, nabi duduk bermenung di 

dekat masjid al-Haram sambil kebingungan seakan sedang memikul beban yang berat. Beliau kebingungan memikirkan cara bagaimana mengumpulkan kaum Quraisy dan menceritakan perjalanan yang baru saja 

dilakukannya. Nabi saw juga ragu apakah mereka akan menerima dan membenarkan cerita perjalanannya. 

Ketika itulah datang Abu Jahal bertanya kepada beliau, 

“Ya Muhammad! Saya melihat engkau seakan memikul beban yang sangat berat? Adakah sesuatu beban yang 

memberatkan hatimu?” Nabi Muhammad saw

menjawab, “Betul, wahai Paman! Saya tadi malam 

diperjalankan Allah SWT dari Masjid al-Haram ke Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis saya diajak berjalan naik 

hingga langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Perjalanan itu saya lakukan dalam waktu kurang dari satu malam”. 

Abu Jahal melihat ini sebagai kesempatan emas untuk mempermalukan nabi Muhammad SAW. Diapun berkata, “Maukah engkau saya kumpulkan penduduk Mekkah dan engkau ceritakan kepada mereka apa yang engkau ceritakan kepadaku?”. Nabi Muhammad saw 

dengan senang hati berkata, “Ya, tentu saja boleh paman”. Maka Abu Jahal segera mengumpulkan penduduk Mekkah untuk mendengarkan cerita nabi Muhammad melakukan perjalanan yang tidak masuk 

akal dengan tujuan mengolok-olok nabi Muhammad saw.

Setelah orang-orang berkumpul, nabi Muhammad memulai ceritanya seperti yang diceritakannya kepada 

Abu Jahal. Mendengar cerita nabi Muhammad saw yang melakukan perjalanan dari Makkah ke Palestina dan ke 

langit hingga sidratul muntaha dan kembali lagi ke bumi hanya dalam waktu yang singkat semua tertawa 

dan mengolok nabi Muhammad SAW. Sebagian berkata, 

“Wahai Muhammad! Apakah engkau sudah gila, bukankah engkau tahu bahwa perjalanan dari Mekkah ke Baitul Maqdis saja harus ditempuh dalam waktu satu bulan? Lalu bagaimana mungkin dalam semalam engkau 

bisa berjalan sejauh itu dan kembali lagi ke Mekkah”.

Ketika keributan itu terjadi, datanglah Abu Bakar dan mereka bertanya kepada Abu Bakar tentang berita yang baru disampaikan nabi Muhammad saw kepada mereka.

Abu Bakar dengan tenang menjawab, “Saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah benar”. Tidak puas dengan cerita nabi Muhammad saw 

merekapun sepakat ingin menguji nabi Muhammad SAW

dengan beberapa pertanyaan yang bertujuan untuk 

mempermalukan beliau. Salah satu dari mereka berkata, 

“Wahai Muhammad! Jika benar engkau sampai di baitul Maqdis, maka ceritakanlah kepada kami gambaran 

masjid al-Aqsha, bentuk bangunannya, dan jumlah pintunya”. Awalnya nabi kesulitan untuk menjawab 

karena memang nabi Muhammad SAW ketika melakukan perjalanan ke sana tidak sempat memperhatikan detail 

masjid al-Aqsha tersebut. Tiba-tiba malaikat Jibril datang dan memperlihatkan setiap sisi masjid al-Aqsha kepada nabi Muhammad SAW. Dengan mudah akhirnya 

nabi Muhammad bisa menjelaskan dengan sangat rinci gambaran masjid al-Aqsha kepada penduduk Mekkah 

sesuai pertanyaan mereka. Ternyata jawaban Nabi saw tidak membuat mereka percaya begitu saja, dan merekapun meminta 

bukti lain. Salah satunya bertanya lagi, “Jika memang engkau dari palestina pastilah engkau bertemu dengan 

kafilah dagang yang sedang menuju Makkah. Coba anda jelaskan keadaan mereka kepada kami”. Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ya, saya memang berpapasan dengan mereka. Saya melihat salah satu unta mereka lari dan keluar dari rombongan dan 

merekapun mengejarnya. Salah satu unta mereka yang berwarna merah patah kakinya. Saat mereka beristirahat 

dan meletakkan kendi air minum mereka di tanah, salah satunya saya minum dan saya letakkan kembali di tempat semula”. Mereka bertanya, “Hai Muhammad! Kira-kira 

kapan mereka akan sampai di Mekkah?”. Nabi Muhammad SAW menjawab, “Mereka akan masuk kota Mekkah pada hari Rabu”. 

Penduduk Mekkah pun menunggu kedatangan 

kafilah tersebut untuk membuktikan kebenaran cerita nabi Muhammad saw tentang mereka. Sore hari rabu ternyata mereka belum juga memasuki kota Makkah. Di saat itulah Allah swt kemudian menahan matahari untuk 

terbenam, sehingga siang lebih lama sampai satu jam.Sore hari Rabu itu kafilah dagang yang diceritakan memasuki kota Mekkah. Merekapun ditanya apa yang 

terjadi dalam perjalanan menuju Mekkah dari Palestina. Mereka menceritakan sama seperti cerita nabi 

Muhammad, di mana salah satu unta mereka lari dan memisahkan diri lalu merekamengejarnya. Unta mereka yang merah kakinya patah, serta salah satu kendi air 

minum mereka yang ketika diletakkan penuh tiba-tiba menjadi kosong. Merekapun bercerita sepertinya ada suara Muhammad malam itu yang mengucapkan salam kepada mereka. 

Mendengar cerita kafilah ini yang sangat sesuai 

dengan cerita nabi Muhammad tentang mereka, beramai-ramai mereka berkata bahwa ini adalah salah 

satu bentuk sihirnya Muhammad. Begitulah bahwa kaum Quraish masih belum bisa menerima kebenaran yang disampaikan nabi Muhammad saw kepada mereka sekalipun dengan bukti yang kuat dan tidak terbantahkan. Bahkan, sebagian yang sudah beriman menjadi murtad karena suit menerima cerita yang 

disampaikan Nabi saw. Sehingga, wajar Allah 

mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah ujian iman bagi manusia seperti disebutkan dalam surat al-Isra’ [17]: 60 


Artinya: “dan tidaklah kami jadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada engkau kecuali ujian bagi manusia..”


Namun demikian, ketika mereka beramai-ramai 

bertanya kepada Abu Bakar tentang apa yang 

diceritakan Nabi Muhammad saw kepada mereka, Abu Bakar dengan lantang menjawab, “Saya percaya semua yang dikatakan Muhammad, bahkan lebih dari itupun saya percaya”. Demikianlah Abu Bakar yang menerima secara mutlak semua yang diceritakan Nabi SAW tentang 

perjalanan yang maha dahsyat ini sekalipun menurut ukuran akal tidak logis, karena dia menerimanya dengan 

keimanannya.


101. Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam

Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada makanan untuk kusantap hari ini?”


Fathimah berkata, “Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”


“Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.


“Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”


Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan husnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padang pasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu??”

Miqdad berkata, “Wahai Abul Hassan, Janganlah menggangguku. Janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”


Ali berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”


“Baiklah kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”


Miqdad enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!!”


