Jumat, 21 Maret 2025

115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah?


Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan tempat... 


Sa'ad gugur saat perang Badar.Sementara Khaitsamah gugur di medan Uhud , satu tahun kemudian.


Adz Dzahabi (Siyar A'lam Nubala) menyebutkan kisah Sa'ad dan ayahnya yg sama2 ingin bergabung dlm pasukan perang Badar.


" Biarkan aku yang berangkat. Kamu tetap tinggal di rumah untuk menjaga kaum wanita " ,

kata Khaitsamah kpd anaknya.


Sa'ad menolak. Tidak langsung mengiyakan. Bukan segera sepakat. Padahal urusan perang adalah urusan nyawa.


"Bila bukan surga urusannya, aku pasti mengalah",

kata Sa'ad kpd ayahnya.


Ayahnya pun tak mau mengalah. Ayahnya tetap bersikukuh berangkat.


Sama2 semangat....

Sama2 bersikeras untuk berangkat... Sama-sama tak mau ditinggal... Ayah dan anak sama2 senang beramal...


Ayah dan anak pun mengambil jalan tengah...

Caranya? Buat undian.


Rupanya, nama Sa'ad yg keluar. Beliau lalu berangkat kemudian gugur di medang perang Badar....


Satu tahun kemudian ayahnya, Khaitsamah, ikut dalam perang Uhud. Dan beliau termasuk yg gugur.


Radhiyallahu 'anhum.


Urusan surga memang prioritas bagi mereka yg beriman. Apapun dikorbankan asalkan dpt surga. Tiada yg dirasa berat dan tdk ada yg dianggap sebagai beban, jika sudah surga urusannya....


Prinsip mereka adalah ;

KALAU BUKAN SURGA URUSANNYA , AKU PASTI MENGALAH....


Artinya , kalau hanya persoalan dunia, hitung2an uang, bagi2 laba, cari untung, ketersinggungan pribadi,hal itu tidak jadi soal. Bukan satu problem. Berusaha untuk mengalah....


Tapi, kalau sudah surga urusannya, inginnya menjadi yg terdepan. Tak mau ketinggalan. Tak ingin dilewatkan.


Pernah dengar nama sahabat Abu Dahdah?


Beliau punya kebun dgn ratusan batang pohon kurma...


Satu ketika, ada dua orang bersengketa menemui Nabi Muhammad....


Mereka berdua hidup bertetangga. Masalah pagar atau pembatas tanah yg dipersoalkan.


Yg satu hendak membangun pagar. Yg lain memiliki satu pohon kurma. Untuk mendirikan pagar, pohon kurma itu mesti dihilangkan. Pohon kurma itu sudah ditawar supaya dijual saja. Ia yg akan membeli. Namun ditolak...


Nabi Muhammad berusaha menengahi dgn menjanjikan,

"Sudahlah, jual saja pohon kurma itu untuknya. Sebagai gantinya , engkau akan memiliki satu pohon kurma di surga"


Pemilik pohon kurma tetap enggan... 


Mendengar hal itu, sahabat Abu Dahdah justru yg terpanggil.


Kpd pemilik pohon kurma, Abu Dahdah menawarkan,

"Jual saja pohon kurma mu itu kepadaku, aku ganti dengan kebun kurma milikku"


Orang itu mau dan menerima tawaran Abu Dahdah. 


Disaksikan Nabi Muhammad, pohon kurma yg menghalangi pembangunan pagar itu dibeli oleh Abu Dahdah lantas diberikan kpd orang yg hendak membangun pagar.


Sementara kebun milik Abu Dahdah yg berisi ratusan pohon kurma diberikan kpd si pemilik pohon kurma...


Nabi Muhammad lantas memuji berulang-ulang ;


كَمْ مِنْ عِذْقٍ رَدَاحٍ لِأَبِي الدَّحْدَاحِ فِي الْجَنَّةِ


"Alangkah banyak tandan penuh kurma milik Abu Dahdah di surga"

(HR Ahmad dan dishahihkan Al Albani  dalam Ash Shahihah No.2964).