Miqdad menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam??”


Pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Karena ia diam saja, beliau bersabda lagi, “Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”


“Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”


Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”


Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata, “Subhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”


Ali berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”


Fathimah menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”


Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda, “Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!!”


Sesaat kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”



100. Kisah Utbah Bin Ghazwan Radhiyallahu Anhu

Utbah bin Ghazwan adalah sahabat muhajirin, dan termasuk dalam kelompok awal yang memeluk Islam (As sabiqunal awwalin). Ia sempat berhijrah ke Habasyah karena begitu kerasnya tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Walau suasana tenang dan terlindungi untuk beribadah di sana, tetapi ia memilih untuk kembali ke Makkah karena kerinduannya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tidak masalah kalau hari-harinya dalam kesulitan, siksaan dan teror asal setiap saat ia bisa bertemu dan bergaul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Seperti kebanyakan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam kelompok as sabiqunal awwalin, Utbah tidak ingin tertinggal dalam perjuangan menegakkan panji-panji Islam bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Pola hidupnya juga tak jauh berbeda dengan beliau, tekun beribadah, menjauhi kemewahan hidup duniawiah dan tidak mencari jabatan. Dalam kebanyakan pertempuran yang diterjuninya, ia hanyalah seorang prajurit biasa yang mempunyai keahlian dalam memanah dan melemparkan tombaknya.


Tipikal orang-orang seperti Utbah itulah yang dicari oleh khalifah Umar untuk mendukung pemerintahannya. Tidak ayal lagi, Umar memilih Utbah bin Ghazwan untuk memimpin pasukan untuk menaklukan kota Ubullah, sebuah daerah di perbatasan yang sering dijadikan batu loncatan tentara Persia untuk menyerang wilayah Islam. Pada mulanya Utbah menolak keras menjadi pemimpin, dan lebih memilih menjadi prajurit biasa dalam pasukan itu. Tetapi keputusan Umar memang tidak bisa ditawar lagi, sehingga ia berangkat dalam pasukan itu sebagai komandan untuk pertama kalinya.


Ternyata tidak terlalu sulit bagi Utbah menaklukan Ubullah, karena penduduknya sendiri lebih banyak mendukung kedatangan pasukan muslim, sehingga lebih mudah mengalahkan dan mengusir pasukan Persia dari wilayah tersebut. Memang, pasukan Persia selama itu lebih banyak menyengsarakan penduduk Ubullah daripada melindunginya. Di tempat tersebut, Utbah dan pasukannya dengan didukung penduduk setempat melakukan pembangunan kota, tentunya dengan bercirikan keislaman dengan masjid besar menjadi pusat kotanya. Kota ini kemudian dikenal dengan nama Bashrah, dan secara otomatis Utbah menjadi wali negerinya.


Setelah pemerintahan berjalan lancar, Utbah bermaksud kembali ke Madinah dan menyerahkan kendali kota kepada sahabat-sahabatnya. Sungguh, jabatan yang dipegangnya itu membuat hidupnya tidak nyaman. Apalagi perkembangan kota yang dipimpinnya makin pesat saja, seolah menjadi "pesaing" kemewahan yang ditampilkan oleh kota-kota lainnya di wilayah Persia. Jiwa zuhud, wara dan sederhana sebagai hasil didikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seolah memaksanya untuk "melarikan-diri" dari semua itu. Tetapi ketika ia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, khalifah Umar menolak, bahkan menentang keras keputusannya. Terpaksalah Utbah menjalankan lagi tugasnya tersebut.


Utbah bin Ghazwan menyibukkan dirinya dengan membimbing penduduk Bashrah tentang kewajiban-kewajiban agama, menjalankan ibadah, menegakkan hukum dengan adil, dan tentu saja yang tidak ketinggalan, menerapkan jiwa zuhud, wara dan sederhana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tentu saja sikapnya ini tidak seratus persen mendapat dukungan, bahkan penentangan secara terang-terangan kadang terjadi. Karena itu ia sering berkata, "Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai salah seorang dari kelompok tujuh, yang tidak punya makanan kecuali hanya daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami menjadi pecah-pecah dan luka."


Ia juga pernah berkata, "Suatu hari aku memperoleh hadiah baju burdah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan baju itu kupotong jadi dua. Sepotong untuk dipakai Sa'ad bin Malik dan sepotong untukku sendiri…..!!"


Begitulah cara Utbah mengajarkan pola hidup yang dipeganginya, semuanya disandarkan dan dikembalikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tentu, bagi pemeluk Islam belakangan yang tidak sempat hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan tidak mengalami masa-masa sulit mempertahankan keimanan dan keislaman, hal-hal tersebut terasa mustahil, seperti dongeng saja dan bukan kenyataan. Bagaimanapun juga, suasana dan pengaruh magnetis yang dipancarkan dari sosok Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bisa memotivasi seseorang berbuat sesuatu yang di luar nalar, seolah di bawah kendali kekuatan ghaib yang bernama keimanan.


Orang-orang tersebut terus mendorongnya untuk merubah pola hidupnya, dan seakan ingin menyadarkan kedudukannya sebagai seorang penguasa muslim. Keteguhan sikapnya dalam zuhud dan kesederhanan seolah-olah mencoreng ‘nama-baik’ Islam di antara penguasa lainnya seperti Persia dan Romawi. Tetapi dengan tegas Utbah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari sanjungan orang-orang terhadap diriku karena kemewahan duniawi, yang sesungguhnya nilainya sangat kecil di sisi Allah…!!"


Ketika tampak sekali ekspresi wajah-wajah tidak sepakat dengan pendiriannya tersebut, ia berkata lagi, "Besok atau lusa, kalian akan menjumpai dan melihat amir (yang kalian inginkan itu), menggantikan diriku!"


Pada suatu musim haji, ia menyerahkan pimpinan pemerintahan Bashrah kepada sahabatnya dan ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Usai haji, ia pergi ke Madinah dan menghadap Khalifah Umar, dan mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan wali negeri Bashrah. Tetapi seperti bisa diduga, Umar menolak dengan tegas keinginannya tersebut, dengan ucapannya yang sangat terkenal, "Apakah kalian membai'at aku dan menaruh amanat khilafah di pundakku, kemudian kalian meninggalkan aku dan membiarkan aku memikulnya seorang diri? Tidak, demi Allah tidak kuizinkan kalian melakukan itu!!"


Kalaulah tipikal amir atau wali negeri itu suka bermewah-mewahan dengan harta duniawiah, tidak perlu diminta, Umar akan segera memecatnya seperti terjadi pada Muawiyah ketika menjabat amir di Syam. Terpaksalah Utbah harus meninggalkan Madinah, kota Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang selalu menjadi kerinduannya, dan kembali ke Bashrah yang justru sangat ingin dihindarinya karena harus memegang jabatan wali negeri di sana. Tampak keresahan dan kegamangan melingkupi wajahnya. Sebelum menaiki tunggangannya, ia menghadap kiblat dan berdoa, "Ya Allah, janganlah aku Engkau kembalikan ke Bashrah, janganlah aku Engkau kembalikan kepada jabatan pemerintahan selama-lamanya….!!"


Ternyata Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan permintaannya. Walaupun ia tidak mengingkari perintah khalifah Umar untuk kembali ke Bashrah, tetapi dalam perjalanan kembali tersebut, Allah berkenan memanggilnya ke haribaan-Nya, menghindarkan dirinya dari kegalauan dan keresahan jiwa karena memegang jabatan wali negeri. Sebagian riwayat menyebutkan ia terjatuh dari tunggangannya ketika belum jauh meninggalkan kota Madinah. Tampaknya ia tidak ingin dipisahkan lagi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terlalu jauh.



99. Kisah Abdurrahman Bin Auf Radhiyallahu Anhu

Abdurrahman bin Auf termasuk dalam kelompok sahabat as Sabiqunal Awwalun, ia memeluk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan, yakni lewat perantaraan Abu Bakar ash Shiddiq. Ia juga termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. Sembilan orang lainnya adalah empat khalifah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘Anhuma.


Abdurrahman bin Auf termasuk seorang sahabat yang selalu berhasil dalam perniagaannya, sehingga hartanya selalu berlimpah. Apapun bidang usaha yang ditekuninya selalu memberikan keuntungan, sehingga ia sempat takjub atas dirinya sendiri, dan berkata, "Sungguh mengherankan diriku ini, seandainya aku mengangkat batu tentulah kutemukan emas dan perak di bawahnya."


Namun kekayaannya yang melimpah tidak menjadikannya takabur. Orang yang belum pernah mengenalnya, bila bertemu untuk pertama kali, mereka tidak akan bisa membedakan antara dirinya sebagai tuan dan pelayan/pegawainya, karena kesederhanaan penampilannya.


Pernah ia dipusingkan dengan hartanya yang begitu berlimpah sehingga ia begitu gelisah dan tidak bisa tidur. Istrinya yang bijak dan penuh keimanan memberikan saran yang bisa menentramkan hatinya. Sang istri berkata, "Hendaknya hartamu engkau bagi tiga, dengan sepertiganya, engkau carilah saudaramu seiman yang berhutang dan lunasilah hutang mereka. Sepertiganya lagi, carilah saudaramu seiman yang memerlukan uang dan berilah mereka pinjaman. Dan sepertiganya lagi, engkau pakai sebagai modal perniagaanmu…" 


Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyeru agar umat Islam bersedekah untuk mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 200 uqiyah atau 8000 dirham. Umar bin Khaththab mengadukan sikap Abdurrahman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena tidak menyisakan apapun untuk keluarganya, sedangkan ia sendiri menyedekahkan separuh hartanya sebanyak 100 uqiyah, separuhnya lagi ditingalkan untuk keperluan keluarganya.


Karena pengaduan Umar ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggilnya, kemudian bertanya, "Wahai Abdurrahman, apakah engkau meninggalkan sesuatu untuk keluarga yang engkau tinggalkan!"


"Benar, ya Rasulullah!" Kata Abdurrahman, "Aku telah meninggalkan untuk keluargaku sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak daripada apa yang kusedekahkan!"


"Berapa?" Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya.


"Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya!"


Rasulullah Shallallahu’

 ‘Alaihi Wasallam membenarkan sikapnya dan menerima alasan Abdurrahman tersebut.


Suatu hari, beberapa tahun setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, terdengar suara bergemuruh dan debu mengepul menuju kota Madinah, seolah-olah ada pasukan yang sedang menyerbu kota Madinah. Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, "Apa yang sedang terjadi di kota Madinah ini?”


Seseorang menjelaskan bahwa kafilah dagang Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam, sebanyak 700 kendaraan penuh dengan barang yang bermacam-macam. Masyarakat Madinah menyambut dengan gembira kedatangan kafilah tersebut karena mereka pasti akan ikut merasakan manfaatnya. Mendengar penjelasan tersebut, Aisyah tercenung sesaat seolah-olah mengingat sesuatu, kemudian ia berkata, "Aku ingat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. Ini yang mungkin dimaksud beliau…."


Sebagian riwayat menyebutkan, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang dirinya tersebut dengan redaksi yang berbeda, yakni : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak, dan beberapa redaksi lainnya yang intinya adalah ia “tertunda” karena terlalu banyaknya harta kekayaannya. Walaupun ia memperoleh harta kekayaannya dengan jalan halal dan membelanjakan atau mengeluarkan dengan jalan halal pula, tetapi ia harus melewati hisab yang tentunya lebih lama dibanding sahabat-sahabat as Sabiqunal Awwalin lainnya.


Sebagian sahabat yang mendengarkan ucapan Aisyah tersebut menyampaikan ucapan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf. Ia segera ingat, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memang pernah bersabda seperti itu, dan ia juga ingat bahwa beliau memberitakan, bahwa pertanyaan akhirat tentang umur dan ilmu hanya satu, tetapi tentang harta ada dua, bagaimana mendapatkannya dan dimana/bagaimana membelanjakannya? 

Sebelum sempat barang perniagaannya diturunkan dari kendaraan, ia bergegas menemui Aisyah, dan berkata, "Anda telah mengingatkanku akan hadits, yang sebelumnya tak pernah kulupakan. Dengan ini saya memohon dengan sangat anda menjadi saksi, bahwa kafilah dagang dan semua muatan berikut kendaraan dan perlengkapannya kubelanjakan di jalan Allah Subhanahu Wata’ala."


Sewaktu ia sakit keras menjelang ajalnya, Aisyah mendatanginya dan menawarkan agar jenazahnya nanti dimakamkan di halaman rumahnya, sehingga berdekatan dengan makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Bakar dan Umar yang ada di dalam rumahnya. Tetapi ia memang seorang yang rendah hati, ia merasa malu diberikan penghargaan yang setinggi itu, ia memilih untuk dimakamkan didekat makam sahabatnya yang telah mendahuluinya, Utsman bin Madz'um Radhiyallahu ‘Anhu di Baqi.


Pada detik-detik terakhir nyawanya akan dicabut, ia sempat menangis dan berkata, "Aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ini…"


98. Jangan kau tuntut aku di hari Kiamat kelak

Hari Kiamat adalah hari yang besar. Hari dimana orang taat dan pelaku maksiat keduanya menyesal. Mereka yang taat menyesal, kenapa dulu tidak beramal lebih banyak dari apa yang telah dilakui. Pelaku maksiat, sesal mereka adalah sesal yang tak terperi. ‘Sekiranya kami dulu mendengarkan dan merenungi, tentu kami tidak menjadi penghuni neraka ini’, kata mereka.


Ada sebuah kisah, yang mengingatkan kita akan besarnya pertanggung-jawaban di hari Kiamat. Kisah tersebut tentang sahabat Nabi ﷺ yang bernama Abu Darda radhiallahu ‘anhu dengan seekor ontanya.


Abu Darda memiliki seekor onta yang ia beri nama Damun. Tidak pernah ia letakkan suatu barang yang tidak mampu dibawa oleh onta itu. Apabila ada seorang yang meminjam si onta, Abu Darda berpesan, ‘Engkau hanya boleh membawa barang ini dan ini padanya, karena ia tidak mampu membawa yang lebih banyak dari itu’.