Kalau sudah surga urusannya jangan banyak pertimbangan...


Ayunkan kakimu...

Tinggalkan kehidupan  yg jauh dari agama...


Tidak usah ragu! Jangan bimbang...

Baarakallahu fiik.

114. Kedermawanan Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu

Pada awal hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin mengalami kesulitan air. Sebenarnya ada mata air yang mengeluarkan air tawar yang segar dan enak yang disebut Sumur Raumah. Sayangnya mata air ini dikuasai oleh orang Yahudi, yang menjualnya satu geriba air dengan segantang gandum. Kaum Muhajirin yang kebanyakan meninggalkan kekayaannya di Makkah tentu saja tak mampu membayarnya.


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengharapkan ada sahabat yang membeli telaga tersebut untuk kepentingan umat muslim, maka tampillah Utsman bin Affan memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada awalnya si Yahudi menolak menjualnya, maka Utsman bersiasat dengan membeli separuhnya saja. Si Yahudi setuju dengan harga 12.000 dirham, dengan pembagian, satu hari untuk Utsman dan satu hari untuk si Yahudi.


Ketika giliran waktu untuk Utsman, kaum muslimin dan masyarakat Madinah yang membutuhkan air dipersilahkan untuk mengambilnya dengan gratis dan tanpa batas. Karena itu mereka menampung untuk dua hari. Ketika tiba giliran waktu untuk si Yahudi, tak ada lagi orang yang membeli air darinya sehingga ia kehilangan pendapatannya dari telaga tersebut. Akhirnya ia menjual bagiannya tersebut kepada Utsman seharga 8.000 dirham, sehingga masyarakat Madinah bisa memperoleh air segar telaga tersebut kapan saja dengan cuma-cuma.


Ketika kaum muslimin di Madinah makin banyak dan masjid tidak lagi bisa menampung, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bermaksud melakukan perluasan dengan membeli tanah dan bangunan di sekitar masjid. Tampillah Utsman untuk merealisasikan maksud Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut, dan tanpa segan ia mengeluarkan 15.000 dinar. Begitupun setelah Fathul Makkah, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bermaksud memperluas Masjidil Haram dengan membeli tanah dan bangunan sekitar masjid, sekali lagi Utsman tampil memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan mengeluarkan sedekah 10.000 dinar.


Masih banyak lagi kisah kedermawanan Utsman sehingga tak heran jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, bahwa teman beliau di surga adalah Utsman bin Affan.


Satu peristiwa lagi di jaman Khalifah Abu Bakar, saat itu paceklik melanda kota Madinah, kaum musliminpun mengalami berbagai kesulitan. Ketika dilaporkan kepada Abu Bakar, ia berkata, "Insya Allah, besok sebelum sore tiba, akan datang pertolongan Allah…"


Pagi hari esoknya, datanglah kafilah dagang Utsman dari Syam yang penuh dengan bahan makanan pokok. Berkumpullah para pedagang, termasuk dari kaum Yahudi yang biasa memonopoli perdagangan bahan makanan, mereka berlomba melakukan penawaran. Utsman berkata, "Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?"


"Sepuluh menjadi dua belas." Kata seorang pedagang.


"Ada yang lebih tinggi?" Tanya Utsman.


"Sepuluh menjadi lima belas." Pedagang lain menawar. 


"Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pedagang Madinah berkumpul di sini?"


Utsman bertanya, "Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?"


"Apa ada yang mau membayar sebanyak itu?"


"Ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala…." Kata Utsman dengan tegas. Para pedagang itupun berlalu pergi, dan Utsman membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin Madinah dan mereka yang memerlukannya.