Ketika serasa ajal hendak datang menjemputnya, Abu Darda memandang ontanya kemudian berkata, “Wahai Damun, jangan kau musuhi aku esok di hadapan Rabbku”, jangan kau tuntut aku pada hari Kiamat kelak di hadapan Rabbku wahai Damun, begitu kiranya kata Abu Darda. “Karena demi Allah, aku tidak pernah membebankan kepadamu kecuali yang engkau sanggupi”, tutupnya.


Semoga Allah ﷻ meridhai Abu Darda, dan mengampuni kesalahannya.


Tentu kita teringat akan diri kita. Suami akan teringat kepada istrinya, dan istri merenungkan adakah kata yang telah membebankan suami.


Adakah kita sebagai suami memberi beban yang tidak mampu diemban istri?


Adakah kita sebagai istri menuntut sesuatu yang terasa berat bagi suami?


Adakah kita mengusahakan sesuatu di dunia ini, yang nanti kita akan menyesali “Seandainya dulu aku tidak melakukan hal ini…”


Abu Darda radhiallahu ‘anhu, seorang yang shaleh, menghisab dirinya atas ontanya, tentu kita lebih layak lagi berkaca dan mengoreksi diri.


Wahai Damun, jangan kau musuhi aku esok di hadapan Rabbku. Karena demi Allah, aku tidak pernah membebankan kepadamu kecuali yang engkau sanggupi.



97. keimanan dan ketakwaan seorang pemuda

Dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah menuturkan kisah heroik tentang keimanan dan ketakwaan seorang pemuda yang berpengaruh besar terhadap suatu kaum. 

Para mufasir menceritakan kisah tentang pemuda ini ketika menafsirkan firman Allah: 


Binasalah orang yang membuat parit (yaitu para 

pembesar Najran di Yaman). Yang berapi (yang punya) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang mukmin itu hanya karena (mereka) beriman kepada Allah yang Mahaperkasa dan Maha Terpuji. (QS Al-Burûj [85]: 4-8)


Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang m mempunyai seorang penyihir. Ketika usia si penyihir itu beranjak makin tua, ia berkata kepada raja, “Paduka, usiaku makin renta. Untuk menyiapkan penggantiku, datangkan 

padaku seorang anak muda yang akan kuajari dan kulatih berbagai ilmu sihir.” Raja mengabulkan permintaannya, 

kemudian ia memilih seorang anak muda yang dianggap paling berbakat untuk diajari ilmu sihir.

Keesokan harinya mulailah pemuda itu belajar sihir di rumah si penyihir itu. Setiap pagi anak muda itu berangkat dari rumahnya menuju rumah si penyihir. 

Namun, dalam perjalanannya menuju rumah si penyihir, ia melewati tempat seorang pendeta yang sedang berceramah. Ia merasa tertarik pada si pendeta itu sehingga ia berhenti dan mendengarkan ceramahnya. 


Begitulah hari-hari yang dilalui anak muda itu. Setiap pagi ia pergi dari rumahnya, berjalan, berhenti dan mendengarkan ceramah si pendeta, lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah ahli sihir untuk mempelajari sihir. 

Karena sering terlambat datang, si penyihir 

memukul anak muda ini. Keesokan harinya, anak muda itu mengadukan kepada pendeta apa yang dialaminya kemarin. Si pendeta menasihatinya: “Jika kau takut kepada si tukang sihir, katakanlah kepadanya: ‘Aku ditahan keluargaku sehingga terlambat datang.’ Dan jika 

kamu merasa takut kepada keluargamu, katakanlah, ‘Aku ditahan oleh si tukang sihir.’”

Suatu hari, anak muda itu melihat binatang besar yang menghalangi jalan orang-orang. Maka, ia berkata, 

“Ini kesempatan bagiku untuk mengetahui, mana yang lebih baik, ilmu yang diajarkan sang penyihir ataukah ajaran sang pendeta?” 

Lalu ia mengambil batu dan berdoa, “Ya Allah, jika si pendeta itu lebih Engkau sukai daripada si tukang sihir, bunuhlah binatang ini agar orang-orang bisa lewat.” Kemudian, ia lemparkan batu di tangannya kepada binatang itu dan binatang itu mati. Maka, orang-orang bisa melewati jalanan itu dengan aman dan leluasa.

Keesokan harinya si anak muda menceritakan 

kejadian tersebut kepada si pendeta. Sang pendeta berkata, “Anakku, kini kau lebih baik dibanding aku. Menurutku, kelak kau akan mendapat cobaan. Jika kau mendapat cobaan, jangan sebutkan namaku kepada siapa pun!”

Allah menganugerahkan karunia yang besar kepada anak muda itu sehingga ia memiliki kemampuan mengobati yang luar biasa. Dengan izin Allah, ia bisa menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan penyakit-penyakit lain.


Suatu hari salah seorang teman raja yang tidak bisa melihat mendengar kabar tentang keahlian anak muda itu. Maka, ia bergegas pergi menemui anak muda itu sambil membawa berbagai hadiah yang berharga. Setelah 

bertemu, ia berkata, “Jika kau dapat menyembuhkanku, kuberikan semua hadiah ini kepadamu!” Anak muda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan siapa-siapa. Sesungguhnya hanya Allah yang menyembuhkan. Jika Tuan mau beriman kepada 

Allah, aku akan mendoakan kesembuhan untukmu.” 

Akhirnya, teman raja itu menyatakan keimanannya kepada Allah. Lalu, anak muda itu mendoakan kesembuhannya dan Allah mengabulkan doanya sehingga 

teman sang raja itu bisa melihat kembali.

Setelah pandangannya pulih seperti semula, ia 

datang menemui raja sebagaimana biasanya. Tentu saja sang raja heran melihat temannya yang kini telah sembuh dan bisa melihat kembali. Sang raja bertanya, 

“Siapa yang telah berhasil memulihkan penglihatanmu?”

Temannya itu menjawab, “Tuhanku.” 

Raja kembali bertanya, “Apakah kau punya tuhan 

selain diriku?” “Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu,” tegasnya.

Tentu saja sang raja murka sehingga ia menyiksa temannya itu seraya menekannya agar berterus terang, siapa yang telah memengaruhi dan membuatnya beriman kepada Tuhan selain dirinya. 

Akibat tekanan dan siksaansang raja serta para pengawalnya, ia bercerita tentang ajaran yang diterimanya dari si anak muda murid sang 

penyihir. Mendengar penuturan temannya itu, sang raja langsung memerintahkan para pengawal untuk menangkap si anak muda dan menyeretnya ke istana.Ketika anak muda itu tiba di istana, sang raja bertanya, “Anakku, kemampuan sihirmu sungguh hebat. 

Kau telah mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan penyakit lainnya.” 

Anak muda itu menjawab, “Aku tidak bisa 

menyembuhkan penyakit apa pun. Satu-satunya yang bisa menyembuhkan adalah Allah.” 

Raja murka mendengar ucapan anak muda itu 

sehingga ia disiksa dengan siksaan yang sangat keras. Ia dipaksa menyebutkan orang yang telah memengaruhinya dan membuatnya beriman kepada Tuhan selain sang raja. 

Setelah mendapat berbagai macam siksaan, 

akhirnya anak muda itu bercerita tentang pendeta yang mengajarinya keimanan. 

Maka, raja memerintahkan para pengawal untuk 

menyeret sang pendeta ke hadapannya. Setelah pendeta itu tiba, sang raja langsung menekannya dengan perintah 

yang tegas: “Keluarlah dari agamamu!” 

Namun, sang pendeta tak bergeming. Dengan tegas ia menolak perintah sang raja. Maka, raja memerintahkan para pengawalnya untuk menggergaji kepala si pendeta itu hingga terbelah dua. 

Setelah si pendeta mati, raja berpaling kepada temannya yang telah sembuh dari 

kebutaan. Ia pun diperintahkan untuk meninggalkan agama Tuhan. Namun, sebagaimana si pendeta, ia pun 

menolak perintah sang raja sehingga sebagai akibatnya, ia mendapat nasib yang sama dengan si pendeta. 

Lalu, didatangkanlah si anak muda yang telah 

belajar sihir. Raja menyuruhnya kembali kepada agama leluhurnya. Namun, anak muda itu pun menolak perintah sang raja. Maka, raja memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret anak muda itu ke atas bukit: “Bawalah 

ia ke atas bukit. Sampai di puncak bukit, tawarkan lagi kepadanya untuk kembali pada agama leluhur. Jika ia menolak, lemparkan ia dari puncak bukit!”

Mereka pun menyeret anak muda itu ke atas bukit. 

Dalam perjalanan, anak muda ini berdoa, “Ya Allah, binasakanlah mereka dengan kehendak-Mu!” Mendadak seketika itu juga bukit tersebut 

berguncang dan para pengawal itu berjatuhan satu demi satu. Lalu, anak muda yang telah bebas itu berjalan menuruni bukit dan kembali menemui raja.

Tentu saja sang raja heran dan bertanya, “Apa yang terjadi dengan para pengawalku yang tadi menyeretmu?”

“Allah telah membinasakan mereka semua,” jawab anak muda itu.

Mendengar ucapannya, raja menyuruh para 

pengawalnya yang lain untuk membawa anak muda itu ke tengah laut dengan sebuah perahu kecil.


Raja berpesan: “Jika kalian tiba di tengah samudra, tawarkan kepadanya untuk kembali ke agama lamanya. Jika ia menolak, lemparkan ke laut!”

Para pengawal membawa anak muda itu ke tengah samudra. Dalam perjalanan, anak muda kembali berdoa, 

“Ya Allah, binasakanlah mereka dengan kehendak-Mu!” 

Usai berdoa, perahu yang ditumpangi mereka 

terbalik hingga semua pengawal itu mati tenggelam, sedangkan si anak muda dapat menyelamatkan diri dan kembali menemui raja.

Tentu saja sang raja terkesiap heran, lalu bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi dengan para pengawalku 

yang membawamu ke tengah samudra?”

Pemuda itu menjawab, “Mereka telah dibinasakan Allah.” Kemudian ia berkata lagi, “Kau tidak akan bisa membunuhku, kecuali jika kau memenuhi keinginanku.”

“Apa yang kau inginkan?” tanya raja.

Pemuda itu menjawab, “Kumpulkanlah manusia 

di sebuah bukit. Lalu, saliblah tubuhku pada sebatang pohon kurma. Lalu, ambillah anak panah dan letakkan di tengah-tengah busurnya. Sebelum kaulontarkan anak 

panah itu, katakanlah: ‘Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si anak muda.’ Jika kau melakukannya, kau pasti bisa membunuhku.

Akhirnya, raja tersebut mengumpulkan orang-orang di sebuah bukit. Setelah mereka berkumpul, raja memerintahkan pasukannya untuk menyalib pemuda itu pada sebatang kurma. Kemudian raja mengambil busur 

dan sebuah anak panah dari sarungnya, meletakkannya di tengah-tengah busur, lalu berkata: “Dengan nama Allah, Tuhan anak muda ini.” 

Dan, anak panah di tangan sang raja terlontar 

dengan sangat cepat menuju sasarannya. Anak panah itu tepat menembus jantung pemuda itu hingga ia terkulai mati.

Menyaksikan kejadian tersebut, semua orang yang berkumpul di bukit berkata: “Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini. Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini. Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini.” 

Tentu saja peristiwa itu mengejutkan sang raja 

dan membuatnya murka. Ia perintahkan semua 

prajuritnya untuk menggali sebuah parit yang 

sangat besar dan dalam. Setelah parit itu siap, raja memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan kayu bakar dan meletakkannya di dasar parit. Setelah itu, ia memerintahkan mereka untuk membuat api dari 

tumpukan kayu bakar itu sehingga parit yang besar itu menjadi lubang api yang sangat panas. Setelah itu, raja berpaling kepada semua orang dan berkata, “Siapa pun di antara kalian yang tidak mau kembali kepada agama 

lamanya, terjunlah ke dalam parit itu!


Ternyata tidak ada seorang pun yang mau kembali pada agama lamanya. Alih-alih kufur dari agama Allah, mereka melangkah mantap menceburkan dirinya ke dalam parit api yang berkobar-kobar hebat. Orang yang 

terakhir berjalan menuju parit api adalah seorang ibu yang menggendong bayinya. Wanita itu melangkah pelan karena merasa kasihan kepada bayinya yang masih menyusui. Ia tak sampai hati membawa bayinya ke dalam 

kobaran api. Namun, tiba-tiba—dengan izin Allah—bayi itu berkata, “Wahai Ibu, bersabarlah! Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran.” Dan dengan langkah 

yang mantap, wanita itu pun terjun ke dalam kobaran api.



96. Berkat Rahmat Allah Semata

Suatu ketika Rasulullah Saw. keluar menemui para sahabatnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka, beliau menyampaikan suatu berita: “Baru saja yang kukasihi, Malaikat Jibril, beranjak pergi dari hadapanku. Ia memberitahuku, ‘Hai Muhammad, demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba, 

di antara sekian banyak hamba-Nya, yang beribadah kepada-Nya selama 500 tahun. Ia hidup di puncak gunung yang ada di tengah laut. Lebarnya 30 hasta dan panjangnya 30 hasta juga. Sementara, jarak lautan itu dari masing-masing arah mata angin sepanjang 4.000 

farsakh.

Allah mengalirkan mata air di puncak gunung itu 

hanya seukuran jari. Airnya sangat segar, mengalir sedikit demi sedikit, hingga menggenang di bawah kaki gunung. 

Allah juga menumbuhkan pohon delima. Setiap malam, ada delima yang matang untuk dimakan di siang hari.


Ketika hari menjelang petang, hamba itu turun ke bawah untuk berwudhu, lalu memetik buah delima untuk dimakan. Setelah itu, ia mendirikan shalat.

Setiap hari ia berdoa kepada Allah Swt. agar 

diwafatkan dalam keadaan bersujud. Ia juga memohon agar jasadnya jangan sampai rusak dimakan tanah dan binatang. Ia juga ingin agar kelak dibangkitkan dalam keadaan bersujud.’”