113. Sikap Umar atas Perjanjian Hudaibiyah

Ketika perjanjian Hudaibiyah disetujui antara pihak Quraisy dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sebagian besar orang-orang Islam merasa kecewa, Umar sempat berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah, dalam perjanjian itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih memihak pada kaum Quraisy. Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tanpa seijin walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka dia tidak boleh diminta untuk dikembalikan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.


Klausul ini tampak nyata "kerugiannya" ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk meminta perlindungan. Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin Amr, langsung meminta agar Abu Jandal, yang tidak lain anaknya sendiri, dikembalikan lagi kepadanya.


Walaupun dengan berbagai argumen, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal. Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tersebut dan membabatkan ke tubuh ayahnya, tetapi itu tidak dilakukan oleh Abu Jandal.


Sikapnya yang temperamental dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam setelah perjanjian ini dikukuhkan. Ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, "Ya Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?"


Nabi membenarkan.


"Bukankah korban meninggal di antara kita berada di surga, dan korban mati di antara mereka di neraka." Kata Umar lagi.


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam membenarkan lagi. Umar berkata lagi, "Lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan mereka.?"


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab, "Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan aku."


Bukan namanya Umar al Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu, ia berkata lagi, "Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi Ka'bah dan Thawaf disana?"


"Apakah aku pernah menjanjikan kita melakukannya tahun ini?" Kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.


"Tidak, Ya Nabi…!" Jawab Umar.


Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menegaskan, "Kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka'bah dan thawaf disana!!"


Walau tidak bisa lagi mendebat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan keresahan yang dirasakannya dan sebagian besar orang Islam lainnya. Tetapi Abu Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akhirnya ia menasehati Umar, "Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."


Tak lama berselang, turunlah wahyu Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Al Fath 


1). Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam membacakan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.


Berlalulah waktu, Umar menyadari apa yang dilakukannya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan tak habisnya ia menyesali sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya, "Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi dengan peristiwa itu, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai penebus sikapku saat itu)"



Rabu, 19 Maret 2025

112. Kisah keislamannya Umar Bin Khaththab Radhiyallahu Anhu

Hampir dipastikan semua umat Islam akan mengenal sosok Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu keberanian, keadilan, kecerdasan, sikap kritis, keras dan ketegasannya,sekaligus kelembutan, kesedihan dan mudah tersentuh, adalah dua kondisi berlawanan yang menyatu dalam pribadi Umar. Terutama keberaniannya, telah terkenal sejak dia belum memeluk islam, jagoan dan ahli berkelahi yang selalu memenangkan pertandingan adu kekuatan di Pasar Ukazh. Namun keberanian dan kekuatan ini pulalah yang akhirnya mengantarkan pada Hidayah Allah Subhanahu Wata’ala, ketika membentur keberanian dan kekuatan iman yang dimiliki adiknya, Fathimah binti Khaththab.


Kisah keislamannya ini berawal ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin Nafik dll.nya gagal membunuh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sementara dakwah islam semakin meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi, dan beribadah dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad, yang dianggapnya telah murtad dan memecah belah kaum Qureisy serta memaki dan menghina agama nenek moyangnya.


Umar pergi ke rumah Al Arqam, tempat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di tengah perjalanan ia bertemu Nu'aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Nu'aim justru mencela Umar, "Hendaknya engkau meluruskan urusan keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa'id bin Zaid telah mengikuti ajaran Muhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya."


Betapa geramnya Umar mendengar penjelasan Nu'aim bin Abdullah, dibelokkanlah langkahnya menuju rumah Sa'id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa'id juga ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur'an pada mereka. Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa'id membukakan pintu dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur'an.


Begitu melihat Sa'id, kemarahan Umar tidak bisa dibendung lagi, seolah kemarahannya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Dibentaknya Sa'id sebagai murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tapi dipukul oleh Umar pada wajahnya. Sungguh keadaan yang mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tersebut. Umar sudah menduduki dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan membunuhnya.


Namun tiba-tiba terdengar pekikan keras dari Fathimah, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah…!"


Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya…terkejut dan heran. 

Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering dilukiskan sebagai : "Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika berjalan, langkahnya cepat bagai dikejar orang, jika berkelahi maka pukulannya adalah pukulan maut yang mematikan."


Tetapi ternyata ada orang yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula, kekuatan apa yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang maha hebat, kekuatan iman…mulailah percik hidayah menghampirinya. 


Kemarahannya mereda, dimintanya lembar-lembar Al Qur'an yang dipegang Fathimah, tetapi sekali lagi jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik ketika adiknya tersebut. Berkata dengan tegas, "Tidak mungkin, ia tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci! Pergilah, mandilah dan bersuci..!!”


Bagai anak kecil yang penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang mengucurkan air. Diberikanlah lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 - 6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut dibacanya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya, "Tidak pantas bagi Allah yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?"


Sebuah pernyataan yang menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya dan berkata, "Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu, Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah untuk memperkuat Islam."


Khabbab mengantarkan Umar ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana ia ditemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Beliau memegang ujung baju Umar dan berkata,"Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!"


Umar pun bersyahadat, maka bertakbirlah para sahabat yang hadir, dengan takbir yang bisa didengar hingga sepanjang jalan di kota Mekkah, bahkan juga sampai ke Kakbah. Benarlah doa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka, tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang muslim.


Tidak seperti muallaf sebelumnya yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Diingatnya siapa yang paling memusuhi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar memberitahukan keislamannya, Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke rumahnya. Begitupun ketika diberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim, dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.


Ketika kembali kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati. Pendapatnya ini dibenarkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan beliau menyetujui keinginan Umar.


Beliau mengeluarkan orang-orang muslim dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpin Hamzah, yang telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan kelompok kedua dipimpin Umar sendiri.


Orang-orang musyrik hanya terpana tidak berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya, tampak jelas kesedihan di mata mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa beribadah dan membuat majelis di dekat Ka'bah, thawaf dan berdakwah, serta melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.



111. Baju Sang Anak Khalifah

Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi.


Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW.


Namun, di balik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.


Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman temannya karena bajunya jelek dan robek. 

Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.


Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya ? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. 


Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara). Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini):


“Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua.“


Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini:


“Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?“


Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.


Subhanallah, betapa hebat Ahlaq Islam & Sistem Negara Islam. Tetapi Kehebatan itu kini tengah didera fitnah.



110. Bayangannya ditakuti setan

Sayyidina Umar bin khattab merupakan salah satu dari empat khalifah Islam yang memiliki karakter tegas dan bijaksana. Ia ditakuti kaum Quraisy pada saat itu. Ia juga dijuluki Al-Faruq. Dilansir dari Oase.id, Setan memiliki beragam cara dan bentuk untuk memperdaya manusia. Bisikan setan tak mengenal waktu dan tempat, serta godaannya datang dari berbagi arah.

Namun demikian, ada sosok yang paling ditakuti oleh setan. Sosok tersebut adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Umar bin Khattab. Sementara itu, mengenai setan yang takut kepada Umar, disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dari Aisyah, Rasul bersabda: yang artinya: “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.” (HR. Ibnu ‘Asakir)

Selain hadis tersebut, ada hadis lain bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai Ibnu Al-Khaththab, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya tidaklah setan menemuimu sedang berjalan di suatu jalan kecuali dia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lalui.”

Dengan demikian diketahui bahwa setan sangat takut terhadap sosok manusia bernama Umar bin Khattab. Kewibawaannya begitu benderang, sehingga setan sangat enggan bertemu dengannya. Sebenarnya ada beberapa alasan setan begitu takut kepada Umar.

Berikut, 3 alasan Setan takut kepada Umar Bin Khattab:

1. Sayyidina Umar bin Khattab merupakan sosok yang kuat tdak hanya secara fisik, tetapi memiliki keimanan yang sangat kokoh. Keimanan Umar bin Khattab terhadap Allah dan Rasulullah luar biasa kuat.