Rasulullah Saw. menghentikan ceritanya sejenak.

Para sahabat bertanya, “Selanjutnya bagaimana, 

wahai Rasulullah?” 

“’Ketika hamba itu dibangkitkan pada Hari Kiamat, ia dihadapkan kepada Allah Swt., yang berfirman kepada malaikat, “Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku.”

Namun, hamba Allah ini membantah, “Ya Rabbi, aku masuk surga karena ibadah yang kulakukan sepanjang hidupku.”

“Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku,” firman Allah Swt. lagi.

“Ya Rabbi, masukkanlah aku ke surga karena 

amalku,” lagi-lagi ia membantah.

“Cobalah kalian timbang, lebih berat mana 

antara nikmat yang Aku berikan kepadanya dan amal kebaikannya!” perintah Allah Swt. kepada para malaikat.

Ternyata, setelah ditimbang, nikmat penglihatan 

yang diberikan Allah kepada hamba itu lebih berat dibandingkan ibadahnya selama 500 tahun. Belum lagi nikmat anggota tubuh yang lainnya.

“Sekarang, masukkan hamba-Ku ini ke dalam 

neraka!” perintah Allah Swt.

Maka, ia pun diseret untuk dimasukkan ke dalam 

neraka. Kontan saja ia merengek, memelas, memohon agar tidak dimasukkan ke neraka: “Ya Rabbi, Engkau benar. Aku masuk surga hanya karena rahmat-Mu. 

Masukkanlah aku ke dalam surga-Mu!”

“Kembalikanlah ia!” perintah Allah Swt.

Ia pun dihadapkan lagi kepada Allah: “Hai hamba-Ku, siapa yang menciptakanmu ketika kamu belum menjadi apa-apa?”

“Engkau, wahai Tuhanku.”

“Itu karena keinginanmu sendiri atau karena rahmatKu?”

“Semata-mata karena rahmat-Mu.”

“Siapa yang memberi kekuatan kepadamu sehingga bisa mengerjakan ibadah selama lima ratus tahun?”

“Engkau, ya Rabbi.”

“Siapa yang menempatkanmu di gunung yang 

dikelilingi lautan? Kemudian, siapa yang mengalirkan air segar untukmu di tengah laut yang airnya asin? 

Lalu, siapa yang setiap malam memberimu buah delima yang seharusnya berbuah hanya satu tahun sekali? Di samping itu semua, kamu memohon agar Aku mencabut nyawamu ketika bersujud dan Aku telah memenuhi permintaanmu! Siapa yang melakukan semua itu?”

“Engkau, ya Rabbi.”

“Itu semua karena rahmat-Ku. Dan hanya dengan 

rahmat-Ku pula Aku memasukkanmu ke surga. Sekarang, masukkanlah hamba-Ku ini ke surga! Hamba-Ku yang paling banyak memperoleh kenikmatan adalah kau, wahai hamba-Ku!”

Allah Swt. menyuruh malaikat untuk memasukkannya ke surga.’

Jibril menuntaskan ceritanya, kemudian berkata 

kepadaku, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya segala sesuatu itu terjadi hanya karena rahmat Allah Swt.’”



95. Perbanyak Amal Sebelum Ajal

Ketika salah seorang sahabatnya meninggal, 

Rasulullah Saw. mengantarkan jenazahnya hingga 

pemakaman. Pulang dari pemakaman, Rasulullah 

Saw. melayat keluarga almarhum. Beliau menghibur mereka dan berpesan agar tetap bersabar dan tawakal 

menghadapi musibah itu. 

“Apakah sebelum meninggal, almarhum mewasiatkan sesuatu?” tanya Rasulullah Saw.

“Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara napasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal,” jawab 

istrinya.

“Apa yang dikatakannya?” 

“Aku tidak tahu, wahai Rasulullah. Apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum meninggal, ataukah ia 

kesakitan karena dahsyatnya sakratulmaut. Aku tidak 

bisa menangkap ucapannya lantaran terputus-putus.”

“Apa yang ia ucapkan?


“Ia mengatakan, ‘Andai lebih lama lagi …. Andai 

yang masih baru …. Andai semuanya ….’ Hanya kata-kata itu yang tertangkap telingaku. Sungguh aku tidak tahu 

maksudnya.”

Rasulullah Saw. tersenyum, lalu bersabda, “Sungguh, 

ucapan suamimu itu benar adanya. Begini ceritanya. Suatu hari, ia berjalan cepat ke masjid untuk menunaikan 

shalat Jumat. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan orang buta yang juga hendak ke masjid. Orang buta itu berjalan tersandung-sandung karena tidak ada yang 

menuntun. Maka, suamimu membimbingnya sampai ke masjid. Ketika hendak mengembuskan napas terakhirnya, ia melihat pahala amal salehnya itu sehingga ia berkata, 

‘Andai lebih lama lagi .…’ Maksudnya, seandainya dulu ia menuntun orang buta itu lebih lama lagi, pasti pahalanya lebih besar.”

“Terus, ucapannya yang lain, ya Rasulullah?” tanya si istri penasaran.

“Kalimatnya yang kedua ia ucapkan karena suatu hari ia pergi ke masjid pagi-pagi di tengah cuaca yang sangat dingin. Di tepi jalan, ia melihat seorang laki-laki tua duduk dengan tubuh menggigil. Hampir saja, orang tua itu mati kedinginan. Kebetulan, suamimu mengenakan 

dua buah mantel: yang lama dan yang baru. Ia mencopot mantelnya yang lama, lalu memberikannya kepada lelaki tua itu, dan ia sendiri mengenakan mantel yang baru. 

Nah, menjelang kematiannya, suamimu melihat balasan amal salehnya itu. Ia menyesal dan berkata, ‘Andai yang 

masih baru yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku 

jauh lebih besar.’”

“Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, wahai Rasulullah?” 

“Apakah kau masih ingat, suatu hari suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan minta disediakan makanan? Kau pun bergegas menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, 

saat hendak memakannya, tiba-tiba seseorang mengetuk 

pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi 

rotinya menjadi dua potong. Sepotong diberikan kepada 

musafir itu dan sepotong lainnya ia makan sendiri. 

Menjelang wafat, suamimu menyaksikan betapa besar pahala amalnya itu sehingga ia menyesal dan berkata, 

‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separo. Sebab, andai semuanya kuberikan 

kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda.’”

94. Keseimbangan dalam Memenuhi Hak

Sahabat Anas r.a. menuturkan bahwa ada tiga orang yang datang bertamu ke rumah istri-istri Rasulullah Saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau.Ketika diberi tahu tentang bagaimana ibadah beliau, ketiganya sadar, ibadah mereka sungguh tidak ada apa apanya dibanding Rasulullah Saw. Setelah keluar dari rumah Rasulullah, mereka berkata, “Di manakah kita 

jika dibandingkan dengan ibadah Rasulullah? Padahal, beliau adalah hamba yang telah dijamin mendapatkan ampunan dari seluruh dosa, baik yang telah lalu maupun 

yang akan datang.”

Lalu salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan terus mendirikan shalat malam sepanjang hidupku.”

Orang kedua berkata, “Aku akan terus berpuasa 

setiap hari sepanjang tahun tanpa berhenti, meski satu hari.


Tidak mau kalah, orang ketiga berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah sepanjang hidupku.”

Rupanya, Rasulullah Saw. mendengar kabar tentang ketiga orang itu sehingga suatu hari beliau menemui mereka dan berkata, “Hai kalian yang mengatakan begini dan begitu! Demi Allah, bukankah aku orang yang paling 

takut di antara kalian kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya? Meski demikian, aku berpuasa dan aku juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita! Barangsiapa tidak menyukai Sunnahku maka ia bukanlah golonganku!”


Kisah hampir sama dialami Salman Al-Farisi dan Abu Darda. Kedua sahabat ini dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw. Suatu hari, Salman mengunjungi Abu Darda dan melihat istri Abu Darda mengenakan pakaian yang sangat 

sederhana tanpa hiasan sedikit pun.

Karena terharu, Salman bertanya, “Mengapa 

keadaanmu seperti ini?”

Sang istri menjawab, “Saudaramu itu, Abu Darda, 

sama sekali tidak punya hasrat terhadap kenikmatan dunia.”

Tidak lama kemudian, datang Abu Darda untuk 

membuatkan makanan. Setelah itu ia berkata kepada Salman, “Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa.Salman menjawab, “Aku tidak akan 

makan kecuali kau makan bersamaku!”

Ketika malam tiba, sebelum Abu Darda 

pergi untuk shalat, ia berkata kepada Salman, “Tidurlah!” Salman pun tidur. Namun, tidak 

lama kemudian ia bangun lagi dan berkata 

kepada Abu Darda, “Tidurlah!”

Pada akhir malam, Salman bangun, kemudian membangunkan Abu Darda, 

“Bangunlah sekarang!” Lalu, mereka berdua shalat bersama.Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya, Rabb-mu memiliki hak atas dirimu. Namun, dirimu juga memiliki hak atas dirimu, begitu juga, keluargamu. 

Mereka punya hak atas dirimu. Maka, berikanlah hak itu kepada setiap yang mempunyai hak.”


Keesokan harinya Abu Darda menemui Rasulullah Saw. dan menceritakan apa yang dikatakan Salman. 

Beliau menjawab singkat, “Salman benar.”



Hal di atas berlaku juga untuk wanita sebagaimana terungkap dalam kisah berikut. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. memasuki masjid untuk mengimami shalat. Namun, di dalam masjid beliau melihat seutas tali terbentang dari satu tiang ke tiang lainnya. Beliau pun bertanya kepada para sahabat, “Tali apa ini?”

Mereka menjawab,“Wahai Rasulullah, tali ini 

milik Jainab. Apabila ia lelah dan mengantuk saat melaksanakan shalat malam, ia bergelayut dan bersandar pada tali ini agar tetap bisa 

mendirikan shalat.” Rasulullah Saw. berkomentar, “Tingkah seperti itu tidaklah baik. Jika ia lelah dan mengantuk, tidur 

dan ber istirahatlah. Jangan dipaksakan!



Rabu, 12 Maret 2025

93. Keadilan Tak Pandang Bulu

Dikisahkan ada seorang wanita dari keluarga 

terhormat dan disegani yang berasal dari Bani 

Makhzum telah mencuri. Maka, ia harus dihukum 

sesuai dengan perbuatannya: tangannya harus dipotong. 

Namun, kaum dan keluarga wanita itu merasa keberatan 

karena hukuman itu akan menjadi pukulan berat. Mereka akan merasa terhina. Karena itulah, mereka melakukan 

berbagai upaya agar Rasulullah memaafkan wanita itu dan membatalkan hukuman potong tangan.

Mereka mencari orang yang bisa dimintai tolong 

untuk menyampaikan keinginan mereka dan membujuk Rasulullah. Mereka bertanya satu sama lain, “Siapakah 

yang akan berbicara kepada Rasulullah?” 

Sebagian mereka menjawab, “Tidak ada yang bisa dipercaya selain Usamah ibn Zaid, kekasih Rasulullah!” 

Mereka tahu, Usamah adalah putra Zaid, sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah.


Akhirnya, mereka menemui Usamah dan memohon kepadanya untuk menghadap Rasulullah Saw. dan 

menyampaikan maksud mereka. Maka, Usamah beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita itu. Mendengar permintaannya, Rasulullah terlihat marah, 

lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas 

hukum yang telah ditetapkan Allah?” Kemudian, beliau 

berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum Muslim hingga sampai pada sabdanya:

“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”

Tidak ada yang berubah pada ketetapan Allah dan 

Rasul-Nya, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Wanita dari keluarga yang terhormat itu tetap harus menjalani 

hukuman: tangannya dipotong. Aisyah r.a. menuturkan, 

“Wanita itu kemudian bertobat, memperbagus tobatnya, dan menikah. Ia pernah datang dan menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah.


Keadilan Rasulullah Saw. juga terlihat jelas dalam 

peristiwa Perang Badar. Dalam peperangan yang 

dimenangi kaum Muslim 

ini, banyak sekali orang 

Quraisy yang ditawan. 

Mereka semua diikat 

dengan tali agar 

tidak bisa melarikan 

diri. Di antara para tawanan itu terdapat Al-Abbas, paman Rasulullah Saw. 

Dalam peperangan 

itu, Al-Abbas belum 

menjadi Muslim dan ia 

bergabung dengan pasukan Quraisy 

hingga akhirnya tertangkap dan tangannya dibelenggu. 

Tali yang mengikat tangan para tawanan begitu kuat sehingga mereka mengerang kesakitan. Mereka 

dikumpulkan di dekat masjid, dekat rumah Rasulullah Saw. sehingga beliau mendengar suara erangan para tawanan itu, termasuk suara pamannya. Erangan Al Abbas itu membuat beliau tidak bisa tidur. Rupanya para sahabat menyadari perasaan Rasulullah Saw. sehingga 

mereka melonggarkan ikatan pada tangan Al-Abbas. 


Setelah itu, tak terdengar lagi erangan kesakitan dari mulutnya.Tentu saja Rasulullah Saw. heran. Maka, beliau menyuruh seseorang untuk pergi memeriksa mengapa 

suara pamannya tak terdengar lagi. Si utusan 

menyampaikan bahwa Al-Abbas tidak lagi mengerang kesakitan karena ikatan di tangannya telah dilonggarkan. 

Mengetahui hal itu, beliau langsung berkata kepada para sahabat, “Semua tawanan harus diperlakukan sama. 

Longgarkan ikatan semua tawanan. Jangan membeda bedakan antara yang satu dan yang lain. Atau, ketatkan 

lagi ikatan pada tangan Al-Abbas agar semuanya 

mendapat perlakuan yang sama.”

Akhirnya, ikatan pada tangan semua tawanan itu dilonggarkan.



92. Jika Jujur, Ia Pasti Masuk Surga

Suatu ketika para sahabat menghadiri majelis Rasulullah Saw. dan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang laki-laki Badui. Ia datang dan langsung menghadap Rasulullah Saw. kemudian terjadilah 

dialog di antara keduanya.Orang Badui itu berkata, “Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami. Ia menyampaikan 

ucapanmu bahwa ‘Sesungguhnya Allah telah mengutusmu’. Benarkah seperti itu?”