2. Sayyidina Umar bin Khattab merupakan sosok yang sederhana dan rendah hati. Ia juga sosok yang tidak sibuk dengan urusan duniawi. Bahkan, Sayyidina Umar rela berkeliling mencari rakyatnya yang miskin dan menyedekahkan sebagian hartanya untuk kepentingan kaum muslimin.

3. Sayyidina Umar adalah salah satu sahabat yang sangat dicintai Nabi Muhammad SAW Umar dikaruniai kejelian dan kejernihan berpikir. Sering kali Sayyidina Umar memberikan ide dan gagasan kepada Rasulullah dalam sejumlah urusan.

Kejeniusannya melengkapi ketegasan dan kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Rasulullah SAW kemudian juga memuji Sayyidina Umar bin Khattab dengan mengatakannya sebagai salah seorang yang diberkahi Allah karena kerap mendapatkan ilham.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda:Artinya: “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila salah seorang umatku mendapatkannya, maka Umar bin Khatthab-lah orangnya.” (HR. Bukhari)



109. Berkirim Surat kepada Sungai Nil

Mesir ditaklukkan pasukan muslim dan Amr bin Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir. Suatu saat ia didatangi sekelompok penduduk sekitar sungai Nil karena sungai itu sedang kering. Mereka berkata, "Wahai Gubernur, saat ini sungai Nil sedang kering. Kami biasa melakukan suatu tradisi, dan sungai Nil itu tidak akan mengalirkan air kecuali jika kami memenuhi tradisi tersebut."


Waktu Amr bin Ash menanyakan tentang tradisi tersebut, mereka menjelaskan, bahwa setelah berlalu sebelas hari dari bulan tersebut, mereka mencari seorang gadis untuk dikurbankan. Mereka meminta kerelaan orang tuanya, kemudian gadis ini didandani dan diberi perhiasan yang paling indah, dan akhirnya dilemparkan ke sungai Nil sebagai persembahan. Jika semua itu dilakukan, biasanya Nil akan mengalirkan airnya lagi. 


Tentu saja Amr bin Ash melarang dilanjutkannya tradisi yang seperti itu, karena Islam menghancurkan tradisi-tradisi jahiliah yang merusak. Kembalilah penduduk sekitar Nil ini ke rumahnya masing-masing dan sungai itu tetap dalam keadaan kering, hingga hampir saja mereka memutuskan untuk pindah.


Melihat keadaan yang memprihatinkan masyarakat itu, Amru bin Ash mengirim surat pada Umar bin Khaththab dan menceritakan keadaan tersebut. Umar membalas surat Amr bin Ash dan membenarkan tindakan yang diambilnya untuk menghentikan tradisi kuno tsb. Selain itu Umar juga menyelipkan suatu surat lain, yang ditujukan untuk sungai Nil. Amr diminta untukmelemparkan surat tersebut ke dalam sungai Nil yang sedang kering. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut :


"Dari hamba Allah, Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, kepada hamba Allah Nil di Mesir, Amma Ba'du. Jika engkau mengalir dari dirimu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Namun jika Allah yang mengalirkan, maka mintalah kepada Dzat Yang Maha Kuat untuk mengalirkanmu."


Amr melemparkan surat tersebut ke sungai Nil pada malam harinya, sehari sebelum peringatan hari raya salib. Pada pagi harinya, sungai Nil telah terisi air sedalam enam belas hasta hanya dalam semalam, dan mengalir terus hingga sekarang. Sungguh dengan ijin Allah, tradisi kuno yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun telah dihancurkan oleh secarik surat Umar bin Khaththab.



115. Kalau bukan surga urusannya, aku pasti mengalah

Pernah mendengar nama Sa'ad bin Khaitsamah? Sa'ad dan ayahnya , Khaitsamah , sama2 gugur dlm pertempuran. Namun berbeda waktu dan te...