“Ia benar,” jawab Rasulullah Saw.

“Jadi, siapakah yang menciptakan langit?”

“Allah.”

“Siapakah yang meninggikan gunung-gunung dan 

menjadikan apa yang ada di dalamnya?”

“Allah.”

“Demi Allah yang telah menciptakan langit dan 

meninggikan gunung-gunung, apakah Allah telah 

mengutusmu?”

“Ya,” jawab Rasulullah Saw. singkat


“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib 

mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. 

Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkan ini kepadamu?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib 

membayar zakat atas harta kami. Benarkah begitu?” 

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkannya?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib berpuasa 

di bulan Ramadhan. Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkannya?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib berhaji 

bagi orang yang mampu. Benarkah begitu?” 

“Ia benar.” 

Kemudian orang itu berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar, aku tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi semua itu.” 

Setelah orang itu pergi, Rasulullah Saw.berpaling 

kepada para sahabat dan bersabda, “Sungguh, jika ia jujur, ia pasti masuk surga.”



Selasa, 11 Maret 2025

91. Keimanan yang Menakjubkan

Pada suatu penghujung malam, menjelang shubuh, Rasulullah Saw. hendak berwudhu. Beliau bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah masih ada air untuk 

berwudhu?” Ternyata, tidak ada seorang sahabat pun yang memiliki air. Namun, mereka mendapatkan satu kantong yang masih menyisakan sedikit tetesan air, dan mereka membawanya kepada Rasulullah Saw. Kemudian, beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam kantong air itu. Saat beliau mengeluarkan tangannya, terpancarlah air dari sela-sela jarinya dengan deras. Para sahabat berbaris 

untuk berwudhu dengan air tersebut. Bahkan, Abdullah ibn Mas‘ud tidak hanya berwudhu, tetapi juga minum 

darinya. Setelah semua berwudhu, Rasulullah Saw. dan para sahabat mendirikan shalat shubuh berjamaah.

Sesudah shalat, Rasulullah Saw. duduk menghadap 

ke arah para sahabat, lalu bertanya, “Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?


“Para malaikat,” jawab para sahabat.

“Bagaimana mungkin mereka tidak, sedangkan 

mereka adalah pelaksana perintah Allah? Mereka terus terusan menjalankan perintah Allah dan menunaikan 

amanah-Nya,” ujar Rasulullah Saw.

“Kalau begitu, para nabi,” tebak para sahabat.

“Bagaimana mungkin para nabi tidak beriman, 

sedangkan mereka menerima wahyu dari Allah Swt.?!”

Para sahabat terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, kami, para sahabatmu.”

Rasulullah Saw. berkomentar, “Bagaimana mungkin 

kalian tidak beriman, sementara, baru saja kalian menyaksikan sendiri apa yang baru saja terjadi.” 

(Maksudnya, para sahabat menyaksikan sendiri mukjizat 

yang ditampakkan Rasulullah Saw.).

“Kalau begitu, siapakah manusia yang paling 

menakjubkan imannya itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat makin penasaran.

Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah 

berjumpa denganku, tidak pernah melihatku. Namun, ketika menemukan Al-Quran terbuka di hadapan 

mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa sehingga sekiranya 

mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menyerahkan seluruhnya.


Mudah-mudahan kita termasuk kelompok ini, 

kelompok yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw. dan tidak pernah hidup sezaman, tetapi sangat 

mencintainya. Kita mengenalnya dari Al-Quran yang 

terbuka di depan kita. Kita mengetahuinya dari para ulama yang menyampaikan isi Al-Quran itu kepada kita.


90. Keimanan yang Kukuh

Suatu ketika Abu Thalib, paman Rasulullah Saw. 

yang menjadi pelindung dan pembela beliau, 

didatangi para pemuka Quraisy. Mereka mengancam dan memperingatkan Abu Thalib. Dengan lantang mereka berkata, “Hai Abu Thalib! Kau sudah tua dan memiliki kedudukan terhormat. Kami menghormatimu dan 

kami segan kepadamu. Kami telah memintamu untuk memperingatkan keponakanmu agar menghentikan dakwahnya, tetapi kau membiarkannya. Kami tak bisa bersabar dan menahan diri lagi menghadapi tingkahnya mencaci-maki Tuhan kami, merendahkan 

akal kami, dan mengecam leluhur kami. Seharusnya kau 

melarangnya melakukan semua itu. Jika tidak, kami akan memeranginya dan juga dirimu hingga salah satu dari dua golongan kita binasa!”


Lalu mereka pergi meninggalkan Abu Thalib. Sepertinya Abu Thalib merasa berat juga jika harus bertentangan dengan para pemuka Quraisy, sukunya sendiri sehingga akhirnya ia menemui keponakannya, 

Muhammad, dan berkata, “Tadi para pemuka Quraisy mendatangiku, meminta agar kau tidak lagi meneruskan dakwahmu. Jika kau bersikukuh, mereka 

akan memerangimu dan juga keluarga kita. Cobalah kau perhatikan peringatan mereka, Anakku. Aku mohon, janganlah engkau membebaniku lebih dari 

kemampuanku.”

Rasulullah Saw. tertegun sejenak merenungkan 

ucapan dan keadaan pamannya yang sudah tua itu. Roda dakwah seakan-akan terhenti sejenak menantikan 

keputusan apa yang akan diambil Rasulullah Saw. 


Akhirnya, dengan mata berlinang, Rasulullah Saw. 

menjawab: “Paman, seandainya mereka (mampu) meletakkan 

matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku 

agar aku menghentikan dakwah ini, aku tidak akan pernah meninggalkannya hingga aku menang atau aku 

mati mempertahankannya.”

Ya, seperti itulah besarnya kekuatan iman! 


Abu Thalib gemetar mendengar jawaban keponakannya. Ia diam tertegun cukup lama. Akhirnya, ia sadar, ia tengah berhadapan dengan kekuatan suci serta kehendak yang 

sangat agung dan mulia. Keteguhan sosok di hadapannya melebihi segala tenaga hidup yang ada.


Rasulullah Saw. kemudian beranjak pergi 

meninggalkan pamannya dengan hati iba. Melihat 

keteguhan iman Rasulullah Saw., akhirnya Abu Thalib 

mengalah. Ini adalah kali kedua Abu Thalib mengalah kepada keponakannya setelah melihat linangan air 

matanya. Dulu, ia juga mengalah ketika keponakannya yang masih belia ingin ikut bersamanya berdagang ke Negeri Syam ….


Setelah merenung cukup lama, Abu Thalib pun bangkit dan melangkah cepat menyusul keponakannya, 

Muhammad Saw. lalu berkata, “Anakku, teruskanlah! 

Lanjutkan perjuangan dakwahmu, dan berkatalah sesuka 

hatimu. Demi Allah, aku takkan menyerahkanmu kepada mereka selama aku masih hidup.”

Dengan demikian, usaha kaum Quraisy untuk 

membujuk Abu Thalib agar keponakannya itu menghentikan dakwah, gagal total.

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...